Senin, Agustus 24

Titip Ibuku ya Allah


By : 41e


"Nak, bangun... udah adzan subuh. Sarapanmu udah ibu siapin di meja..."

Tradisi ini sudah berlangsung 20 tahun, sejak pertama kali aku bisa mengingat.


Kini usiaku sudah kepala 2 dan aku jadi seorang Karyawan disebuah Perusahaan , tapi kebiasaan Ibu tak pernah berubah."Ibu sayang... gak usah repot-repot Bu, aku dan kakak-kakaku sudah dewasa." pintaku pada Ibu pada suatu pagi.

Wajah tua itu langsung berubah.

Pun ketika Ibu mengajakku makan siang di sebuah restoran.

Buru-buru kukeluarkan uang dan kubayar semuanya.

Ingin kubalas jasa Ibu selama ini dengan hasil keringatku.

Raut sedih itu tak bisa disembunyikan.Kenapa Ibu mudah sekali sedih ?

Aku hanya bisa mereka-reka, mungkin sekarang fasenya aku mengalami kesulitan memahami Ibu karena dari sebuah artikel yang kubaca .. orang yang lanjut usia bisa sangat sensitive dan cenderung untuk bersikap kanak-kanak ..... tapi entahlah....


Niatku ingin membahagiakan malah membuat Ibu sedih.

Seperti biasa, Ibu tidak akan pernah mengatakan apa-apa.

Suatu hari kuberanikan diri untuk bertanya "

Bu, maafin aku kalau telah menyakiti perasaan Ibu.

Apa yang bikin Ibu sedih ?

" Kutatap sudut-sudut mata Ibu, ada genangan air mata di sana.

Terbata-bata Ibu berkata,

"Tiba-tiba Ibu merasa kalian tidak lagi membutuhkan Ibu.

Kalian sudah dewasa, sudah bisa menghidupi diri sendiri.

Ibu tidak boleh lagi menyiapkan sarapan untuk kalian, Ibu tidak bisa lagi jajanin kalian.

Semua sudah bisa kalian lakukan sendiri"Ah,

Ya Allah, ternyata buat seorang Ibu .. bersusah payah melayani putra-putrinya adalah sebuah kebahagiaan.


Satu hal yang tak pernah kusadari sebelumnya.

Niat membahagiakan bisa jadi malah membuat orang tua menjadi sedih karena kita tidak berusaha untuk saling membuka diri melihat arti kebahagiaan dari sudut pandang masing-masing.

Diam-diam aku bermuhasabah. ..

Apa yang telah kupersembahkan untuk Ibu dalam usiaku sekarang ?

Adakah Ibu bahagia dan bangga pada putera putrinya ?

Ketika itu kutanya pada Ibu.

Ibu menjawab "Banyak sekali nak kebahagiaan yang telah kalian berikan pada Ibu.

Kalian tumbuh sehat dan lucu ketika bayi adalah kebahagiaan.

Kalian berprestasi di sekolah adalah kebanggaan buat Ibu.

Kalian berprestasi di pekerjaan adalah kebanggaan buat Ibu.

Setelah dewasa, kalian berprilaku sebagaimana seharusnya seorang hamba, itu kebahagiaan buat Ibu.


Setiap kali binar mata kalian mengisyaratkan kebahagiaan di situlah kebahagiaan orang tua.

"Lagi-lagi aku hanya bisa berucap "Ampunkan aku ya Allah kalau selama ini sedikit sekali ketulusan yang kuberikan kepada Ibu.

Masih banyak alasan ketika Ibu menginginkan sesuatu."

Betapa sabarnya Ibuku melalui liku-liku kehidupan.

Sebagai seorang wanita karier seharusnya banyak alasan yang bisa dilontarkan Ibuku untuk "cuti" dari pekerjaan rumah atau menyerahkan tugas itu kepada pembantu.

Tapi tidak! Ibuku seorang yang idealis.

Menata keluarga, merawat dan mendidik anak-anak adalah hak prerogatif seorang ibu yang takkan bisa dilimpahkan kepada siapapun.

Pukul 3 dinihari Ibu bangun dan membangunkan kami untuk tahajud.

Menunggu subuh Ibu ke dapur menyiapkan sarapan sementara aku dan adik-adik sering tertidur lagi...Ah, maafin kami Ibu ... 18 jam sehari sebagai "pekerja" seakan tak pernah membuat Ibu lelah.. Sanggupkah aku ya Allah ?"Nak... bangun nak, udah azan subuh .. sarapannya udah Ibu siapin dimeja..

"Kali ini aku lompat segera.. kubuka pintu kamar dan kurangkul Ibu sehangat mungkin, kuciumi pipinya yang mulai keriput, kutatap matanya lekat-lekat dan kuucapkan "terimakasih Ibu, aku beruntung sekali memiliki Ibu yang baik hati, ijinkan aku membahagiakan Ibu...".Kulihat binar itu memancarkan kebahagiaan. ..


Cintaku ini milikmu, Ibu... Aku masih sangat membutuhkanmu. ..

Maafkan aku yang belum bisa menjabarkan arti kebahagiaan buat Dirimu..

Sahabat.. tidak selamanya kata sayang harus diungkapkan dengan kalimat "aku sayang padamu... ", namun begitu, Rasulullah menyuruh kita untuk menyampaikan rasa cinta yang kita punya kepada orang yang kita cintai karena Allah.

Kita mulai dari orang terdekat yang sangat mencintai kita ...

Ibu dan Ayah walau mereka tak pernah meminta dan mungkin telah tiada.

Percayalah.. . kata-kata itu akan membuat mereka sangat berarti dan bahagia.


Wallaahua'lam"Ya Allah,cintai Ibuku, beri aku kesempatan untuk bisa membahagiakan Ibu..." dan jika saatnya nanti Ibu Kau panggil, panggillah dalam keadaan khusnul khatimah. Ampunilah segala dosa-dosanya dan sayangilah ia sebagaimana ia menyayangi aku selagi aku kecil"

BAGAIMANA CARA KITA MENGHADAPI RINTANGAN HIDUP ? MARI KITA BELAJAR DARI KISAH TENTANG WORTEL, TELUR DAN BIJI KOPI



Panaskan 3 buah panci berisi air diatas api

Pada panci yang pertama, masukkan beberapa buah wortel
Pada panci yang kedua, masukkan beberapa buah telur
Pada panci yang ketiga, masukkan beberapa biji kopi yang sudah dihaluskan menjadi bubuk kopi
Panaskan ketiga panci tersebut selama 15 menit
Keluarkan isi dari ketiga panci tersebut

Wortel yang sebelumnya keras,Sekarang berubah jadi empuk
Telur yang sebelumnya lunak di bagian dalamnya, sekarang menjadi keras
Bubuk kopi sudah menghilang, Tapi, air panas sudah berubah warnanya dan mempunyai bau kopi yang sangat harum

Sekarang pikirkan tentang Kehidupan
Hidup itu tidak selamanya mudah
Hidup itu tidak selamanya nyaman
Bahkan kadang-kadang Hidup menjadi sangat susah
Keadaan tidak berubah seperti yang kita inginkan
Orang-orang tidak memperlakukan kita seperti yang kita harapkan
Kita hidup sangat keras, tapi tidak mendapatkan hasil yang memuaskan
Apa yang terjadi pada saat kita menghadapi kesulitan?
Sekarang pikirkan tentang ketiga panci itu?

Air yang mendidih bagaikan masalah di Kehidupan kita.
Kita dapat menjadi seperti wortel
Kita maju dengan kuat dan tegas.
Tapi kita keluar dengan lemah dan lunak
Kita menjadi sangat lelah
Kita kehilangan harapan
Kita menyerah
Hilanglah semangat juang di diri kita
Jangan mau menjadi wortel!!!

Kita dapat menjadi seperti telur.
Kita memulai dengan hati yang tulus dan sensitif
Kita berakhir dengan sangat egois dan cuek
Kita membenci orang lain
Kita membenci diri kita sendiri
Tidak ada lagi kehangatan di diri kita
Jangan mau menjadi telur!!!

Ambil Pelajaran dari bubuk kopi…
Air tidak mengubah bubuk kopi
Bubuk kopi-lah yang mengubah air
Air menjadi berubah karena adanya bubuk kopi
Lihatlah.
Ciumlah.
Minumlah.
Makin PANAS airnya, makin ENAK rasanya.
Kita dapat menjadi Bubuk Kopi
Kita membuat sesuatu yang baik dari tantangan yang kita hadapi.
Kita belajar hal-hal baru.
Kita mempunyai pengetahuan baru, ilmu baru dan skill baru
Kita tumbuh bersama pengalaman
Kita membuat dunia di sekeliling kita menjadi LEBIH BAIK
Untuk berhasil, kita harus coba …. dan coba lagi
Kita harus percaya pada apa yang kita kerjakan.
Kita tidak boleh menyerah.
Kita harus sabar.
Kita harus tetap bersemangat
Masalah dan kesulitan memberi kesempatan kepada kita untuk menjadi lebih kuat… dan lebih baik… dan lebih mampu.

Pilihan kita ?

Menjadi seperti wortel…
atau telur
atau biji kopi?


Jadilah seperti BIJI KOPI
(Ki Arya Nugraha 41e)

PENILIAN DAN PERSIAPAN PRA ANESTESI




Persiapan pra bedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang sebab-sebab terjadinya kecelakaan anestesi. dokter spesialis anestesi sebaiknya mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah, agar ia dapat menyiapkan pasien, sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan bugar.
kadang dokter spiasialis anestesi memmpunyai waktu terbatas unutk menyiapkan pasien, sehingga persiapan kurang sempurna. penundaan jadwal operasi akan merugikan semua pihak, terutama pasien dan keluarga.
tujuan utama kunjungan pra anestesi adalah unuk mengurang angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan mengingkatkan kualitas pelayanan kesehatan.



PENILAIAN PRA BEDAH
Terajadinya kasus salah identitas dan salah operasi bukan cerita untuk menakuti atau dibuat-buat, karena memang pernah terjadi di Indonesia. Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus dicocokan dengan gelang identitas yang dikenakan pasien. pasien ditanya lagi mengenai hari dan jenis tubuh yang kan dioperasi.



Anamesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapakan perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri perut, gatal-gatal atau sesak napas. Beberapa peneliti menanjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah di masa lampau sebaiknya jangan diulangi dalam waktu tiga bulan terakhir, suksinlinkoin menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulangi



KLASIFIKASI STATUS FISIK
Klasifikasi yang lazim digunakan unutk menilai kebugaran seseorang adalah denga katagori ASA yaitu The American Society of Anestesiologists. klasifikasi ini bukan alat prakiraan resiko anestesi tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan :
Kelas 1 : Pasien sehat organik, fisiologis, psikistrik, biokimia.
Kelas 2 : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas 3 : Pasein dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
Kelas 4 : Pasein dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktifitas rutin, dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupanya setiap saat
Kelas 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pmbedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
pada bedah darurat ( cito ) biasanya dicantumkan huruf E.



Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan Induksi, Ruwatan dan bangun dari anestesi diantaranya :
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan
2. Mempelancar Induksi anestesi.
3. Mengurani sekresi kelenjar ludah dan bronkhus
4. meminimalkan jumlah obat anastesi
5. Menurangi Mual-muntah pasca bedah
6. Menciptakan amnesia
7. Mengurangi isi cairan lambung
8. Mengurangi refleks yang membahayakan

TINJAUAN MANAJEMEN SUMBERDAYA MANUSIA

Pubsd By : Arya Nugraha

Mengapa diperlukan manajemen sumberdaya manusia (SDM) dalam suatu organisasi — terlebih lagi organisasi berskala besar? Jawabannya adalah karena sumberdaya manusia merupakan elemen organisasi yang sangat penting. Sumberdaya Manusia menjadi pilar penyangga utama sekaligus penggerak roda organisasi dalam usaha mewujudkan visi – misi dan tujuannya. Karenanya harus dipastikan sumberdaya yang tidak bisa diakusisi ini dikelola dengan sebaik mungkin agar mampu memberi kontribusi secara optimal pada upaya pencapaian tujuan organisasi.

Organisasi bergerak karena digerakkan oleh manusia di dalamnya. Organisasi hidup karena dihidupkan oleh anggotanya. Organisasi berkembang dan maju karena dikembangkan dan dimajukan oleh peran para pelaku organisasi yang terlibat di dalamnya. Manusia menjadi pelaku utama dalam setiap derap langkah organisasi menjalankan misi untuk mewujudkan tujuan dan cita-citanya.

Peran SDM dalam sebuah organisasi begitu penting dan menentukan, karenanya diperlukan manajemen yaitu cara pengelolaan secara sistematis – terencana dan terpola – agar tujuan yang diinginkan baik di masa sekarang maupun di masa depan dapat dicapai secara optimal.

1. Manajemen
Manajemen adalah proses sistematis untuk mencapai tujuan melalui fungsi perencanaan – pelaksanaan – pemeriksaan dan pengendalian/tindak lanjut. Konsep manajemen ini dikenal dengan istilah siklus PDCA, singkatan dari Plan – Do – Check – Act atau lebih dikenal dengan sebutan Deming Cycle. Karena diciptakan oleh seorang ahli manajemen Amerika bernama Deming. Secara singkat pengertian setiap siklus dapat dijelaskan sbb :
Plan (merencanakan) adalah proses menetapkan apa yang akan dicapai dan bagaimana cara mencapainya termasuk menetapkan siapa yang terlibat serta kapan dan dimana kegiatan akan dilaksanakan.
Do (melaksanakan) adalah merealisasikan apa yang telah dipikirkan dan dituangkan dalam perencanaan.
Check (memeriksa) adalah kegiatan memperoleh informasi mengenai efektivitas pencapaian hasil dengan cara mengevaluasi – mengukur atau membandingkan apa yang telah dicapai dan dilaksanakan dengan apa yang seharusnya dicapai dan dilaksanakan.
Act (melakukan tindakan) adalah menindak-lanjuti informasi yang telah diperoleh dari hasil pemeriksaan.

2. Manajemen Sumberdaya Manusia
Jadi manajemen sumberdaya manusia adalah proses sistematis untuk mencapai tujuan-tujuan pengelolaan sumberdaya manusia dalam rangka mendukung pencapaian tujuan organisasi.
R Wayne Mondy & Robert M Noe dalam bukunya Personnel, The Management of human Resource mendifinisikan manajemen SDM sbb: Human Resource Management is the utilization of the firm’s human assets to achieve organizational objectives. (Manajemen sumberdaya manusia adalah pengelolaan/pemanfaatan asset manusia untuk mencapai tujuan tujuan organisasi).
Noe, Hollenbeck, Gerhart and Wright dalam bukunya Human Resource Management – Gaining a Competitive Advantage merumuskan manajemen SDM sbb : HRM refers to the policies, practices and systems that influence employees’ behavior, attitudes, and performance. (Manajemen sumberdaya manusia mengacu kebijakan, pelaksanaan dan sistem yang mempengaruhi perilaku, sikap dan kinerja karyawan).

3. Tujuan Manajemen Sumberdaya Manusia
Manajemen sumberdaya manusia dalam suatu organisasi atau perusahaan hanyalah merupakan infrastruktur, bukan tujuan. Tujuan utama manajemen SDM adalah mendukung pencapaian tujuan organisasi.
Dalam prakteknya, manajemen sumberdaya manusia dimulai dari penetapan tujuan, baik tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang, tujuan tingkat organisasi ataupun tujuan fungsional misalnya tujuan departemen pemasaran, tujuan departemen produksi, tujuan departemen sumberdaya manusia, termasuk penetapan target-target aktivitas secara lebih spesifik seperti target kegiatan pelatihan, target kegiatan rekrutmen, target produksi, target penjualan dsb.
Secara spesifik tujuan manajemen sumberdaya manusia dalam sebuah organisasi adalah mengelola dan/atau mengembangkan kompetensi personal agar mampu merealisasikan misi organisasi. Konsep ini dikenal sebagai Competency Based Human Resource Management, artinya semua aktivitas manajemen SDM berorientasi pada pengembangan dan pemanfaatan kompetensi karyawan misalnya proses penilaian kinerja berdasarkan kompetensi, pelatihan berorientasi pada kompetensi, rekrutmen berdasarkan kompetensi, sistem remunerasi berbasis kompetensi dst.

Lalu apa yang dimaksud dengan kompetensi? Pengertian kompetensi dapat dibedakan menjadi tiga macam : kompetensi individu, kompetensi kelompok dan kompetensi inti organisasi, yang masing-masing dapat dijelaskan secara singkat sbb:

Kompetensi individu adalah kombinasi pengetahuan, kemampuan/keterampilan dan sikap yang dimiliki seorang karyawan sehingga ia mampu melaksanakan pekerjaan yang telah dirancang bagi dirinya baik untuk saat ini maupun di masa mendatang.
Mengembangkan kompetensi berarti merubah pengetahuan, kemampuan, keterampilan dan sikap karyawan agar senantiasa sejalan dengan rancangan atau tuntutan kebutuhan pekerjaan. Seorang karyawan dikatakan kompeten, artinya karyawan yang bersangkutan mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan segala tantangan dan permasalahan yang dihadapi.

Secara sinergis kompetensi individu membentuk kompetensi kelompok. Kompetensi kelompok adalah perpaduan kompetensi-kompetensi individu dalam suatu kelompok atau unit kerja yang secara keseluruhan membentuk kekuatan sinergistik yang dapat didayagunakan untuk menjawab tuntutan dan tantangan pekerjaan yang dibebankan kepada kelompok. Kelompok dikatakan kompeten bila mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai seperti apa yang diharapkan.

Kompetensi kelompok pada akhirnya mendukung pembentukan kompetensi inti organisasi. Kompetensi inti organisasi (company core competence) adalah keunggulan-keunggulan sinergis yang dimiliki oleh suatu organisasi atau perusahaan sehingga mampu mencapai tujuannya dan menjawab permasalahan tantangan bisnis yang dihadapi. Kompetensi organisasi biasanya dibangun melalui proses pertumbuhan dan pembelajaran yang melibatkan berbagai elemen organisasi dan seringkali memakan waktu yang panjang dan menyerap sumberdaya yang tidak kecil.

Jadi tujuan manajemen sumberdaya manusia pada akhirnya adalah mengelola dan / atau mengembangkan kompetensi individu menjadi kompetensi inti organisasi agar organisasi mampu menjalankan misi dan mewujudkan visinya melalui pencapaian tujuan-tujuan organisasi yang direncanakan.

4. Dampak Manajemen Sumberdaya Manusia
Dampak manajemen sumberdaya manusia adalah akibat yang secara langsung atau tidak langsung ditimbulkan dari aktivitas manajemen sumberdaya manusia. Secara keseluruhan dampaknya bisa dijelaskan dalam empat dimensi yang dibedakan berdasarkan keluasan akibat yang ditimbulkan.

Pertama adalah dampak yang secara langsung tercermin pada perubahan perilaku individu yang bisa dilihat pada tiga aspek yaitu perubahan aspek kognitif, perubahan aspek afektif dan perubahan aspek psikomotorik. Dalam istilah awam dapat dijelaskan bahwa aspek kognitif adalah perubahan pada dimensi pengetahuan. Aspek afektif adalah perubahan pada dimensi sikap dan psikomotorik adalah perubahan pada dimensi keterampilan (skill).

Kedua adalah dampak yang terjadi pada perubahan perilaku kelompok yang tercermin dalam kemampuan kelompok melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya termasuk kemampuan menghadapi tantangan pekerjaan yang dihadapi oleh kelompok tersebut di masa depan.

Ketiga adalah dampak yang timbul dan dapat diukur pada skala organisasi misalnya diukur pada tingkat produktivitas, perbaikan efisiensi biaya, peningkatan volume penjualan, peningkatan laba usaha dll.

Keempat adalah dampak yang timbul pada masyarakat secara umum akibat pengaruh budaya organisasi yang dibawa oleh karyawan ke lingkungan tempat tinggalnya. Interaksi ini memberi pengaruh secara langsung atau tidak langsung baik besar ataupun kecil pada perilaku kehidupan sehari-hari anggota masyarakat tertentu misalnya perubahan kebiasaan hidup, pola berfikir, kepedulian terhadap masalah lingkungan dll.

MANAjEMEN NYERI PADA PASIEN BEDAH

Pendahuluan

Defenisi Nyeri menurut the Internasional Association for the Study of Pain adalah an unpleasant sensory and amotional expreince assosiated with actual or potential tissue demage, or describe interms such damage sedangkan yang dimaksud dengan nyeri pascah bedah akut adalah suatu kompleks reaksi fisiologis terhadap trauma jaringan, distensi viseral, atau penyakit dahulu penatalaksanaan nyeri pascah bedah tidak begitu menjadi prioritas baik oleh ahli bedah maupun oleh ahli anestesi, sehingga seorang pasien mendapat nyeri sebagai bagian dari pengalaman pasca bedah yang tidak dapat dihindari. Pengolahan nyeri pascah bedah yang tidak tepat atau keterlambatan penangananya dapat meimbulakan perubahan fisiologi tubuh, berupa peningkatan aktivitas simpatis, gangguan neuroendokrin dan metabolisme, serta menggangu kerja otot-otot tubuh, memperlambat mobilisasi sehingga meningkatkan resiko trombosis, selain itu juga menyebabkan gangguan psikologis seperi rasa takut, cemas dan gangguan tidur. dengan semakin berkembangnya pemahaman terhadap patofisiologi dan epedimiologi nyeri, perhatian terhadap penatalaksanaan nyeri semakin meningkat sebagai usaha untuk meningktkan pelayanan dan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasca bedah.

Pemberian opioid melalui infus kontinu dan melalui sistem pasient controlled analgesia (PCA) adalah merupakan pilihan lain saat ini, tetapi bagaimanapun juga ini tidak bisa menghilangkan secara total masalah seperti samnolen atau sedasi selama periode pasca bedah. Pemberian opioid melalui ruang subarocnoid dan epidural merupakan cara lain yang dapat memberikan analgesia pasca bedah yang baik. komplikasi yang sering timbul dengan teknik ini pada dosis tinggi adalah dapat menyebabkan depresi pernapasan yang berat atau apneu, komplikasi ringan retensi urin pruritus, nausea dan vomitus.

the agency for heatlh care policy and research( AHCPR ) dari depertemen of healthhuman servis Amerika serikat memplubikasikan panduanpraktis penatalaksanaan nyeri akut, dimana bila tidak didpatkan kontraindikasi, tetapi farmakologi untuk nyeri pascabedah yang ringan-sedang harus dimulai dengan nonstreroid anti-inflamatory drugs ( NSAID ). NSAID menurunkan kadar mediator-mediator inflamatori pada daerah trauma, tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernapasan dan tidak mempengaruhi fungsi usus atau kandung kencing

PATOFISIOLOGI NYERI

Proses Fisiologi Nyeri
Kerusakan jaringan adalah merupakan sumber rangsang nyeri ( noxious stimuli ). Rangsang nyeri akan diterima oleh reseptor nyeri ( nosiseptor ) yang ditemukan hampir diseluruh bagian tubuh, kemudian melalui serabut saraf A delta ( myelinated dan fast conduction ) dan serabut saraf C ( unmyelinated dan slow condustion ) akan diteruskan susunan saraf pusat sehingga akan disadari sebagai suatu nyeri. Proses dari sumber rangsang nyeri sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri terdapat suatu rangkaian elektrofisiologi yang disebut nonsipsi.

Nonsepsi ini meliputi 4 proses fisiologis yaitu :
1. Tranduksi
yaitu proses dimana suatu rangsang nyeri ( nonsius stimuli ) baik fisik ( tekanan, suhu ) maupun kimia ( substansia nyeri ) diubah menjadi aktivitas listrik yang kan diterima ujung-ujung saraf sensoris ( nerve ending )
2. Tranmisi
yaitu proses penjalaran rangsang nyeri melalui serabut saraf sensoris sebagai kelanjutan dari proses transduksi
3. Modulas
yaitu : terjadinya interaksi antarasistem analgesik endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Merupakan suatu proses desenden yang dikontrol oleh otak. yang termasuk anlgesik endogen adalah opioat endogen, seretogenik, dan noradrenergik yang memiliki kemampuan menekan asupan nyeri di kornu posterior.
kornu posterior ini merupakan gate yang dapat membuka atau menutup dalam menyalurkan asupan nyeri. Proses ini dipengaruhi oleh kepribadian, motivasi, pendidikan, status emosional, budaya dan besarnya kerusakan jaringan. modulasi menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subyektif dan sangat ditentukan oleh makna atau arti asupan nyeri.
4. Persepsi
adalah proses akhir dari suatu mekanisme nyeri yang dimulai dengan tranduksi, transmisi dan modulasi yang akhirnya menghasilkan persepsi nyeri yang sangat subyektif yang sangat dipengaruhi oleh kepribadian, motivasi, pendidikan status emosi dan jenis kelamin.

Sensasi perifer
Kerusakan jaringan akan menyebabkan dilepasnya sejumlah subtansia nyeri berupa ion K, H, bradikinin, histamin, prostaglandin dan substansia P dan lain sebainya. Substansia nyeri ini akan merangsang ujung-ujung saraf A delda dan serabut C ( nosiseptor ). Substansia P dan prostaglandin akan meningkatkan sensitasi dan mengaktifkan nosiseptor. Prostaglandin inilah yang diduga memegang peranan besar dalam respon inflamasi dan nyeri. Semakin banyak suntansia nyeri dilepaskan akan semakin banyak nosiseptor yang diaktifkan dan diikuti dengan peningkatan sensivitas dari nosiptor itu sendiri. Proses pengkatan jumlah dan sensivitas nosiseptor tersebut menyebabkan proses tranduksi menjadi lebih sensitif pula, hal ini yang meyebabkan ransang nyeri akan dirasakan lebih hebat dan berlangsung lama, walaupun rangsang sudah dihentikan

Sensasi sentral
sensitisasi sentral terjadi di kornu posterior medula spinalis sebagai akibat masuknya impuls nyeri dari perifer ke kornu posterior. transmiter glutamat yang dilepaskan akan mengaktifkan reseptor NMDA ( N methyl-D-aspartic), akibat aktivasi NMDA tersebut maka ion Na+ dan Ca mengalami influk sehingga terjadi proses depolarisasi. suatu impuls nyeri yang terus menerus akan menyebabkan terjadinya sumasi potensial pada kornu posterior sehingga terjadi proses depolarisasi yang berkepanjanan, yang menyebabkan terjadinya peningkatan sensitivitas kornu posterior yang disebut sensitisasi sentral, sensitisasi sentral inilah yang menyebabkan nyeri sekarang dapat menimbulkan nyeri yang dalam klinikdikenal allodinia.

opiat adalah antagonis dari reseptor dari NMDA, oleh karena itu pemberian opiat dapat mencegah terjadinya hipersensitisasi sentral, inilah yan menjadi dasar mengapa opiat diperlukan untuk pengobatan nyeri yang hebat. aktifasi reseptor NMDA juga menyebabkan terbentuknya prostaglandin di medula spinalis, hal ini yang mendasari bahwa NSAID juga bekerja secara sentral di medula spinalis.

proses modulasi perifer dan sentral inilah yang mendasari konsep tentang plantasitas susunan saraf ( dimana terjadi perubahan sifat saraf akibat adanya rangsang nyeri yang terus menerus ) dan menjadi dasar pengolahan nyeri, baik nyeri akut, kronik ataupun kanker. oleh karena itu setiap nyeri akut harus segera dikelola dengan cepat dan baik, karena dapat menjadi nyeri kronik yang akan sulit diobati.

Komponen Respon stress bedah
Trauma akibat pembedahan akan mengalami suatu komplek rangkaian peristiwa fisiologis yang melibatkan pelepasan senyawa nonsiseptif, diantaranya prostaglandin dari ujung serabut saraf dan jaringan yang rusak. Kejadian ini menimbulkan reaksi inflamasi yang hiperalgesia yang menimbulkan gangguan fisiologi pascah bedah yang perlu dikendalikan, sudah menjadi ketetapan bahwa analgesik yang efektif pasca bedah adalah penting tidak hanya karena lasan kemanusian, lebih dari itu karena nyeri pasca bedah dapat menimbulkan efek yang merugikan pada sistem organ spesifik dan berpengaruh negatif pada masa pemulihan.

Pengaruh Anestesi terhadap respon stress bedah dan outcome
Anestesi umum tidak jelas pengaruhnya terhadap respon stress endokrin ( kecuali bila menggunakan opioid dosis tiggi atau minimum alveolar concentration (MAC) abat anestesi Volatil). Anestesi dan anlgesik dapat mengblokade respon kortisol terhadap stress jika operasi berada dibawah daerah sensoris yang diblok. outcome lebi baik yang dihubungkan dengan anestesi regional tergantung pada kelanjutan blokade neuraksial sentral intraoperatif sampai pascah bedah.

OBSTETRIC ANALGESIA AND ANESTHESIA

Introduction. Although the use of anesthesia or analgesia during labor and delivery must be individualized to each patient, the common goal is to maximize outcomes for both the mother and the neonate. Some laboring patients may not want or need anesthesia; however, others may desire a higher level of pain control or the mode of delivery may necessitate anesthetic intervention.Definitions. Analgesia is defined as relief of pain without the loss of consciousness or motor function. Anesthesia is defined as the loss of feeling or sensation and can include the loss of consciousness, motor power, and autonomic reflex activity.

Types of analgesia or anesthesia. The spectrum of anesthetic techniques useful in obstetrics includes the following: systemic, local infiltration, peripheral nerve block, major regional analgesia and anesthesia (spinal and epidural blocks), and general anesthesia. Each technique entails varying levels of pain control, alterations to the progression of labor, and effects on the parturient and fetus.

Analgesia for labor. The goal is to achieve adequate pain control without depressing the parturient or fetus or affecting the progress of labor. Nonpharmacologic approaches to pain control (e.g., Lamaze method and attendance of a doula) may be desired by the patient. However, systemic analgesia, epidural anesthesia, and combined spinal-epidural techniques are more often used.

Analgesia and anesthesia for vaginal delivery. For an anticipated vaginal birth, the caregiver must consider various factors when selecting an analgesic or anesthetic, including effectiveness of analgesia, maternal safety, fetal safety, alterations to maternal pushing efforts, and alterations to the musculature of the birthing canal. Major regional anesthesia (epidural or spinal block) is the technique of choice; local infiltration of the perineum and paracervical and pudendal blocks are used less frequently. Rarely, general anesthesia can be used for emergency forceps delivery, shoulder dystocia, or difficult vaginal breech delivery.

Analgesia and anesthesia for cesarean section. The anticipated length of surgery, medical conditions of the mother, maternal and fetal safety, and urgency of the delivery should dictate the type of anesthetic administered. Major regional anesthesia and, less often, general anesthesia are used. Rarely, local infiltration can be used in cases of emergency cesarean section in which rapid general anesthesia is not possible.

Analgesia for postoperative pain. Systemic and regional pain control methods have been found to be quite effective. In particular, patient-controlled intravenous (IV) and epidural anesthesia are often used until the patient can tolerate oral analgesics.Nonpharmacologic techniques. Some patients may prefer to use nonpharmacologic methods to help prepare for and manage the pains of labor and vaginal delivery. Lamaze or Bradley childbirth education are favored by some. Others may desire a doula, a trained layperson, to provide continuous support throughout the labor. The goal is to minimize the amount of pharmacologic intervention, as tolerated.

Systemic analgesia
Indications.
Systemic medications can be given in the latent or active phase of labor for effective pain relief. They can also be used for postoperative pain control.Sedatives and tranquilizers. A wide variety of these medications, such as phenothiazine, promethazine hydrochloride, and hydroxyzine hydrochloride, are used to supplement narcotic analgesia. Although these medications have the added benefit of an antiemetic effect and reduced narcotic demand, they do cause increased sedation.
Advantages. The advantage of this mode of analgesia is the ease of administration (orally, intramuscularly, subcutaneously, intravenously) and relatively low risk to mother and fetus.Limitations. Narcotics may provide inadequate pain relief for many patients.Risks.
The parturient can experience respiratory depression, orthostatic hypotension, nausea, vomiting, and delayed gastric emptying with increased risk of aspiration. The neonate can experience respiratory depression, lower Apgar scores, and neurobehavioral abnormalities. Narcotic administration should be minimized just before delivery to prevent delivery of a depressed neonate. Naloxone hydrochloride can be administered to antagonize the respiratory depression caused by narcotics. The usual dosage of naloxone is 0.1–0.4 mg IV for adults and 0.1 mg/kg IV for neonates.

Local infiltration (field block)
IndicationsVaginal delivery. Local infiltration of an anesthetic agent may be required to perform an episiotomy or repair any lacerations or episiotomies after vaginal delivery. Perineal infiltration with 5–15 mL of 1% lidocaine (or 0.25–0.5% bupivacaine hydrochloride, 2% chloroprocaine hydrochloride, or 1% mepivacaine hydrochloride) can provide sufficient analgesia for an episiotomy or repair and occasionally for an outlet operative delivery. The medication, which should not be mixed with epinephrine, must not be directly injected into a blood vessel. Extravascular placement can be verified by withdrawing on the syringe before injecting any anesthetic agent.Cesarean section. Occasionally, cesarean sections must be performed under local anesthesia in an emergency situation when alternate anesthesia is not immediately available or possible. Dilute concentrations of an agent such as lidocaine (0.5–1.0% to a maximum of 7 mg/kg) or chloroprocaine (1–2%) is used to infiltrate the skin and abdominal wall and bathe the parietal and visceral peritoneum. Local anesthesia alone is usually inadequate pain relief and is used only in rare emergency cases.
Advantages. The advantages of local infiltration are its ease of administration and minimal negative effects on the parturient and fetus.
Limitations. Field block offers no relief from the pains of uterine contractions. In addition, if the caregiver is concerned about a difficult vaginal delivery or a possible cesarean section, the patient should be advised that major regional anesthesia is highly recommended if timing permits.Peripheral nerve block. This form of analgesia involves injection of a local anesthetic agent in the vicinity of discrete peripheral nerves in the pelvis (paracervical or pudendal areas) to achieve pain control.

Paracervical blockIndications.
The paracervical block is a rarely used method of analgesia that can provide relief from uterine contractions. This block involves the transvaginal injection of a total of 10–20 mL of 1% lidocaine (or 2% chloroprocaine) just lateral to the cervix bilaterally at the 4 and 8 o'clock positions). This technique blocks the sensory nerves from uterus, cervix, and upper vagina.Limitations. The sensory fibers from the perineum are not affected. Therefore, the paracervical block has no benefit outside of the first stage of labor. In addition, it is difficult to administer late in the first stage.Risks. Although it is easy to perform and does not cause maternal hypotension, paracervical anesthesia can cause local vasoconstriction, increased uterine tone, and decreased perfusion to the uterus. There is an increased risk for fetal depression and transient fetal bradycardia.

Pudendal block
Indications. This method is used to achieve perineal analgesia and help the patient tolerate the pain of the second stage of labor and any postdelivery repairs. It is administered by transvaginally injecting a total of 10–20 mL of 1% lidocaine (or 2% chloroprocaine) just posterior to the ischial spines bilaterally. This method blocks the pudendal nerve, which provides afferent fibers to the genitalia and perineum.
Limitations. Complete analgesia may require infiltration of the perineum with a local anesthetic. In addition, if a complicated vaginal delivery or possible cesarean section is predicted, major regional anesthesia should be recommended.Risks.
The pudendal block carries little risk to the fetus. Its rare complications to the mother include accidental sciatic nerve block, formation of a hematoma, or puncture of the rectum.Major regional anesthesia and analgesia. This is the most commonly used form of anesthesia today. It involves the injection of anesthetic/analgesic agents into the epidural or subarachnoid (spinal) space to achieve adequate analgesia for vaginal delivery or anesthesia for cesarean section while allowing the parturient to maintain full consciousness.

Epidural anesthesia
Indications. An epidural block can be used for establishing analgesia during labor, analgesia and anesthesia for nonoperative and operative vaginal delivery, and anesthesia for cesarean section. After a cesarean section, postoperative pain can be managed with epidural patient-controlled anesthesia quite successfully.
Application. A 19- or 20-gauge plastic indwelling catheter is placed into the epidural space at the level of L2–L5. Verification of placement into the epidural space includes the inability to aspirate blood or cerebrospinal fluid and the administration of a test dose that does not indicate IV or subarachnoid placement. Repeated epidural injections, patient-controlled pumps, and continuous infusion of a mixture of local anesthetic plus narcotic analgesic (e.g., bupivacaine and fentanyl) has allowed lower concentration of medications to be used for effective pain control with minimal risk to patient and fetus.
Advantages. There is often less fetal depression and respiratory compromise to the mother than with general anesthesia or systemic narcotics. The epidural anesthetic can be titrated to fulfill the pain control needs of the parturient, maintain her full consciousness, and allow her to push in a vaginal delivery. In addition, it is the only mode of anesthesia that can be used throughout all stages of labor and vaginal delivery as well as be dosed for proper anesthesia for a cesarean section.
Limitations. An epidermal block takes longer to initiate than spinal or general anesthesia. Therefore, it is not indicated for expected imminent vaginal delivery or an emergent cesarean section.Contraindications. Possible contraindications include neurologic problems (e.g., sciatica), spine abnormalities, infection at the site, acute maternal hemorrhage, or bleeding disorders.Risks
1. Maternal hypotension. The most common complication of an epidural block is maternal hypotension, which can cause uteroplacental insufficiency and can lead to fetal distress. Prophylactic intravascular volume expansion with 500–1000 mL of lactated Ringer's solution is usually administered before placing an epidural catheter. If hypotension still occurs, additional IV fluids, ephedrine (10.0 mg IV), or both may be needed. Left uterine displacement (placement of the patient in left lateral tilt position) can be helpful.
2. Accidental dural puncture (“wet tap”). Complications after a wet tap include spinal headache. Treatment includes administration of abdominal binders, administration of caffeine, and increased fluid intake. Severe cases may require injection of autologous blood in the epidural space near the dural puncture (i.e., “blood patch”).
3. Accidental intravascular injection. CNS toxicity from intravascular injection of an anesthetic includes dizziness, slurred speech, metallic taste, tinnitus, convulsions, and in rare cases cardiac arrest. Treatment is supportive and may involve establishing an airway to provide assisted ventilation and administering short-acting benzodiazepines or barbiturates for seizure control.
4. Accidental subarachnoid injection. If accidental subarachnoid placement of the catheter is not detected by a test dose, a usual epidural dose may result in high or total spinal anesthesia, leading to apnea and hypotension that must be rapidly treated with supportive care.
5. Effect on progress of labor. If an epidural block is too dense or administered too early in labor, the musculature of the pelvic floor can become too relaxed, which potentially results in malrotation of the fetal head during descent. In addition, the parturient may lose the urge or ability to push effectively because of lack of sensation. As a result, the duration of the second stage of labor may be prolonged.Spinal anesthesia and analgesiaIndications. Spinal analgesia may be administered for labor and vaginal delivery. Spinal anesthesia can be used for cesarean sections.Application. For cesarean section, a local anesthetic (tetracaine hydrochloride, bupivacaine, or lidocaine) is injected into the subarachnoid space through a needle placed at the level of L2–L5. A sensory level of T5 is preferable for adequate anesthesia for a cesarean section. For labor and vaginal delivery, small amounts of narcotic (fentanyl, sufentanil citrate, or morphine sulfate) or local anesthetic or both can be used for analgesia. T10–L1 block is needed to minimize the pain of uterine contractions and S2–S4 block is needed for perineal analgesia.
Advantages. The advantages of the spinal block are its rapid onset of effect and ease of administration (relative to an epidural).Limitations. The analgesia of a spinal block lasts only for a limited time period. Therefore, this type of anesthesia is not indicated to relieve the pain of a lengthy labor. Likewise, if concern exists about a very complicated, prolonged cesarean section, epidural or general anesthesia is preferred. Spinal anesthesia is not appropriate for an extremely emergent cesarean section.
Contraindications. These are the same as those listed for epidural anesthesia (see sec. VI.A.5).Risks. As with the epidural block, the spinal block can have complications associated with induced maternal hypotension, spinal headache, and high block (see risks of epidural anesthesia, sec. VI.A.6). Spinal headache can be less likely if a smaller-caliber needle (e.g., 26 or 27 gauge) is used. Respiratory depression and pruritus may occur after spinal analgesia with narcotics [treatment is with naloxone hydrochloride (Narcan)].

Combined spinal-epidural anesthesia (CSE)Indications.
This type of anesthesia is useful for providing analgesia or anesthesia or both for labor, vaginal deliveries, or cesarean sections.
Application. The most frequently used technique is the needle-through-needle method. The epidural space is identified, a spinal needle is then passed through the epidural needle and advanced beyond its tip to puncture the dura, and spinal anesthesia is administered. The spinal needle is then removed, and an epidural catheter is placed through the remaining needle.
Advantages. The CSE combines the rapidity, density, and reliability of the spinal block with the facility to modify or prolong the anesthesia with use of the epidural catheter.Contraindications. These are the same as those listed for epidural anesthesia (see sec. VI.A.5).Risks. In addition to the risks of spinal and epidural anesthesia, there may be difficulty interpreting the epidural test dose after a spinal block has been administered.

General anesthesia.
This form of anesthesia is used far less than regional anesthesia. It requires endotracheal intubation to protect the parturient's airway and minimize the risk of aspiration.Indications. Because of its rapid induction, general anesthesia is usually used for extremely emergent cesarean sections and less often for emergent vaginal deliveries (forceps delivery, severe shoulder dystocia, difficult breech delivery). It may also be used when a patient is hypovolemic or has a contraindication to use of regional anesthesia.

Application. The most popular regimen is to use sodium thiopental (3–4 mg/kg) or ketamine hydrochloride (1–2 mg/kg) as the induction agent, followed by succinylcholine chloride (1 mg/kg) for muscle relaxation to facilitate intubation. Preoxygenation with 100% oxygen increases the oxygen stores in the maternal lungs. Additional inhalation agents (halothane, isoflurane, nitrous oxide) are commonly used.

Advantages. General anesthesia has the advantages of providing rapid induction and producing less hypotension.Limitations. Because of its increased risks to the mother and fetus, general anesthesia is usually reserved for situations when all other forms of anesthesia are contraindicated or inadequate.Risks. Data suggest that the rate of maternal death contributable to general anesthesia may be at least double the rate due to regional anesthesia. The primary cause of death associated with general anesthesia is difficulty with airway management.Failed intubation or aspiration. A careful preoperative evaluation should be performed to identify any potential challenges to intubation. Awake intubation may be necessary. Preoxygenating with 100% oxygen decreases the risk of hypoxia. To reduce the risk of aspiration, cricoid pressure is applied until the endotracheal tube is inserted and the cuff is inflated. Ideally, the patient should have an empty stomach. An antacid is also administered before general anesthesia to increase the pH of the stomach contents.Increased uterine bleeding. Because halogenated anesthetic agents (halothane, isoflurane) cause uterine relaxation, their prolonged use may increase blood loss, although several studies have shown no increased blood loss when these agents are used appropriately.Fetal depression. General anesthetics have the potential for causing neonatal depression. In addition, induction of general anesthesia is associated with a significant decrease in uterine blood flow.

Source:
The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics 2nd edition (May 2002): By Brandon J., Md. Bankowski (Editor), Amy E., MD Hearne (Editor), Nicholas C., MD Lambrou (Editor), Harold E., MD Fox (Editor), Edward E., MD Wallach (Editor), The Johns Hopkins University Department (Producer) By Lippincott Williams & Wilkins Publishers.

WATERBIRTH

Mendengar kata waterbirth akan membawa kita pada persepsi suatu metode persalinanan yang dilakukan di dalam air, kebanyakan dari kita di Indonesia menganggap metode melahirkan ini merupakan metode yang baru padahal sebenarnya metode melahirkan waterbirth ini sudah dikenal jauh sebelumnya, pertama kali di Negara Uni Soviet pada tahun 60-an oleh Igor Tjarkovsky. Selanjutnya berkembang di Perancis di akhir tahun 60-an, dan Amerika tahun 1961.

Secara prinsip melahirkan dengan metode waterbirth tidaklah jauh berbeda dengan metode persalinan normal di atas tempat tidur, hanya saja pada persalinan dengan metode waterbirth dilakukan didalam air sedangkan pada persalinan biasa dilakukan diatas tempat tidur selain itu pada persalinan di atas tempat tidur jauh lebih sakit jika dibandingkan dengan persalinan menggunakan metode waterbith, ada yang mengatakan persalinan dengan waterbirth dapat mengurangi rasa sakit hingga 40-70%.

Pada persalinan dengan metode waterbirth si-ibu akan dimasukan ke dalam kolam berisi air hangat pada saat memasuki bukaan keenam, tujuannya agar kulit vagina menjadi tipis dan lebih elastis sehingga akan lebih mudah untuk meregang saat kepala bayi keluar melewati vagina, bahkan dikatakan jika persalinan berjalan lancar maka tidak perlu sampai harus merobek perineum (bibir vagina), selain itu juga air hangat pada kolam akan memberikan rasa nyaman, tenang dan rileks, pada keadaan rileks ini tubuh akan melepaskan endorphin (semacam morfin yang dibentuk oleh tubuh sendiri), air hangat juga mampu untuk menghambat impuls – impuls saraf yang menghantarkan rasa sakit. sehingga membuat persalinan tidak begitu berat.

Pada persalinan dalam air ini suami juga memiliki peran yang sangat penting di dalam kelancaran persalinan, yaitu dengan melakukan pemijatan pada punggung ibu, hal ini bertujuan untuk memberikan rasa rilex dan nyaman kepada ibu saat persalinan dilakukan didalam kolam, persalinan dengan metode waterbirth ini berlangsung kurang lebih 1-2 jam setelah bukaan keenam dimana pada perslinan biasa membutuhkan waktu hingga 8 jam, kemudian setelah bayi lahir maka dokter akan mengangkat bayi ke permukaan air untuk diberikan ASI pertama kali, kebanyakan ibu kadang merasa khawatir bayi mereka akan tersedak, tetapi sebenarnya hal tersebut tidak akan terjadi karena pada saat bayi sudah berada diluar, bayi tersebut masih bernafas melalui ari – ari dan tali pusat yang masih tersambung ke perut ibu, sehingga tidak akan menjadi masalah bayi yang dilahirkan didalam air.

Persalinan dengan metode waterbirth ini juga sudah banyak diterapkan di beberapa center dan rumaha sakit di Indonesiat seperti Jakarta dan Bali. Beberapa peralatan diperlukan dalam waterbirth seperti kolam plastik berukuran cukup besar (diameter 2 meter) dengan benjolan – benjolan dibagian bawahnya agar ibu tidak merosot saat persalinan berlangsung, ketinggian air dalam kolam juga harus berada diatas pusar baik saat ibu dalam posisi duduk, jongkok atau tiduran. posisi saat melahirkan dapat dilakukan sebebas mungkin bisa sambil duduk, nungging atau terserah nyamannya siibu, selain itu juga diperlukan water heater dan termometer untuk menjaga suhu air agar tetap dalam suhu 37ºC ini bertujuan agar bayi tidak merasakan perbedaan suhu yang ekstrem antara di dalam perut dengan diluar dan agar bayi tidak mengalami hipotermia, itu sebabnya mengapa bayi yang sesaat setelah dilahirkan tidak akan menagis, karena bayi masih merasa berada didalam kandungan akibat suhu air yang tetap hangat. Air yang digunakan juga air suling yang steril dan tidak mengandung kuman sehingga tidak akan menimbulkan infeksi apabila tertelan.

Melahirkan di air juga ada batasan dan beberapa pertimbangan medis seperti yang tidak diperkenankan pada mereka yang memiliki panggul sempit, bayi lahir sungsang atau melintang dan ibu yang sedang dalam perawatan medis, penyakit herpes sebab virus herpes tidak mati dalam air dan dapat menularkan kepada bayi yang dilahirkan,

Tips melahirkan di air
1.ada kemauan dan keyakinan untuk melahirkan di air
2.mengikuti senam hamil saat kehamilan, agar proses persalinan berjalan lancar
3.pastikan kolam yang akan dipakai dalam persalinan adalah kolam yang memenuhi standart untuk waterbirth, dan yakinkan kebersihan dan sterilitas kolam.
4.menyiapkan data lengkap, seperti pemeriksaan laboratorium sebagai salah satu prasyarat mutlak dalam pelaksanaan persalinan dalam air.

Minggu, Agustus 23

Anestesi untuk orang dewasa di Noncardiac Bedah dengan CHD

Cacat jantung bawaan yang paling umum kelompok lahir cacat, terjadi di sekitar 8 dalam 1.000 kelahiran hidup. 1 gigi seri Mengecualikan aortic valves, mayoritas pasien Tanpa lahir dengan penyakit jantung bawaan mati di masa kecil atau anak, dan hanya bertahan 15-25% menjadi dewasa. 2 di muka sebelum melahirkan diagnosa, kardiologi interventional, Pediatric operasi jantung, anestesi, dan perawatan penting dalam hidup telah mengakibatkan sekitar 90% dari anak-anak ini menjadi dewasa. Now, for the first time in history, estimates suggest that more adults than children are living with congenital heart disease (CHD) in the United States. 3-4 Many of these patients will require additional palliative or curative cardiac surgery and noncardiac surgery at some time during adulthood. Sekarang, untuk pertama kalinya dalam sejarah, perkiraan menunjukkan bahwa lebih dewasa daripada anak-anak yang hidup dengan penyakit jantung bawaan (CHD) di Amerika Serikat. 3-4 Banyak pasien ini akan memerlukan tambahan yg meringankan atau kuratif operasi jantung dan operasi noncardiac di beberapa waktu selama dewasa. Adults with CHD demonstrate specific and complex anatomy and physiology. Orang dewasa dengan menunjukkan CHD spesifik dan kompleks anatomi dan fisiologi. Perioperative morbidity and mortality are increased in adults with repaired or palliated CHD; however, no major study focusing on this topic has been performed. 5 Few guidelines are available to direct the management of these challenging patients. Perioperative sifat mudah kena sakit dan kematian yang meningkat pada orang dewasa dengan perbaikan atau palliated CHD, namun tidak besar studi yang berfokus pada topik ini telah dilakukan. 5 Sedikit panduan langsung tersedia untuk pengelolaan ini menantang pasien. Nevertheless, a task force of the American College of Cardiology recommended that adult patients with moderate to severe CHD undergoing noncardiac surgery should be referred to an adult CHD center to obtain appropriate consultation with expert cardiologists and anesthesiologists. 6 Namun demikian, tugas memaksa dari American College of Cardiology merekomendasikan bahwa pasien dewasa dengan berat CHD moderat untuk menjalani operasi noncardiac harus dirujuk ke salah satu pusat CHD dewasa untuk mendapatkan sesuai konsultasi dengan ahli cardiologists dan anesthesiologists. 6
The purpose of this article is to provide an overview of the long-term consequences and the preoperative and intraoperative implications of CHD for the anesthesiologist involved in the care of adults with CHD undergoing noncardiac surgery. Tujuan artikel ini adalah untuk memberikan gambaran tentang konsekuensi jangka panjang dan preoperative dan intraoperative implikasi CHD untuk anesthesiologist terlibat dalam perawatan orang dewasa noncardiac dengan CHD menjalani operasi.

Epidemiology of CHD Epidemiologi dari CHD
About 25% of adults with CHD have a mild form of the disease that has allowed them to survive into adulthood without surgical or interventional cardiac catheterization. Sekitar 25% dari orang dewasa dengan CHD ringan memiliki bentuk penyakit yang telah memungkinkan mereka untuk hidup menjadi dewasa tanpa bedah atau interventional jantung catheterization. The most common lesions in this category include mild aortic valve stenosis (usually in setting of bicuspid aortic valve), small restrictive ventricular septal defects, atrial septal defects, mild pulmonary valve stenosis, mitral valve prolapse, and isolated congenitally corrected transposition of the great arteries ( table 1 ). Luka yang paling umum termasuk dalam kategori ini aortic valve stenosis ringan (biasanya dalam pengaturan gigi seri aortic valve), kecil membatasi ventricular septal defects, atrial septal cacat, ringan pulmonary valve stenosis, mitral valve kejatuhan, dan terpencil congenitally dikoreksi perubahan yang besar arteries (tabel 1). The vast majority of adults with CHD seen in the outpatient setting, however, are patients who have had previous surgical or catheter-based intervention ( table 1 ). Sebagian besar orang dewasa dengan CHD terlihat dalam pengaturan rawat jalan, namun, adalah pasien yang telah ada sebelumnya atau bedah catheter berbasis intervensi (tabel 1).
CHD lesions can be functionally classified into those that produce left to right shunts (acyanotic) and those that produce cyanosis (right to left shunting). CHD luka fungsional dapat digolongkan ke dalam orang-orang yang memproduksi kiri ke kanan shunts (acyanotic) dan orang-orang yang menghasilkan cyanosis (shunting kanan ke kiri). A left to right shunt exists when oxygenated blood from the left atrium, left ventricle, or aorta transits to the right atrium, right ventricle, or the pulmonary artery. J kiri ke kanan ketika ada tabrakan oxygenated darah dari atrium kiri, kamar jantung kiri, atau aorta transits atrium ke kanan, kanan kamar jantung, atau pulmonary artery. Thus, the lungs receive all the deoxygenated blood from the systemic venous return (effective pulmonary blood flow; amount of deoxygenated blood that is carried to lungs to be oxygenated) plus the volume of fully oxygenated blood that is shunted through the defect. Dengan demikian, paru-paru menerima semua deoxygenated darah dari sistemik berkenaan dgn urat darah halus kembali (efektif pulmonary aliran darah; jumlah deoxygenated darah yang dibawa ke paru-paru yang akan oxygenated) plus volume oxygenated penuh darah yang shunted melalui cacat. This results in volume overload of one or more cardiovascular chambers or structures depending on the location of the defect. Hasil ini dalam volume kelebihan satu atau lebih cardiovascular kamar atau struktur tergantung pada lokasi yang cacat. If the defect is large and nonrestrictive, there is both increased flow and transmission of near systemic pressure to the pulmonary vascular bed. Jika cacat yang besar dan nonrestrictive, ada baik dan peningkatan arus transmisi dekat sistemik tekanan kepada pulmonary vascular bed. Over time, this can lead to irreversible changes in the pulmonary vascular bed, leading to increased pulmonary vascular resistance and associated pulmonary artery hypertension. Seiring waktu, hal ini dapat mengakibatkan perubahan yg tak dpt diubah di pulmonary vascular bed, yang mengarah ke peningkatan pulmonary vascular resistensi dan terkait pulmonary artery hipertensi. If the pulmonary artery pressure is at systemic levels, there may be reversed (right to left) or bidirectional shunting at the level of the defect (Eisenmenger syndrome). Jika tekanan pulmonary artery adalah di tingkat sistemik, mungkin ada dibalik (kanan ke kiri) atau bidirectional shunting pada tingkat yang cacat (Eisenmenger syndrome).
Atrial and ventricular septal defects are among the most common congenital abnormalities, constituting 25% of all adult CHD. 7 Other lesions also considered in the acyanotic group that are commonly seen in busy adult congenital outpatient clinics include but are not limited to coarctation of the aorta, congenital aortic valve disease with associated stenosis, regurgitation or most commonly both, subaortic stenosis, congenital abnormalities of the mitral valve leading to stenosis and/or regurgitation, congenitally corrected transposition of the great arteries, and Ebstein's anomaly of the tricuspid valve that is typically a cyanotic lesion in infancy. Atrial dan ventricular septal cacat adalah yang paling umum di antara bawaan abnormalities, constituting 25% dari semua CHD dewasa. 7 luka lain juga dipertimbangkan dalam acyanotic grup yang biasanya terlihat sibuk di klinik rawat jalan dewasa bawaan termasuk tetapi tidak terbatas pada coarctation dari aorta , bawaan aortic valve stenosis berkaitan dengan penyakit, atau paling sering regurgitation keduanya, subaortic stenosis, abnormalities bawaan dari mitral valve stenosis terkemuka untuk dan / atau regurgitation, congenitally dikoreksi perubahan yang besar arteries, dan Ebstein dari anomali dari tricuspid katup yang biasanya cyanotic yang luka di masa kanak-kanak.
Cyanotic heart disease includes those anatomical heart defects that produce a limitation in pulmonary blood flow or result in mixing of oxygenated and deoxygenated blood. Cyanotic jantung termasuk orang-orang cacat anatomis jantung yang memproduksi pulmonary batasan dalam aliran darah atau mengakibatkan pencampuran dari oxygenated dan deoxygenated darah. Both conditions lead to decreased blood oxygen content and cyanosis. Kedua kondisi mengakibatkan penurunan darah dan oksigen konten cyanosis. Unlike the acyanotic forms of congenital heart disease, the majority of patients with cyanotic congenital heart disease will have had at least one and often several previous interventions before adulthood. Berbeda dengan acyanotic bentuk penyakit jantung bawaan, mayoritas pasien dengan penyakit jantung bawaan cyanotic akan memiliki minimal satu dan sering beberapa intervensi sebelumnya sebelum dewasa. The most frequent defects seen in the outpatient adult congenital setting include tetralogy of Fallot, complete transposition of the great arteries (also known as D-transposition), and various forms of single ventricles. 8 Other defects include total anomalous pulmonary venous return, truncus arteriosus, and double outlet right ventricle. Cacat yang paling sering terlihat pada pasien rawat jalan dewasa termasuk pengaturan bawaan dari tetralogi Fallot, lengkap pengangkutan dari arteries besar (juga dikenal sebagai D-pengangkutan), dan berbagai bentuk tunggal ventricles. 8 Lain-lain termasuk cacat total pulmonary berkenaan dgn urat darah halus tdk normal kembali, truncus arteriosus , dan dua kamar jantung kanan outlet.
Long-term Consequences of CHD and Effect on Anesthesia Management Jangka panjang Consequences of CHD dan Efek pada anestesi Manajemen
Adult patients with CHD are now surviving longer than ever before, and it is becoming increasingly apparent that even the most simple lesions can be associated with long-term complications. 9 Long-term cardiac complications include: pulmonary hypertension, ventricular dysfunction, dysrhythmias and conduction defects, residual shunts, valvular lesions (regurgitation and stenosis), hypertension, and aneurysms. Pasien dewasa dengan CHD kini hidup lebih lama dibandingkan sebelumnya, dan ini menjadi semakin jelas bahwa bahkan yang paling sederhana luka dapat dikaitkan dengan komplikasi jangka panjang. 9 jangka panjang komplikasi jantung termasuk: pulmonary hipertensi, ventricular penyelewengan fungsi, dysrhythmias dan konduksi cacat, sisa shunts, valvular luka (regurgitation dan stenosis), hipertensi, dan aneurysms. Noncardiac sequelae include secondary erythrocytosis, cholelithiasis, nephrolithiasis, developmental abnormalities, central nervous abnormalities, such as seizure disorders from previous thromboembolic events or cerebrovascular accidents, hearing or visual loss, and restrictive and obstructive lung disease. Noncardiac sequelae termasuk erythrocytosis sekunder, cholelithiasis, nephrolithiasis, pembangunan abnormalities, abnormalities saraf pusat, seperti serangan dari sebelumnya disorders thromboembolic acara atau cerebrovascular kecelakaan, kehilangan pendengaran atau visual, dan membatasi dan merintangi penyakit paru-paru. Adult patients with CHD requiring noncardiac surgery can be viewed on a continuum in which some patients have defects that have not been corrected, some have received palliative repairs ( eg , partial or total cavopulmonary shunts), and others have undergone complete anatomic correction. Pasien dewasa dengan CHD memerlukan noncardiac operasi dapat dilihat pada sebuah kontinum di mana ada beberapa pasien cacat yang belum diperbaiki, ada beberapa perbaikan yg meringankan diterima (misalnya, sebagian atau total cavopulmonary shunts), dan lain-lain telah mengalami koreksi anatomis lengkap. Some patients will present with mild disease and will require less aggressive management, whereas others with complex disease will require care from cardiologists and anesthesiologists with significant expertise in CHD. Beberapa pasien akan hadir dengan penyakit ringan dan akan memerlukan kurang agresif manajemen, sedangkan yang lainnya dengan penyakit kompleks akan memerlukan perawatan dari cardiologists dan anesthesiologists signifikan dengan keahlian dalam CHD. In nearly all cases, CHD in adults should be viewed as a systemic condition with associated multiorgan dysfunction. 10,11 Dalam hampir semua kasus, orang dewasa di CHD harus dilihat sebagai kondisi sistemik yang terkait dengan penyelewengan fungsi multiorgan. 10,11

Pulmonary Hypertension Hipertensi pulmonary
Adults with CHD may develop pulmonary hypertension for a variety of reasons. CHD dengan orang dewasa dapat mengembangkan pulmonary hipertensi untuk berbagai alasan. Potential etiologies include pulmonary venous hypertension secondary to elevated ventricular end diastolic pressure, elevated pulmonary venous atrial pressure, or pulmonary vein stenosis. Potensi etiologies termasuk pulmonary berkenaan dgn urat darah halus hipertensi sekunder untuk meninggikan tekanan ventricular end diastolic, meninggikan tekanan atrial pulmonary berkenaan dgn urat darah halus, atau pulmonary stenosis pembuluh darah. Many of these patients also continue to have decreased oxygen saturation secondary to residual shunts, poor lung function, and persistent decreased pulmonary blood flow. Banyak dari pasien ini juga terus mengalami penurunan saturasi oksigen sekunder untuk sisa shunts, miskin fungsi paru-paru, dan persistent pulmonary penurunan aliran darah. The main etiology for pulmonary hypertension in adults with congenital heart disease, however, is the presence of long-standing large and nonrestrictive defects. Etiologi utama untuk orang dewasa di pulmonary hipertensi dengan penyakit jantung bawaan, bagaimanapun, adalah kehadiran lama berdiri dan besar nonrestrictive cacat. This allows for both increased flow and transmission of near systemic pressure to the pulmonary vascular bed, leading to irreversible vascular changes and elevated pulmonary vascular resistance. Hal ini memungkinkan untuk meningkatkan arus dan transmisi dekat tekanan sistemik ke pulmonary vascular bed, yang mengarah ke perubahan yg tak dpt diubah vascular dan ditinggikan pulmonary vascular resistance. Manifestations begin in childhood and are progressive. Manifestasi mulai di anak dan progresif. Early on increases in pulmonary vascular resistance may be reversible; over time, however, increases become permanent. Awal pada peningkatan pulmonary vascular perlawanan mungkin dpt dibatalkan; beberapa waktu, namun meningkat menjadi permanen. Vascular changes include hypertrophy of the media of small muscular arteries and arterioles, intimal cellular proliferation, smooth muscle cell migration into the subendothelium, progressive fibrosis, and obliteration of arterioles and small arteries. 12 Eisenmenger syndrome refers to the development of pulmonary hypertension secondary to long-standing left to right shunting. Vascular hypertrophy termasuk perubahan dari media kecil arteries berotot dan arterioles, intimal selular proliferasi, sel otot halus migrasi ke subendothelium, fibros progresif, dan penghapusan dari arterioles dan kecil arteries. 12 Eisenmenger sindrom merujuk kepada perkembangan pulmonary hipertensi sekunder untuk panjang berdiri di kiri-kanan ke shunting.
Patients with Eisenmenger syndrome represent a particular challenge for the anesthesiologist. Pasien dengan sindrom Eisenmenger tertentu merupakan tantangan bagi anesthesiologist. Perioperative mortality is increased, 13 and noncardiac surgery should only be performed if absolutely essential in patients with Eisenmenger physiology. Perioperative kematian meningkat, 13 dan operasi noncardiac hanya boleh dilakukan jika benar-benar penting pada pasien dengan Eisenmenger fisiologi. Predictors of mortality include syncope, age at presentation or development of symptoms, poor functional class, supraventricular dysrhythmias, elevated right atrial pressures, low oxygen saturation (less than 85%), renal insufficiency, severe right ventricular dysfunction, and trisomy 21. Predictors dari kematian termasuk keadaan pingsan, usia di presentasi atau perkembangan gejala, fungsional kelas miskin, supraventricular dysrhythmias, meninggikan tekanan atrial kanan, kejenuhan oksigen rendah (kurang dari 85%), ketidakcukupan ginjal, parah kanan ventricular penyelewengan fungsi, dan trisomy 21.
A primary goal of anesthetic management in patients with pulmonary hypertension is to minimize increases in pulmonary vascular resistance and to maintain systemic vascular resistance ( fig. 1 ). J tujuan utama yg menyebabkan kematirasaan dalam manajemen pasien dengan pulmonary hipertensi adalah untuk meminimalkan peningkatan pulmonary vascular perlawanan dan mempertahankan sistemik vascular resistensi (fig. 1). Abrupt increases in pulmonary vascular resistance may precipitate either acute right ventricular failure and decreased cardiac output in patients without intracardiac shunting or oxygen desaturation followed by decreased cardiac output in patients with intracardiac shunting. Tiba-tiba meningkat di pulmonary vascular resistensi Mei menerjunkan baik akut kanan ventricular kegagalan jantung dan penurunan output di pasien tanpa intracardiac shunting atau oksigen desaturation diikuti oleh penurunan output di jantung pasien dengan intracardiac shunting. In both cases, severe bradycardia may occur with progression to cardiac arrest. Dalam kedua kasus, parah bradycardia mungkin terjadi dengan kemajuan ke perhentian jantung. Prevention and treatment of pulmonary hypertensive crisis includes hyperventilation (with 1.0 fractional inspired oxygen concentration), correction of acidosis, avoidance of sympathetic nervous system stimulation, maintenance of normothermia, minimization of intrathoracic pressure, and use of inotropic support. Pencegahan dan perawatan dari pulmonary hypertensive krisis mencakup hyperventilation (1,0 pecahan terinspirasi dengan oksigen konsentrasi), koreksi dari acidosis, mencegah terjadinya stimulasi sistem saraf simpatik, pemeliharaan normothermia, minimization of intrathoracic tekanan, dan penggunaan inotropic dukungan. Inhaled nitric oxide may be useful to treat sudden increases in pulmonary vascular resistance, and this drug should probably be available in the operating room for use in high-risk patients. Berhubung dgn sendawa Inhaled oksida mungkin berguna untuk merawat tiba-tiba meningkat di pulmonary vascular resistensi, dan obat ini mungkin akan tersedia di ruang operasi untuk pasien berisiko tinggi. Regional anesthesia may be an acceptable alternative to general anesthesia for patients undergoing peripheral procedures. Regional anestesi mungkin alternatif yang dapat diterima untuk anestesi umum untuk pasien yang menjalani prosedur pinggiran. However, spinal or epidural anesthesia may produce unacceptable decreases in systemic vascular resistance in patients with unrestrictive intracardiac shunts, and this action could exacerbate right to left shunting. Namun, tulang belakang atau epidural anestesi Mei menghasilkan penurunan tidak dapat diterima sistemik vascular resistensi di pasien dengan unrestrictive intracardiac shunts, dan tindakan ini dapat memahitkan shunting kanan ke kiri. Conversely, general anesthesia allows for optimal control of ventilation and may be preferable in patients undergoing high-risk surgery. Sebaliknya, anestesi umum optimal untuk memungkinkan pengendalian ventilasi dan mungkin lebih baik dalam pasien berisiko tinggi menjalani operasi.

Bleeding and Thrombosis Risk Pendarahan dan trombosa Risiko
Most patients with Eisenmenger syndrome will be severely cyanotic, defined as an oxygen saturation of no more than 85%. Kebanyakan pasien dengan sindrom Eisenmenger akan sangat cyanotic, ditetapkan sebagai kejenuhan oksigen yang tidak lebih dari 85%. Cyanotic patients are at high risk for both perioperative bleeding and thrombosis, even during minor surgery. Cyanotic pada pasien yang berisiko tinggi untuk kedua perioperative perdarahan dan darah, bahkan saat operasi kecil. Both are secondary to abnormalities in platelet number and function as well as complex abnormalities in the coagulation system. Keduanya menengah ke abnormalities di nomor platelet dan fungsi serta kompleks abnormalities dalam sistem pembekuan. Thrombocytopenia is felt to be secondary to shortened platelet survival due to peripheral consumption. Thrombocytopenia adalah merasa menjadi sekunder untuk hidup singkat platelet karena pinggiran konsumsi. The abnormalities in the coagulation pathways are less understood. The abnormalities di jalur pengentalan kurang dipahami. Patients with severe cyanosis have low levels of circulating vitamin K-dependent clotting factors, factor V, and von Willebrand factor. Pasien dengan berat cyanosis memiliki tingkat rendah beredar vitamin K-dependent clotting faktor, faktor V, dan faktor von Willebrand. This leads to an elevated International Normalized Ratio and a prolonged activated partial thromboplastin time. Ini mengarah ke sebuah ditinggikan International Normalized Ratio dan berkepanjangan thromboplastin diaktifkan sebagian waktu. These patients, however, do not have an elevated bleeding time, likely secondary to increased blood viscosity and decreased flow. Pasien tersebut, namun tidak memiliki waktu perdarahan ditinggikan, kedua kemungkinan untuk meningkatkan kelekatan darah dan penurunan arus. Further contributing to the bleeding risk is the presence of arteriolar dilation and increased tissue vascularity. Lebih berkontribusi terhadap risiko pendarahan adalah keberadaan arteriolar peluasan dan peningkatan jaringan vascularity. This is felt to be secondary to increased release of endothelium-derived nitric oxide and prostaglandins in response to increased wall sheer stress in the setting of increased blood viscosity. Hal ini dirasakan menjadi sekunder untuk meningkatkan rilis endothelium-berasal berhubung dgn sendawa oksida dan prostaglandins dalam respon terhadap stres meningkat dinding terjal di pengaturan yang meningkat kelekatan darah.
Although patients with cyanosis have an increased risk for bleeding, this is not protective against thrombosis. Walaupun pasien dengan cyanosis memiliki risiko untuk pendarahan, ini bukan perlindungan terhadap darah. In the setting of cyanosis, these patients develop secondary erythrocystosis. Dalam pengaturan yang cyanosis, pasien tersebut mengembangkan erythrocystosis sekunder. Secondary erythrocytosis develops as a compensatory response to chronic hypoxia and results from overproduction of erythropoietin. Sekunder erythrocytosis berkembang sebagai respon terhadap sbg Hypoxia kronis dan hasil dari berlebihan dari erythropoietin. This results in increased whole blood viscosity resulting from increased red blood cell mass and decreased plasma volume. Hasil ini meningkat di seluruh kelekatan darah akibat peningkatan massa sel darah merah dan volume plasma menurun. The end result is decreased flow in the small arterioles and capillaries. Hasil akhir adalah penurunan arus di arterioles kecil dan capillaries. This is further exacerbated in the setting of iron deficiency and dehydration. Hal ini lebih lanjut kian dalam pengaturan besi kekurangan dan dehidrasi. Iron-deficient red blood cells are less deformable and have been found to be one of the strongest independent predictors of thrombosis in the setting of Eisenmenger syndrome. 14 Besi-sel darah merah kurang kurang deformable dan telah ditemukan untuk menjadi salah satu kuat predictors dari trombosa independen dalam pengaturan Eisenmenger syndrome. 14
In the perioperative setting, preoperative fasting might exacerbate symptoms of hyperviscosity and increase the risk of cerebrovascular thrombosis. Perioperative dalam pengaturan, preoperative puasa memahitkan mungkin gejala hyperviscosity dan meningkatkan risiko cerebrovascular trombosa. Thus, adequate hydration with intravenous fluids must be maintained, particularly in fasting patients. Dengan demikian, cukup dengan darah hydration cairan harus dijaga, khususnya dalam puasa pasien. Although euvolemic phlebotomy is no longer a routine practice, preoperative phlebotomy to improve surgical hemostasis may be useful when hematocrit levels exceed 65%. 8 Walaupun proses mengeluarkan darah euvolemic tidak lagi rutin latihan, preoperative proses mengeluarkan darah untuk meningkatkan hemostasis bedah mungkin berguna ketika tingkat hematocrit melebihi 65%. 8
Careful preoperative assessment of the coagulation system is essential, and replacement of coagulation factors and platelets should be considered in patients undergoing moderate or major surgery. Hati-hati preoperative penilaian tentang sistem pembekuan sangat penting, dan penggantian faktor pengentalan dan platelets harus dipertimbangkan pada pasien yang menjalani operasi besar atau sedang. In addition, iron deficiency should be corrected preoperatively if the procedure is not urgent. Selain itu, kekurangan zat besi harus diperbaiki preoperatively jika prosedur tidak mendesak. It is important to note, however, that in the setting of secondary erythrocytosis with increased hemogloblin and decreased plasma volume, standard techniques to measure International Normalized Ratio and activated partial thromboplastin time may be unreliable. Penting untuk dicatat, bahwa dalam pengaturan yang kedua erythrocytosis dengan peningkatan hemogloblin dan penurunan volume plasma, standar teknik untuk mengukur International Normalized Ratio dan diaktifkan thromboplastin sebagian waktu dapat diandalkan. Because of these changes, the concentration of citrate in the sampling tube must also be adjusted. Karena perubahan ini, maka konsentrasi garam sitrat dalam tabung sampel juga harus disesuaikan. In most centers, the anticoagulant in the tube can be adjusted by the following formula: anticoagulant in sampling tube (3.8% citrate) in ml = {[(100-hematocrit)/100{] + 0.02 for a draw of 10 ml of whole blood. Di sebagian besar pusat, yang anticoagulant dalam tabung dapat disesuaikan dengan rumus berikut: anticoagulant dalam tabung sampel (3,8% garam sitrat) dalam ml = ([(100-hematocrit) / (100] + 0,02 untuk menarik dari 10 ml seluruh darah.

Heart Failure Gagal jantung
Right-sided and left-sided heart failure are common complications of both corrected and uncorrected CHD. Sisi kanan dan kiri sisi jantung adalah komplikasi umum dari kedua dikoreksi dan uncorrected CHD. Increases in atrial natriuretic peptide, renin, aldosterone, and norepinephrine have been observed in adults with CHD many years after surgical correction, even in asymptomatic patients. Peningkatan atrial natriuretic peptide, renin, aldosterone, dan norepinephrine telah diamati dengan CHD dewasa dalam beberapa tahun setelah bedah koreksi, bahkan di asymptomatic pasien. Abnormal cardiac autonomic nervous system regulation and altered hemodynamics contribute to the development of heart failure in these patients. Abnormal jantung autonomic sistem saraf dan peraturan diubah hemodynamics kontribusi bagi pengembangan di jantung pasien. Management of left ventricular failure with diuretics, digoxin, angiotensin-converting enzyme inhibitors, and β-blockers is similar to other forms of acquired heart failure, and treatment should be optimized in the perioperative period. 5 In contrast to left ventricular failure, there are no evidence-based guidelines for the management of heart failure in patients with a systemic right ventricle (congenitally corrected transposition of the great arteries, Mustard, or Senning repairs of transposition of the great arteries, and single ventricles). 15 Further clinical trials are warranted. Pengelolaan ventricular kiri dengan kegagalan diuretics, digoxin, angiotensin-converting enzim inhibitors, β-blockers dan mirip dengan bentuk lain diperoleh jantung, dan pengobatan harus dioptimalkan di masa perioperative. 5 Dalam kontras ke kiri ventricular kegagalan, terdapat tidak berdasarkan bukti pedoman untuk pengelolaan di jantung pasien dengan kamar jantung sistemik kanan (congenitally dikoreksi perubahan yang besar arteries, Mustard, atau Senning perbaikan dari perubahan yang besar arteries, dan satu

Dysrhythmias Dysrhythmias
Atrial and ventricular dysrhythmias are common in adults with CHD. Atrial dan ventricular dysrhythmias yang umum di CHD dengan orang dewasa. Dysrhythmias arise in patients who have undergone previous curative or palliative surgery as a primary consequence of the underlying congenital defect or secondary to surgical repair. 16,17 For example, supraventricular dysrhythmias occur in 20-45% of patients with previous atrial surgery (late atrial septal defect closure, 18 Mustard, Senning, or Fontan procedures) or in those with atrial distension. Dysrhythmias timbul dalam pasien yang sebelumnya telah mengalami kuratif yg meringankan operasi atau sebagai akibat dasar yang cenangga atau sekunder untuk bedah perbaikan. 16,17 Misalnya, supraventricular dysrhythmias terjadi pada 20-45% dari pasien dengan operasi sebelumnya atrial (akhir atrial septal cacat penutupan, 18 Mustard, Senning, atau prosedur Fontan) atau orang-orang dengan atrial distension. The most common form of tachyarrhythmia observed is intraatrial reentrant tachycardia originating from the right atrium. Yang paling umum berupa tachyarrhythmia diamati adalah intraatrial reentrant tachycardia yang berasal dari atrium kanan. Atrial tachyarrhythmias are often resistant to pharmacological treatment and can result in rapid hemodynamic deterioration. Atrial tachyarrhythmias sering tahan terhadap perlakuan pharmacological dan dapat berakibat hemodynamic cepat rusak. Ventricular dysrhythmias are most frequently encountered in patients who have significantly decreased right or left ventricular function. Ventricular dysrhythmias adalah yang paling sering ditemui pada pasien yang telah menurun secara signifikan ventricular kanan atau kiri fungsi. Other risk factors include previous ventriculotomy, earlier surgical era, or older age at initial surgery. Faktor risiko lainnya termasuk sebelumnya ventriculotomy, bedah era sebelumnya, atau lebih awal pada usia operasi. Patients who were repaired late are exposed to longer periods of cyanosis, volume overload, and pressure overload. Pasien yang terlambat diperbaiki lagi dihadapkan ke periode cyanosis, volume overload, dan kelebihan tekanan. As a result, they have increased myocardial fibrosis and associated slowing of conduction and an increased risk for dysrhythmias. Akibatnya, mereka telah meningkatkan myocardial fibros dan terkait perlambatan dari konduksi dan peningkatan risiko untuk dysrhythmias. Acute hypoxemia can provoke ventricular dysrhythmias because subendocardial myocardial perfusion is already impaired in hypertrophied myocardium. Akut hypoxemia dapat memprovokasi ventricular dysrhythmias karena subendocardial myocardial perfusion sudah dilemahkan dalam hypertrophied myocardium. Some patients will require a permanent pacemaker to treat bradycardia secondary to postoperative atrioventricular block. Beberapa pasien yang membutuhkan alat pacu jantung permanen untuk merawat kedua bradycardia ke postoperative atrioventricular blok. The management of patients with pacemakers and intracardiac defibrillators has been reviewed elsewhere. 19 Pengelolaan pasien dengan pacemakers dan intracardiac defibrillators telah dibahas di tempat lain. 19

Anesthetic Management Yg menyebabkan kematirasaan Manajemen
Preoperative Evaluation Preoperative Evaluasi
The preoperative evaluation of patients with CHD undergoing noncardiac surgery should use a multidisciplinary approach that includes the participation of anesthesiologists, cardiologists, intensivists, and surgeons. Evaluasi yang preoperative pasien dengan CHD menjalani operasi noncardiac harus menggunakan pendekatan multidisiplin yang mencakup partisipasi anesthesiologists, cardiologists, intensivists, dan Dokter Ahli Bedah. Guidelines of the task force for the organization of delivery systems for adults with CHD recommend that patients with moderate or complex CHD should be managed in a regional adult congenital heart disease center. 3,6 Perioperative risk is substantially increased in adults with CHD, particularly in those with poor functional class, pulmonary hypertension, congestive heart failure, and cyanosis. 20 Major surgery and procedures that involve one lung ventilation or changes in position ( eg , prone, Trendelenburg) could produce important hemodynamic effects that contribute to increasing risk. Pedoman dari kelompok kerja bagi organisasi sistem penyampaian untuk orang dewasa dengan CHD menyarankan pasien dengan moderat atau kompleks CHD harus dikelola di daerah dewasa penyakit jantung bawaan pusat. 3,6 Perioperative risiko yang meningkat secara substansial di CHD dengan orang dewasa, khususnya di orang-orang miskin dengan kelas fungsional, pulmonary hipertensi, gagal jantung congestive, dan cyanosis. 20 Pasar operasi dan prosedur yang melibatkan satu ventilasi paru-paru atau perubahan posisi (misalnya, yang rawan, Trendelenburg) dapat menghasilkan efek yang penting hemodynamic kontribusi untuk meningkatkan risiko. Therefore, the anesthesiologist should be familiar with the patient's specific anatomy and physiology as determined from echocardiographic and cardiac catheterization results. Oleh karena itu, anesthesiologist harus akrab dengan pasien spesifik anatomi dan fisiologi seperti yang ditetapkan dari echocardiographic dan jantung catheterization hasil. This knowledge is useful to anticipate intraoperative events that may precipitate acute changes in the magnitude or direction of intracardiac shunts or modulate flow through systemic to pulmonary shunts. Pengetahuan ini berguna untuk mengantisipasi intraoperative acara akut yang dapat menimbulkan perubahan dalam jarak atau arah intracardiac shunts atau memodulasi mengaliri sistemik ke pulmonary shunts. If recent examination results are not available, a preoperative echocardiogram may be indicated. 20 Jika hasil pemeriksaan terakhir tidak tersedia, preoperative echocardiogram mungkin ditunjukkan. 20

Premedication Premedication
Many adults with CHD undergoing noncardiac surgery have undergone previous cardiac surgery and are familiar with anesthesia. Banyak orang dewasa dengan CHD menjalani operasi noncardiac sebelumnya telah mengalami operasi jantung dan sudah akrab dengan anestesi. Some may present with anxiety, physical limitations, and associated anomalies or syndromes (the most common is trisomy 21). Beberapa Mei hadir dengan kegelisahan, keterbatasan fisik, dan yang terkait anomalies atau syndromes (yang paling umum adalah trisomy 21). Adults with CHD are more likely to be living with their parents and to develop a variety of psychosocial issues. 20 Consequently, psychological preparation of patients for surgery is important. CHD dengan orang dewasa lebih mungkin untuk hidup dengan orang tua mereka dan untuk mengembangkan berbagai masalah psikososial. 20 Akibatnya, persiapan psikologis bagi pasien operasi adalah penting. Premedication with anxiolytics and hypnotics must be undertaken very cautiously because hypoventilation and hypercapnia may produce deleterious increases in pulmonary vascular resistance, particularly, in patients with underlying pulmonary hypertension or systemic to pulmonary shunts. Premedication dengan anxiolytics dan hypnotics harus dilakukan sangat hati-hati karena hypoventilation dan memproduksi Mei hypercapnia mengganggu peningkatan pulmonary vascular perlawanan, khususnya, dalam pasien dengan yang pulmonary hipertensi sistemik atau pulmonary ke shunts. However, patients with chronic hypoxemia retain a normal ventilatory response to hypercarbia as well as to opioid analgesics. Namun, pasien dengan kronis hypoxemia mempertahankan biasa ventilatory Tanggapan ke hypercarbia serta opioid analgesics.

Endocarditis Prophylaxis Endocarditis pencegahan
The American Heart Association has recently published updated guidelines for the prevention of infective endocarditis. 21 After reviewing the literature over the last 40 yr, an expert panel found that very few cases of endocarditis could have been prevented with antibiotic prophylaxis. American Heart Association baru-baru ini telah dipublikasikan Diperbaharui pedoman untuk pencegahan infective endocarditis. 21 Setelah meninjau literatur selama 40 thn, seorang ahli panel menemukan bahwa sangat sedikit kasus endocarditis telah dapat dicegah dengan antibiotik pencegahan. As result, only patients with cardiac conditions associated with the highest risk for adverse outcomes should continue following antibiotic prophylaxis before surgery: patients with previous endocarditis, unrepaired cyanotic CHD, including palliative shunts and conduits; completely repaired congenital heart defects with prosthetic material or device, whether placed by surgery or by catheter intervention, during the first 6 months after the procedure; repaired CHD with residual defects at the site or adjacent to the site of a prosthetic patch or prosthetic device (which inhibit endothelialization). Sebagai hasilnya, hanya pasien dengan kondisi jantung yang terkait dengan risiko tinggi untuk Adverse hasil berikut harus terus antibiotik pencegahan sebelum operasi: pasien dengan sebelumnya endocarditis, unrepaired cyanotic CHD, termasuk yg meringankan shunts dan conduits; sepenuhnya diperbaiki dengan cacat jantung bawaan berhubung dgn bagian badan buatan bahan atau perangkat, apakah ditempatkan oleh operasi atau intervensi catheter, selama 6 bulan pertama setelah prosedur; CHD diperbaiki dengan sisa cacat di situs atau bersebelahan dengan situs yang berhubung dgn bagian badan buatan patch atau berhubung dgn bagian badan buatan perangkat (yang menghalangi endothelialization). Except for the conditions listed above, antibiotic prophylaxis is no longer recommended for other forms of CHD. Kecuali untuk kondisi yang tercantum di atas, pencegahan penyakit antibiotik tidak lagi dianjurkan untuk bentuk lain CHD.

Intraoperative Management Intraoperative Manajemen
Adults with CHD who have undergone complete anatomic repair and have no evidence of late functional deterioration can be managed by using conventional approaches. CHD dengan orang dewasa yang telah mengalami perbaikan lengkap anatomis dan tidak ada bukti akhir-akhir ini kemerosotan fungsional dapat dikelola dengan menggunakan pendekatan konvensional. In contrast, patients with more complex CHD and moderate to major surgery will require specific intraoperative management. Sebaliknya, pasien dengan lebih rumit dan CHD moderat untuk operasi besar akan memerlukan pengelolaan khusus intraoperative.

Monitoring Pemantauan
In addition to direct examination of the patient, standard conventional noninvasive monitoring including pulse oximetry, electrocardiogram, arterial blood pressure, capnography and temperature are used in all patients. Selain pemeriksaan langsung dari pasien, standar konvensional noninvasive pemantauan termasuk pulse oximetry, electrocardiogram, tekanan darah arterial, capnography dan suhu yang digunakan dalam semua pasien. Pulse oximetry is perhaps uniquely important in the management of CHD. Pulse oximetry mungkin unik penting dalam pengelolaan CHD. For example, decreases in arterial saturation can signify increases in pulmonary vascular resistance, increases in right to left shunting, or decreases in pulmonary blood flow through systemic to pulmonary shunts. Misalnya, penurunan arterial saturation dapat menandakan peningkatan pulmonary vascular resistance, peningkatan shunting kanan ke kiri, atau penurunan pulmonary melalui aliran darah ke sistemik pulmonary shunts. In contrast, increases in left to right shunting may not be detected by pulse oximetry and arterial oxygen saturation may be maintained even if systemic cardiac output is severely compromised. Sebaliknya, peningkatan shunting kanan ke kiri tidak dapat dideteksi oleh pulse oximetry dan saturasi oksigen arterial dapat dipertahankan bahkan jika output sistemik jantung adalah sangat dikompromi. The capnogram is altered, and end tidal carbon dioxide concentrations underestimate Paco 2 in the case of right to left shunting. Capnogram adalah yang diubah, dan akhirnya pasang konsentrasi karbon dioksida meremehkan Paco 2 dalam kasus shunting kanan ke kiri.
Knowledge of the anatomy and physiology of specific palliative repairs is important for choosing appropriate monitoring. Pengetahuan tentang anatomi dan fisiologi tertentu yg meringankan perbaikan penting untuk memilih sesuai pemantauan. For example, congenital defects that are associated with inadequate pulmonary blood flow ( eg , pulmonary valve atresia or univentricular heart) are palliated with systemic to pulmonary shunts. Misalnya, cacat bawaan yang berkaitan dengan tidak memadai pulmonary aliran darah (misalnya, pulmonary atresia katup jantung atau univentricular) adalah palliated dengan sistemik ke pulmonary shunts. In patients with a classic Blalock-Taussig shunt (end to side anastomosis of the subclavian and pulmonary arteries) arterial pressure and Spo 2 cannot be measured on the ipsilateral side. Dalam pasien dengan klasik Blalock-Taussig mengundurkan (akhir ke samping anastomosis dari subclavian dan pulmonary arteries) arterial tekanan Spo 2 dan tidak dapat diukur pada sisi ipsilateral. A Glenn shunt or bidirectional cavopulmonary anastomosis consists of an end to side anastomosis of the divided superior vena cava to pulmonary artery. J Glenn tabrakan atau bidirectional cavopulmonary anastomosis terdiri dari sebuah akhir ke samping anastomosis yang dibagi unggul sharel ke pembuluh darah pulmonary artery. Total cavopulmonary connection (Fontan circulation) is established when the pulmonary and systemic circulations are totally separated by diverting all the systemic venous return to the pulmonary artery, usually without interposition of a subpulmonic ventricle. Total cavopulmonary sambungan (Fontan sirkulasi) didirikan ketika sistemik dan pulmonary circulations are totally dipisahkan oleh alihan semua sistemik berkenaan dgn urat darah halus kembali ke pulmonary artery, biasanya tanpa perantaraan seorang subpulmonic kamar jantung. These alterations in intracardiac anatomy complicate the placement of central venous catheters in palliated adults, and the anatomical variations must be considered when interpreting values obtained from central venous monitoring. Perubahan ini di intracardiac anatomi menyulitkan penempatan pusat berkenaan dgn urat darah halus catheters di palliated orang dewasa, dan variasi anatomis harus dipertimbangkan ketika menafsirkan nilai-nilai yang diperoleh dari pusat pemantauan berkenaan dgn urat darah halus. For example, in patients with a Fontan circulation, central venous pressure reflects mean pulmonary artery pressure. Misalnya, dalam pasien dengan Fontan sirkulasi, pusat tekanan berkenaan dgn urat darah halus mencerminkan berarti pulmonary artery tekanan. In patients with an intraatrial baffle ( eg , Mustard or Senning procedure), pulmonary artery catheter placement may be difficult or impossible. Dalam pasien dengan intraatrial mengherankan (misalnya, prosedur Mustard atau Senning), pulmonary artery catheter penempatan mungkin sulit atau mustahil. Vascular access may also be difficult because many of these patients have already undergone previous vessel catheterization. Vascular akses mungkin juga akan sulit karena banyak pasien ini telah mengalami sebelumnya catheterization kapal. Invasive arterial pressure monitoring can be essential in managing patients with Eisenmenger syndrome, intracardiac or systemic to pulmonary shunts undergoing major surgery who are also sensitive to sudden changes in preload, and systemic and pulmonary vascular resistance. Serbuan arterial tekanan pemantauan dapat penting dalam mengelola pasien dengan sindrom Eisenmenger, intracardiac sistemik atau pulmonary shunts untuk menjalani operasi besar yang juga sensitif terhadap perubahan mendadak di awal, dan sistemik dan pulmonary vascular resistance. Finally, transesophageal echocardiography might be useful in adults with CHD undergoing noncardiac surgery to monitor intravascular volume status and ventricular function. Akhirnya, transesophageal echocardiography mungkin berguna dalam dewasa dengan CHD menjalani operasi noncardiac volume intravascular untuk memonitor status dan fungsi ventricular. In the presence of complex CHD, transesophageal echocardiography should be performed by an individual familiar with CHD. Dalam keberadaan kompleks CHD, transesophageal echocardiography harus dilakukan oleh seorang individu akrab dengan CHD.

Anesthetic Technique Yg menyebabkan kematirasaan Teknik
There are no evidence-based recommendations to guide the anesthetic management of patients with CHD undergoing noncardiac surgery. Tidak ada bukti berdasarkan rekomendasi ke petunjuk kepada yg menyebabkan kematirasaan pengelolaan pasien dengan CHD menjalani operasi noncardiac. Given the large scope of abnormalities encompassed by CHD, 22,23 it is also impossible to propose a single approach for anesthetic management that would address every possible defect. Mengingat besar lingkup abnormalities mencakup oleh CHD, 22,23 itu juga mungkin untuk mengajukan satu pendekatan untuk pengelolaan yg menyebabkan kematirasaan setiap alamat yang mungkin cacat. However, a major objective of intraoperative management is to promote tissue oxygen delivery by preventing arterial desaturation, maintaining a balance between pulmonary and systemic flows, and by optimizing hematocrit. Namun, tujuan utama manajemen intraoperative adalah meningkatkan pemberian oksigen oleh jaringan arterial mencegah desaturation, menjaga keseimbangan antara pulmonary sistemik dan aliran, dan dengan mengoptimalkan hematocrit. Management strategies for specific defects are outlined in table 2 . Manajemen strategi khusus untuk cacat yang tercantum dalam tabel 2.

Anesthetic Agents
There are few studies that have evaluated the hemodynamic effects of anesthetic agents in adult patients with CHD. Most intravenous agents depress myocardial contractility and decrease systemic vascular resistance, and these actions could have an adverse effect on tissue oxygen delivery during induction of anesthesia. Alternatively, some evidence suggests that etomidate may provide hemodynamic stability in the setting of CHD 17 similarly to other settings of impaired cardiac function. The potential favorable effects of ketamine in this population have not been adequately investigated. Ketamine has been suggested to increase pulmonary vascular resistance in adults without CHD. 24 However, this agent produces beneficial effects in children with CHD and severe pulmonary hypertension undergoing sevoflurane anesthesia 25 by maintaining systemic vascular resistance and ventricular performance, without increasing pulmonary vascular resistance. As in the case of intravenous anesthetic agents, the choice of a specific volatile anesthetic agent to be used should be based on the patient's physiology and the overall goal of balancing pulmonary and systemic blood flow.

Intracardiac and Systemic to Pulmonary Shunts
Shunting has an important effect on anesthetic management. All intravenous lines must be meticulously deaired to decrease the risk of systemic air embolization in patients with intracardiac shunts. The hemodynamic effects of ventilation strategies, positioning, pharmacological agents, and blood loss must all be considered to appropriately balance pulmonary and systemic blood flow in patients with intracardiac or systemic to pulmonary shunts ( figs. 1 and 2 ). Ventilation with high airway pressures can compromise venous return, increase pulmonary vascular resistance, and exacerbate right to left shunting in patients with cyanotic heart disease. Inadequate anesthesia and sympathetic nervous system stimulation might increase systemic vascular resistance, exacerbate left to right shunting, and reduce systemic cardiac output in a patient with a large atrial septal defect. Trendelenburg position can increase central venous (superior vena cava) pressure and cause cerebral hypoperfusion in a patient with a Glenn shunt or Fontan. Systemic hypotension can also result in a decrease in pulmonary blood flow, with subsequent arterial desaturation, in a patient with a systemic to pulmonary artery shunt (Blalock-Taussig shunt, or central shunt). These are a few examples of the complex physiology that must be considered in managing adults with CHD for noncardiac surgery. Fig.Image Tools

Univentricular Heart
Single ventricle anatomy and physiology is probably, along with Eisenmenger syndrome, the most challenging CHD for the anesthesiologist to manage. Satu kamar jantung anatomi dan fisiologi mungkin, bersama dengan Eisenmenger syndrome, yang paling menantang CHD untuk mengelola anesthesiologist. The Fontan procedure was first described in 1971 and was applied initially to patients with tricuspid atresia. Fontan prosedur yang pertama kali dijelaskan pada tahun 1971 dan telah diterapkan pada awalnya untuk pasien dengan tricuspid atresia. Today, indications for this procedure have been extended to all forms of single ventricles. Saat ini, indikasi untuk prosedur ini telah meluas ke segala bentuk tunggal ventricles. Since its initial description, at least 10 different variations have been performed. Sejak awal keterangan, sedikitnya 10 berbagai variasi telah dilakukan. In all forms, this operation bypasses the right ventricle, leaving passive, nonpulsatile flow from both inferior and superior vena cava to the pulmonary artery. 26 Any factor that increases pulmonary vascular resistance will decrease pulmonary blood flow and cause arterial desaturation. Dalam segala bentuk, operasi ini bypasses kamar jantung sebelah kanan, meninggalkan pasif, nonpulsatile mengalir dari kedua rendah dan unggul sharel ke pembuluh darah pulmonary artery. 26 Setiap faktor yang meningkatkan pulmonary vascular resistensi pulmonary akan menurunkan aliran darah dan menyebabkan arterial desaturation. Patients with a Fontan circulation frequently present with cardiac and noncardiac complications that include supraventricular dysrhythmias, restrictive lung disease, thromboembolic complications, 27 and hepatic dysfunction. Pasien dengan Fontan sirkulasi sering hadir dengan noncardiac jantung dan komplikasi yang mencakup supraventricular dysrhythmias, membatasi penyakit paru-paru, thromboembolic komplikasi, 27 dan warnanya merah coklat penyelewengan fungsi. Both procoagulant and anticoagulant effects 28 are observed in patients with a Fontan as a result of liver dysfunction and/or factor loss in patients with protein-losing enteropathy, and these abnormalities substantially increase the risk for intraoperative bleeding. Kedua anticoagulant efek procoagulant dan 28 pasien yang diamati dalam dengan Fontan sebagai akibat dari penyelewengan fungsi hati dan / atau faktor kehilangan pasien dengan protein-kehilangan enteropathy, dan ini abnormalities substansial meningkatkan risiko untuk intraoperative pendarahan. Patients with a Fontan circulation should maintain an arterial saturation above 90 to 95%. Pasien dengan sirkulasi Fontan harus menjaga arterial saturation di atas 90 hingga 95%. Arterial saturation below 90% in these patients should be considered abnormal and should provoke further evaluation for the presence of venovenous collaterals, arteriovenous malformations, or a residual shunt. Arterial saturasi di bawah 90% pada pasien ini harus dianggap abnormal dan harus memprovokasi untuk evaluasi lebih lanjut keberadaan venovenous agunan, arteriovenous malformations, atau sisa tabrakan.
Postoperative Management Postoperative Manajemen
Patients presenting with severe CHD and/or high risk surgery should be managed if possible in a postoperative intensive care unit experienced with caring for adults with congenital heart disease. Pasien dengan memasang parah CHD dan / atau operasi risiko tinggi harus dikelola jika mungkin di unit perawatan intensif postoperative berpengalaman dengan merawat orang dewasa dengan penyakit jantung bawaan. The major risks during the postoperative period are similar to the risks described above. Utama risiko postoperative selama periode yang sama dengan risiko di atas. These risks include bleeding, dysrhythmias, and thromboembolic events. Ini termasuk resiko pendarahan, dysrhythmias, dan thromboembolic acara. In cases of pulmonary hypertension, oral pulmonary vasodilatators such as sildenafil and inhaled nitric oxide may be beneficial. Dalam kasus-kasus hipertensi pulmonary, lisan pulmonary vasodilatators seperti sildenafil inhaled dan berhubung dgn sendawa oksida dapat bermanfaat.

Kesimpulan
The number of adult patients with CHD is rapidly increasing, and these patients will be presenting with greater frequency for noncardiac surgery. Jumlah pasien dewasa dengan CHD adalah peningkatan pesat, dan ini akan memasang pasien dengan frekuensi yang lebih besar untuk noncardiac operasi. The cardiovascular anatomy and physiology of CHD are complex and require specific knowledge of the defect and its anesthetic implications. The cardiovascular anatomi dan fisiologi dari CHD sangat kompleks dan memerlukan pengetahuan khusus dari cacat dan yg menyebabkan kematirasaan implikasi. Adults with moderate or severe CHD requiring noncardiac surgery are at high risk, particularly those with poor functional class, pulmonary hypertension, congestive heart failure, and cyanosis; and these patients should receive care in a regional adult CHD center with multidisciplinary collaboration among anesthesiologists, cardiologists, surgeons, and intensivists. Dewasa dengan moderat atau CHD parah memerlukan noncardiac operasi berada pada risiko tinggi, terutama mereka yang miskin fungsional kelas, pulmonary hipertensi, gagal jantung congestive, dan cyanosis, dan ini harus menerima perawatan pasien di daerah dewasa CHD pusat dengan multidisiplin kolaborasi antara anesthesiologists, cardiologists , Dokter Ahli Bedah, dan intensivists. There are no evidence-based guidelines for the perioperative management of adults with CHD. Tidak ada bukti-berdasarkan pedoman bagi manajemen perioperative orang dewasa dengan CHD. Large-scale clinical trials are required to elucidate the optimal anesthetic management of these challenging patients. Skala besar percobaan klinis diminta untuk menjelaskan manajemen yang optimal yg menyebabkan kematirasaan ini menantang pasien.
Powered By Blogger