Selasa, April 26

PENINGKATAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN KEPERAWATAN DI RUMAH SAKIT

I. LATAR BELAKANG

1. Reformasi pelayanan publik mendapatkan momentum yang sangat bagus dalam era demokratisasi. Di bidang penyelenggaraan pemerintahan, desentralisasi sebagai salah satu wujud demokratisasi telah menempatkan Pemda-Pemda sebagai garda terdepan pelayanan publik. Bahkan peyelenggaraan pelayanan publik tidak lagi menjadi monopoli Pemerintah/Pemda, tetapi memberikan kesempatan luas kepada pihak ketiga/pelaku pasar/masyarakat untuk dijadikan mitra pemberi pelayanan publik.

2. Pelayanan publik dewasa ini menjadi isu yang mengemuka, bukan hanya disebabkan semakin baiknya kualitas SDM kita yang mampu berpikir dan bersikap kritis, tetapi juga disebabkan oleh semakin majunya teknologi informasi dan komunikasi. Perbandingan kualitas dan biaya pelayanan publik dengan mudah dan cepat terinformasi kepada masyarakat. Apalagi dalam era globalisasi saat ini yang mendorong bangsa-bangsa untuk bersaing dalam meningkatkan kesejahteraannya, termasuk bersaing dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

3. Dalam upaya untuk memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan/keperawatan, oleh karenanya pemerintah perlu mencermati dinamika yang terjadi di lapangan dan selalu memperbaiki kebijakan-kebijakannya. Hal ini agar pelaksanaan urusan pemerintahan (termasuk di bidang kesehatan) yang telah didesentralisasikan ke daerah, benar-benar dapat terlaksana dengan baik, dan pada gilirannya tujuan otonomi daerah (peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik, dan daya saing daerah) dapat semakin didekati. Dalam kaitan dengan topik workshop, Undang-Undang tentang Keperawatan (kalau sudah ada) mestinya menjadi acuan.

II. FOKUS PENATAAN

4. Peningkatan kualitas penyelenggaraan pelayanan keperawatan di Rumah Sakit pada dasarnya merupakan upaya perbaikan kapasitas (dalam arti luas) Rumah Sakit. Kapasitas yang dimaksud di sini dapat mencakup aspek sistem/kebijakan, kelembagaan, dan SDM. Dewasa ini dapat dilihat semakin banyaknya lembaga-lembaga non-pemerintah yang memberikan pelayanan kesehatan, yang dulu didominasi oleh lembaga pemerintah. Mengingat pelayanan dibidang kesehatan merupakan pelayanan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat (pelayanan publik), maka pemerintah harus bertanggungjawab menetapkan standar pelayanan dibidang kesehatan, untuk melindungi warga negaranya tersebut, agar pelayanan kesehatan, baik oleh Pemerintah/Pemda maupun oleh swasta dapat berjalan dengan baik.

Hal ini sebagai pelaksanaan amanat konstitusi (Pasal 28 ayat (1) (UUD 1945): “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

5. Sistem Pelayanan

5.1 Terhadap berbagai urusan pemerintahan yang telah didesentralisasikan ke daerah termasuk dibidang kesehatan, Pemerintah bertanggungjawab untuk memberikan pembinaan, terutama dengan mengeluarkan panduan yang sering disebut Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) yang menjadi acuan daerah dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya; khususnya agar warga masyarakat memiliki jaminan untuk memperoleh pelayanan sesuai standar minimal yang melindungi kepentingan mereka.

5.2 Standar Pelayanan kesehatan secara nasional diperlukan untuk menjamin kesamaan akses semua warga masyarakat terhadap pelayanan kesehatan semua warga Indonesia, dan juga untuk memperkecil perbedaan kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan antar daerah. Standard tersebut umumnya mencakup standar input, proses, dan output pelayanan kesehatan. Sebaiknya standard tersebut tidak terlalu detil/teknis, yang hal ini dimaksudkan untuk memberikan ruang gerak/diskresi bagi penyelenggara pelayanan kesehatan/keperawatan, berkaitan dengan keanekaragaman kebutuhan barang dan jasa serta kemampuan keuangan.

5.3 Standard input misalnya, jumlah perawat, jumlah bidan, distribusi, dan sarana yang minimal harus ada disetiap ruang rawat (standard pelayanan), kualifikasi perawat (standar kompetensi, standar pendidikan), ketersediaan Puskesmas, jumlah bidan di setiap desa; Standard proses memuat prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan pelayanan kesehatan (misalnya transparan, mudah, tidak diskriminatif, standar asuhan keperawatan), yang tidak membatasi kreativitas penyelenggara pelayanan kesehatan. Standard output pelayanan kesehatan ditetapkan untuk menjamin hak warga masyarakat dimanapun berada untuk memperoleh kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan sesuai ukuran-ukuran tertentu.

5.4 Diharapkan pedoman Penyelenggaraan pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit; disamping sudah sejalan antara lain dengan UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, PP Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan; materinya mencakup hal-hal prinsip yang telah diuraikan di atas. Pedoman tersebut akan bermanfaat jika dilengkapi dengan pengaturan mekanisme pelaksanaan yang jelas, termasuk sanksi apa yang akan dikenakan jika pedoman tersebut tidak dilaksanakan dengan baik. Pedoman tersebut juga mudah-mudahan sudah juga memuat tentang standar biaya, mekanisme alokasi anggaran, dan pembagian peran para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

5.5 Sistem pelayanan publik perlu mengatur dengan jelas peran dari setiap strata pemerintahan dalam struktur pemerintahan yang desentralistik. Dalam kaitan ini pembagian kewenangan penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan sebagaimana diatur didalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 menjadi penting untuk dijadikan acuan. Sesuai Pasal 4 ayat (2) PP tersebut, jelas diatur bahwa pengaturan teknis untuk sub-sub bidang urusan pemerintahan diatur dengan peraturan Menteri yang bersangkutan setelah berkoordinasi dengan Mendagri. Bertolak dari PP tersebut semestinya Kementerian Kesehatan juga harus mengembangkan konsep desentralisasi dibidang kesehatan secara komprehensif. Secara praktis, diharapkan komunikasi yang intens antara Pusat (Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri), Pemprov, Pemkab/Pemkot perlu ditingkatkan agar kebijakan tenaga keperawatan lebih terkoordinir, mulai dari rekruitment, pengembangan karier/kompetensi dan distribusinya.

5.6 Dari berbagai informasi yang ada, perhatian Pemda untuk pengembangan SDM kesehatan kurang sekali. Untuk mendorong agar proporsi anggaran untuk pengembangan pelayanan keperawatan di daerah memadai dalam arti dapat mencakup kualitas dan kuantitas tenaga perawat dapat digunakan berbagai cara, antara lain:

a. Kualitas dan kuantitas tenaga perawat yang minimal harus tersedia di masing-masing Kabupaten/Kota yang ditetapkan melalui kebijakan Pusat cq Kementerian Kesehatan; yang juga didukung kebijakan penetapan formasi pegawai khusus perawat/tenaga medis tiap tahunnya oleh Kantor Menpan dan Reformasi Birokrasi dengan jumlah sesuai kebutuhan riel;

b. Penyediaan Dana Alokasi Khusus kepada daerah-daerah yang memang secara obyektif (daerah-daerah terpencil dan atau kapasitas fiskalnya rendah) untuk mendukung pengembangan keperawatan;

c. Pemberian penghargaan kepada daerah-daerah yang proporsi anggaran untuk pengembangan SDM kesehatan didalam APBD-nya mengindikasikan perhatian yang besar dibidang pelayanan kesehatan.

6. Kelembagaan

Secara garis besar, permasalahan yang dihadapi oleh berbagai pihak terkait peningkatan kapasitas pelayanan dapat dijelaskan, sebagai berikut:

6.1 Permasalahan dari sisi Pemerintah Daerah

Pengembangan kapasitas yang sesuai kebutuhan belum menjadi prioritas dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran Daerah. Permasalahan yang ada dapat ditandai, sebagai berikut:

a. Program dan kegiatan pengembangan kapasitas tidak mudah terlihat dan belum banyak usaha untuk menetapkan indikator kinerjanya. Karena itu rencana pembangunan dan alokasi anggaran lebih banyak diprioritaskan kepada rencana pembangunan fisik yang ”mudah terlihat” oleh pemangku kepentingan (stakeholders).

b. Budaya organisasi pemerintah daerah dan pegawai negeri sipil yang masih belum memprioritaskan pencapaian kinerja, sehingga masih meremehkan kebutuhan akan adanya peningkatan kapasitas.

c. Banyak Pemda yang masih menganggap bahwa pengembangan kapasitas merupakan proyek dari pusat/donor, bukan milik Pemda.

6.2 Permasalahan dari sisi Pemerintah

Pengembangan kapasitas oleh Pemerintah masih menunjukkan keterbatasan dan permasalahan, antara lain:

a. Pemerintah belum mengalokasikan cukup anggaran sehubungan dengan tugasnya untuk membina Daerah, untuk peningkatan kapasitas dalam rangka mendukung desentralisasi dan pemerintahan daerah.

b. Pemerintah pada prinsipnya dapat memberikan bantuan teknis bila diminta oleh Daerah. Pada umumnya bantuan pengembangan kapasitas diberikan kepada Pemerintah Daerah (Eksekutif) dan tidak banyak diberikan kepada DPRD maupun lembaga masyarakat.

6.3 Permasalahan dari sisi Proyek

Pengembangan kapasitas banyak dilaksanakan oleh proyek donor, namun belum cukup koordinasi hal ini berakibat, sebagai berikut:

a. Pemerintahan Daerah yang menerima bantuan dari donor terkonsentrasi pada daerah-daerah yang telah maju dan mempunyai komitmen tinggi terhadap pengembangan kapasitas.

b. Pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh, termasuk modul yang disiapkan untuk itu, tidak dikelola dengan baik untuk dapat didesiminasikan bagi pengembangan kapasitas di Daerah-daerah lainnya.

6.4 Permasalahan dari sisi Penyedia Jasa

Pengembangan pasar penyedia jasa peningkatan kapasitas pemerintahan daerah yang berkualitas masih menghadapi kendala, sebagai berikut:

a. Kemampuan penyedia jasa peningkatan kapasitas belum terbangun dengan baik, karena kebutuhan akan pengembangan kapasitas Daerah yang berkualitas masih belum menjadi persyaratan penting.

b. Pasar penyedia jasa pengembangan kapasitas yang berkualitas belum terbentuk, karena itu banyak peningkatan kapasitas termasuk pelatihan yang masih diragukan kualitasnya.

6.5 Agar daerah/penyelenggara pelayanan kesehatan dalam mengelola pelayanan keperawatan sesuai dengan standar nasional yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat c.q. Kementerian Kesehatan, maka perlu ada pembinaan dan pengawasan yang memadai. Untuk semua urusan pemerintahan yang telah didesentralisasikan kepada daerah, Presiden sebagai pemegang kekuasan eksekutip, mempunyai kewenangan untuk membina dan mengawasi pelaksanaan urusan pemerintahan pada semua tingkat pemerintahan. Menteri Kesehatan sebagai salah satu pembantu Presiden, selain bertanggungjawab untuk menetapkan NSPK, juga pembinaan dan pengawasan teknis pelayanan kesehatan secara nasional. Sesuai semangat desentralisasi, Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, diberi wewenang untuk menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan. Dalam hal ini Kementerian teknis perlu mengeluarkan juga pedoman teknis untuk binwas pelayanan kesehatan/keperawatan. Mengenai binwas penyelenggaraan pemerintahan daerah secara umum menjadi tanggung jawab Mendagri untuk melaksanakannya.

7. Sumber Daya Manusia (SDM)

7.1 SDM memegang peranan penting dalam penyelenggaraan pelayanan keperawatan, mulai dari tataran manajerial sampai dengan pelaksana teknis keperawatan di medan pelayanan. Berbagai referensi Human Resource Development dapat digunakan sebagai acuan untuk meningkatkan kualitas SDM penyelenggaraan keperawatan. Namun ada cara praktis yang daya ungkitnya cukup besar untuk memperbaiki kualitas SDM, yakni melalui pelaksanaan survey kepuasan pelanggan. Jika hal itu telah dilaksanakan, selanjutnya disusun rencana aksi peningkatan kapasitas (Capacity Building Action Plan) dan mengatur strategi untuk berikutnya dilaksanakan. Cara lainnya, melakukan self assessment untuk mengkritisi kembali kualitas pelayanan keperawatan yang dilaksanakan misalnya: - apakah prosedurnya sudah diikuti; - apakah system telah menjawab kebutuhan warga yang beragam (pelayanan kesehatan yang memahami adanya keberagaman kebutuhan warga akan menjadikan keberagaman itu sebagai fenomena untuk lebih kreatif dalam pemberian pelayanan kesehatan).

7.2 Benchmarking dalam pemberian pelayanan keperawatan bisa dilakukan untuk memahami kekurangan dan kelebihan kualitas SDM keperawatan. Media sering memuat berita, seakan-akan kualitas keperawatan di Singapura, Pulau Penang (Malaysia) dan China lebih baik. Konon di sana kuatnya orientasi pada warga pengguna (konsumen) menjadi kriteria pokok dalam pengembangan sistem pelayanan kesehatan keperawatan, diimbangi dengan dukungan peralatan berteknologi modern.

7.3 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 juga mengatur mengenai peran Pemerintah, Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota didalam pengelolaan Sub Bidang SDM Kesehatan, khususnya Sub-Sub Bidang Peningkatan jumlah, mutu, dan penyebaran tenaga kesehatan. Terlepas apakah wewenang masing-masing strata pemerintahan tersebut telah dilaksanakan dengan baik atau tidak; peningkatan profesionalisme tenaga perawat perlu terus dilakukan dengan melibatkan stakeholders (Akademi/Fakultas Keperawatan, asosiasi profesi, Komite Rumah Sakit, Kementerian Kesehatan, dan masyarakat).

7.4 Sebagai salah satu tiang penyangga pelayanan kesehatan yang penting, kualitas dan kuantitas tenaga perawat yang proporsional perlu diadakan. Oleh karenanya perencanaan kebutuhan tenaga perawat merupakan bagian dari proses penting untuk dilakukan. Dengan menggunakan instrumen-instrumen pengukuran tertentu (misalnya ratio tenaga kesehatan terhadap sarana/jumlah penduduk/beban kerja/luas wilayah atau cara lain,”need”, “demand”, pakar), hasil analisis kebutuhan tenaga perawat akan berguna untuk Kementerian Kesehatan dalam mengusulkan formasi tenaga kesehatan tahun-tahun berikutnya. Menjadi lebih kompleks lagi jika perencanaan kebutuhan tenaga keperawatan dikaitan dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan pasar diluar negeri; yang harus ditopang dengan softskil, terutama bahasa asing.

7.5 Keberadaan tenaga keperawatan bukan hanya dilihat sebagai komponen penting pelayanan kesehatan dengan tuntutan untuk selalu meningkatkan profesionalismenya, tetapi juga reward kepada mereka perlu diberikan oleh Pemerintah Pusat; baik berupa pemberian penghargaan semacam Setyalencana, tetapi juga remunerasi bagi yang performanya extraordinary/excellent.

8. Partisipasi Masyarakat

Sebagai dampak demokratisasi, partisipasi masyarakat menjadi bagian penting dari proses peningkatan kualitas pelayanan publik, baik pada tataran sebagai penyelenggara pelayanan, pengguna, maupun sebagai pemangku kepentingan. Mereka harus diberi akses agar dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam proses penyusunan standar pelayanan. Komplain-Komplain mereka harus ditampung dan ditanggapi/diakomodir. Apalagi saat ini telah ada UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam hal ini peran Pemerintah dalam bidang pengaturan menjadi sangat penting, di samping mengatur interaksi antar stakeholders penyelenggara pelayanan kesehatan/keperawatan, juga untuk melindungi warga masyarakat dari kemungkinan-kemungkinan yang dapat merugikan mereka.

III PENUTUP

Pada dasarnya untuk meningkatkan atau menjaga kualitas penyelenggaraan pelayanan keperawatan dapat menggunakan 3 (tiga pendekatan), yakni:

a. Pendekatan kultural, dengan terus meningkatkan pemahaman betapa pemberian pelayanan keperawatan sangat membantu yang membutuhkan dan merupakan tugas kemanusiaan yang luhur;

b. Pendekatan normatip, dengan secara proporsional mematuhi standar nasional yang telah ditetapkan oleh Kementerian kesehatan dan siap menerima konsekuensi jika tidak selaras dengan standar nasional. Di lain pihak, jika kebijakan-kebijakan nasional, termasuk standar tersebut sudah tidak cocok lagi, maka harus segera diperbaiki.

c. Pendekatan fungsional, dengan membangun kemitraan dengan berbagai pihak dibidang pelayanan kesehatan dalam rangka menyusun program-program penyelenggaraan pelayanan keperawatan. Kolaborasi yang bukan hanya sekedar melakukan kerjasama penyelenggaraan teknis pelayanan keperawatan, yang masing-masing punya independensi, tetapi memiliki komitmen untuk mewujudkan masyarakat yang sehat.

Jakarta Maret 2011

DIREKTUR PENINGKATAN KAPASITAS

DAN EVALUASI KINERJA DAERAH

KARTIKO PURNOMO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger