Jumat, April 29

PPS Betako Merpati Putih



Ilmu Merpati Putih diwariskan secara turun-temurun di lingkungan keluarga pada masa Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pangeran Prabu Mangkurat Ingkang Jumeneng Ing Kartosuro atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Prabu Amangkurat II atau Sunan Tegal Wangi atau Sunan Tegal Arum. Karena kondisi yang ditimbulkan oleh penjajah kolonial Belanda pada saat itu, Pangeran Prabu Amangkurat II mengadakan pengungsian di daerah Bagelen (wilayah terpencil di Yogyakarta) bersama cicit perempuannya, yaitu RA Djojoredjoso. Disela-sela kesibukannya dalam memikirkan mengatur situasi kenegaraan (kerajaan), beliau sempat membimbing, menggembleng serta mengawasi cicitnya dalam menekuni ilmu beladiri.

RA Djojoredjoso kemudian mewariskan ilmunya kepada tiga orang putranya, yaitu Gagak Handoko, Gagak Samudro dan Gagak Seto, menurut spesialisasinya masing-masing. Gagak Samudro diwarisi ilmu pengobatan, sedangkan Gagak Seto ilmu sastra. Untuk seni beladiri diturunkan kepada Gagak Handoko.

Konon tiga saudara ini tercerai berai karena kondisi penjajahan kolonial pada saat itu. Kabarnya Raden Gagak Seto melarikan diri ke arah timur dan Raden Gagak Samudro lari ke arah barat, sedangkan Raden Gagak Handoko masih tetap berdomisili di daerah Yogyakarta. Semasa pelariannya, Gagak Samudro mendirikan perguruan di Gunung Jeruk di daerah Pegunungan Menoreh. Gagak Handoko mendirikan perguruan di daerah Bagelen, yang akhirnya pindah ke daerah utara Pulau Jawa. Gagak Seto mendirikan perguruan di daerah sekitar Magelang, Jawa Tengah.


Lewat Raden Gagak Handoko inilah garis sejarah warisan ilmu yang sekarang kita kenal sebagai Merpati Putih tidak terputus. Namun Gagak Handoko mengerti bahwa ajaran perguruan tersebut sebenarnya kurang lengkap, maka beliau tidak segera mengembangkan dan menurunkan kepada keturunannya, akan tetapi berusaha keras menelaah dan menjabarkan ilmu tersebut lalu menuangkan dalam gerakan silat dan tenaga tersimpan yang ada di naluri suci. Tidak berhenti di situ saja, beliau juga berusaha mencari kelengkapannya, yaitu dari aliran Gagak Samudro dan Gagak Seto. Akan tetapi beliau belum berhasil menemukan langsung, hanya naluri beliau, bahwa dua aliran yang punya materi sama tersebut mengembangkan ilmu di daerah pantai utara Pulau Jawa dan bagian tengah Pulau Jawa.

Beliau sadar akan usia ketuaannya yang tidak sanggup lagi melanjutkan pengembangannya, maka beliau memberi mandat penuh dan amanat kepada keturunannya, yaitu R Bongso Permono Ing Ngulakan Wates, untuk melanjutkan perkembangan perguruan. Dan setelah Gagak Handoko menyerahkan tumpuk kepemimpinan perguruan, beliau lalu pergi menyepi bertapa hingga sampai meninggalnya di Gunung Jeruk.

Dalam kepemimpinan R Bongso Permono, perkembangan perguruan semakin suram dan mundur. R Bongso Permono sadar akan keadaan itu. Maka setelah menurunkan ilmunya kepada keturunannya, beliau mengikuti jejak ayahnya mencari kesempurnaan. Keturunannya itu bernama RM Wongso Widjojo. Pada masa kepemimpinan RM Wongso Widjojo, perguruan juga tidak dapat berkembang seperti yang diharapkan ayahnya. Oleh karena tidak mempunyai keturunan, maka beliau mengambil murid yang kebetulan dalam keluarga masih ada hubungan cucu yang bernama R Saring Siswo Hadi Poernomo.


R Saring Hadi Poernomo juga melengkapi ilmu beladiri tersebut dengan menggali ajaran Gagak Samudro dan Gagak Seto. Hasil pengembangannya kemudian diturunkan kepada dua orang putranya, yaitu Poerwoto Hadi Poernomo (Mas Pung) dan Budi Santoso Hadi Poernomo (Mas Budi). Sang Guru, Saring Hadi Poernomo, pada awal tahun 1960-an prihatin terhadap perkembangan kehidupan generasi muda yang terkotak-kotak membentuk kelompok-kelompok yang mencerminkan rapuhnya persatuan dan kesatuan bangsa. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah milik bangsa Indonesia, oleh karena itu setiap warga negara Indonesia mempunyai tanggung jawab, hak, dan kewajiban yang sama dalam melestarikan kehidupan bangsa dan mencapai tujuan negara. Seni budaya Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang harus dibina dan dikembangkan guna memperkuat penghayatan dan pengamalan Pancasila, kepribadian bangsa, mempertebal harga diri dan kebanggaan nasional serta memperkokoh jiwa persatuan.

Atas dasar hal tersebut, tergerak hati nurani beliau untuk berbuat sesuatu demi kecintaannya pada nusa, bangsa, dan negara. Sumbangsih beliau hanya didasari keyakinan bahwa sikap dan perbuatan sekecil apapun, apabila dilandasi oleh itikad baik pasti akan ada hasilnya. Keyakinan tersebut hingga kini menjadi semboyan perguruan yaitu SUMBANGSIHKU TAK SEBERAPA NAMUN KEIKHLASANKU NYATA.

Silsilah turunan aliran PPS Betako Merpati Putih :


Grat I:BPH Adiwidjojo
Grat II:PH Singosari
Grat III:RA Djojoredjoso
Grat IV:Gagak Handoko
Grat V:RM Rekso Widjojo
Grat VI:R Wongso Djojo
Grat VII:Djo Premono
Grat VIII:RM Wongso Widjojo
Grat IX:Kromo Menggolo
Grat X:R Saring Hadi Poernomo
Grat XI:Poerwoto Hadi Poernomo dan Budi Santoso Hadi Poernomo
Grat XII:Amos Tri Nugroho dan Nehemia Budi Setyawan


Pada tahun 1962, R Saring Siswo Hadi Poernomo sebagai Sang Guru mengamanahkan kepada pewarisnya agar ilmunya disebarluaskan. Berdasarkan amanat Sang Guru, kedua pewaris yang juga puteranya, yaitu Poerwoto Hadi Poernomo (Mas Pung) dan Budi Santoso Hadi Poernomo (Mas Budi) bertekad mengambil langkah nyata dalam pengabdian kepada bangsa dan negara Republik Indonesia dengan mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu yang dimiliki keluarga untuk kepentingan nasional. Untuk itu pada tanggal 2 April 1963 di Yogyakarta didirikan perguruan dengan nama PPS (Perguruan Pencak Silat) Betako (Beladiri Tangan Kosong) Merpati Putih. Setelah Budi Santoso Hadi Poernomo (Mas Budi) wafat pada tanggal 2 April 2002, dilanjutkan oleh putranya, Nehemia Budi Setyawan sebagai generasi Grat XII.

Merpati Putih berkembang cukup pesat, terutama sejak mendapat kepercayaan untuk melatih anggota ABRI. Diawali dengan melatih anggota Seksi I Korem 072/Pamungkas dan anggota Batalyon 403/Diponegoro. Tahun 1968 Merpati Putih ekspansi ke luar Yogyakarta, yang pertama di Madiun, hingga berkembang ke Pusdik Brimob Polri di Jawa Timur.


Sejak tahun 1991, Merpati Putih melaksanakan pembinaan terhadap tuna netra. Sejak tahun 1995, atas prakarsa dan kerja sama dengan Yayasan Kartika Destarata di bawah pimpinan Ibu Hj Oetari K Hartono dan Ibu Titik Prabowo, Merpati Putih mengembangkan kegiatan pembinaannya terhadap penderita tuna netra. Rombongan pesilat Merpati Putih dengan penutup mata dan kepala yang terdiri dari 6 mobil jip dan 5 sepeda motor dengan diresmikan Bapak Taufik Kiemas berkonvoi dari Bogor menuju Jakarta. Yang memimpin di depan adalah sepeda motor yang dikendarai oleh seorang pesilat tuna netra.

Kata Merpati Putih merupakan akronim dari suatu ungkapan ajaran falsafah Jawa yang berbunyi "Mersudi patitising tindak pusakane titising hening" yang berarti mencari sampai mendapat tindakan yang benar dalam ketenangan. Ungkapan tersebut kemudian menjadi dasar filosofis perguruan yang menggambarkan semangat dan dinamika anggota dalam mengarungi bahtera kehidupan. Dalam rangka meningkatkan peran serta anggota terhadap misi Merpati Putih serta peran serta perguruan dalam pembinaan dan pengembangan budaya bangsa Indonesia, ditetapkan semboyan yang diharapkan memotivasi perwujudan peran serta tersebut, yaitu "Sumbangsihku tak seberapa namun keikhlasanku nyata".


Ada dua belas tingkatan di dalam PPS Betako Merpati Putih, yaitu :

  1. Tingkat Dasar I, tingkatan pertama masih berstatus calon anggota, walaupun telah berseragam baju atau kaos berwarna putih, celana hitam, kerah baju merah dengan label nama diri di dada, namun sabuk masih putih polos.

  2. Tingkat Dasar II, tingkatan kedua dan seterusnya telah memakai seragam anggota tanpa nama diri dengan lambang IPSI dan lambang Merpati Putih di dada serta bersabuk merah polos.

  3. Tingkat Balik I, sabuk merah (tanpa strip) dengan lambang Merpati Putih di salah satu ujungnya.

  4. Tingkat Balik II, sabuk merah dengan lambang Merpati Putih dan berstrip merah di salah satu ujungnya.

  5. Tingkat Kombinasi I, sabuk merah dengan lambang Merpati Putih dan berstrip jingga di salah satu ujungnya.

  6. Tingkat Kombinasi II, sabuk merah dengan lambang Merpati Putih dan berstrip kuning di salah satu ujungnya.

  7. Tingkat Khusus I (Khusus Tangan), sabuk merah dengan lambang Merpati Putih dan berstrip hijau di salah satu ujungnya.

  8. Tingkat Khusus II (Khusus Kaki), sabuk merah dengan lambang Merpati Putih dan berstrip biru di salah satu ujungnya.

  9. Tingkat Khusus III (Khusus Badan), sabuk merah dengan lambang Merpati Putih dan berstrip nila di salah satu ujungnya.

  10. Tingkat Penyegaran, sabuk merah dengan lambang Merpati Putih dan berstrip ungu di salah satu ujungnya.

  11. Tingkat Inti I, sabuk merah dengan lambang Merpati Putih dan berstrip putih di salah satu ujungnya.

  12. Tingkat Inti II, sabuk merah dengan lambang Merpati Putih dan berstrip merah dan putih di salah satu ujungnya.


Para anggota berlatih paling tidak dua kali dalam seminggu di suatu Kelompok Latihan atau biasa disebut Kolat. Setiap kali latihan memakan waktu sekitar kurang-lebih dua jam. Pada tiap tahun, yaitu tepatnya setiap Tahun Baru 1 Suro atau 1 Muharam, seluruh anggota dari Sabang sampai Merauke diperbolehkan mengikuti dan berkumpul bersama-sama anggota lainnya di Yogyakarta, tepatnya di pantai Parang Kusumo, untuk latihan bersama dari semua tingkatan. Juga diadakan Napak Tilas di daerah Bukit Manoreh. Acara ini sudah merupakan tradisi di dalam perguruan pencak silat ini yang berguna untuk mengetahui dan dapat bertukar pikiran antar anggota satu dengan anggota lainnya.

by Pendekar trans 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger