Tampilkan postingan dengan label Medikal info. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Medikal info. Tampilkan semua postingan

Sabtu, Agustus 20

Kopi dan puasa


Sebaiknya hindari minuman berkafein selama bulan Ramadan. Seperti dikatakan Dr Titus Nursyirwan, minuman ini bisa mempercepat proses dehidrasi.

"Bagi para pecinta kopi selama Ramadan sebaiknya kurangi minum kopi, teh atau minuman bersoda karena minuman tersebut mengandung kafein dan bisa mempercepat proses dehidrasi," ujar Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat ini.

Selama Ramadan sangat penting menjaga kondisi tubuh jangan sampai mengalami dehidrasi. "Makanya konsumsi air putih sebanyak delapan sampai 10 gelas per hari saat berbuka dan santap sahur," imbuhnya.

Tak hanya itu mengonsumsi minuman bersoda dan berkafein akan membuat mata terjaga di malam hari serta memiliki efek diuretik atau memperbanyak keluarnya air seni.

Titus juga menerangkan kalau berpuasa Ramadan merupakan cara yang tepat memperbaiki metabolisme tubuh sehingga tubuh makin sehat. Jangan memikirkan berpuasa sebagai cara berdiet, namun bagaimana menahan nafsu dan menjalani hidup sehat.

Selain itu ia juga menyarankan bagi yang menjalankan ibadah puasa tetap mempertahankan kebiasaan makan yang baik dengan menu seimbang plus buah dan sayuran.

Selasa, April 26

Tabel Perencanaan Jenis Kelamin Bayi

Tabel ini di temukan di Royal Tomb, Beijing sekitar 700tahun yang lalu. Dengan mengikuti petunjuk Tabel ini dipercaya dapat menentukan jenis kelamin Bayi kita. Dan dikatakan 99% akurat lho...



Lalu bagaimana Cara Pakainya ?
  • Angka 18-45 menujukkan Umur Ibu
  • Januari-Desember Menujukkan Awal kehamilan, kalo dalam medis disebut Hari Pertama Menstruasi Terakhir (HPMT)
  • L adalah Laki-laki dan P adalah Perempuan.
Nah gampang saja, Tinggal mempertemukan perpotongan antara umur ibu hamil dengan Bulan Awal kehamilannya. Jika ketemu huruf "P" berarti bayinya insyaallah Perempuan, dan bila ketemu "L" maka atas ijin Allah juga bayinya Laki-laki.

Misal nih : Ibu hamil umur 25 tahun, dan kehamilannya dimuali pada bulan Januari , setalh kita tarik perpotongan antara angka 25 dan bulan Januari, ketemu huruf "P". Jadi bayi yang akan dilahirkan diprediksi Perempuan.

Percaya atau tidak dengan tabel prediksi ini, terserah anda... Klik disini untuk mendownload tabelnya (Size 16 KB Saja)

Preterm

Pada kasus persalinan yang umur kehamilan kurang dari 37 minggu(persalinan preterm), umumnya petugas medis akan berusaha mempertahankan kehamilannya. Penyebab dari persalinan preterm sering tidak diketahui. Adapun salah satu tanda klinis dari persalinan preterm adalah kontraksi uterus (tegangnya otot-otot rahim) yang teratur tiap 3-5 menit sekali, lamanya kontraksi kurang lebih 45 menit. Untuk mempertahankan kehamilannya digunakan tokolitik, yaitu obat-obatan yang digunakan untuk menekan aktifitas uterus dan diharapkan memperpanjang masa kehamilan. Obat-obatan yang digunakan sebagai tokolitik banyak jenis pilihan antara lain :
  • Beta Agonis (Beta mimetik) : Ritrodin dan Terbutaline.
  • Magnesium Sulfat : MgSO4.
  • Ca Channel Blocker : Nifedipine, Nicardipine.
  • Inhibitor Prostaglandin Syntetase : Indometacin, Ibuprofen.
  • Jenis yang lain : oxytocin analogs, nitroglycerin, cyclooxygenase 2 (COX-2) inhibitor, ketorolac, progestins, and nitric-oxide inhibitors.
Dari Danforth's Text book Obsgyn diterangkan bahwa, Pada Calcium Channel Blocker seperti Nifedipine menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan Tahanan Vaskuler, maka sering digunakan sebagai obat anti hipertensi. Selain Sebagai Obat Anti Hipertensi, Nifedipine bisa juga digunakan sebagai alternatif pilihan untuk tokolitik. Calcium Channel Blocker atau biasa disebut dengan Calcium Antagonist (Ca Antagonis) memiliki kerja merelaksasi otot polos non spesifik. Artinya Nifedipine tersebut merelaksasinya tidak pada otot polos tertentu saja. Sebagai agen tokolitik, Nifedipine mencegah atau menghambat aliran ion Calsium dari extraselluler (luar sel) ke dalam sel Miometrium(otot rahim). Tapi perlu diingat, bahwa efek ini tidak spesifik pada uterus(rahim) saja.

Ada beberapa cara pemberian Nifedipine , Secara umum sebagai Tokolitik Aturan pemberiannya 10mg diberikan peroral. Jika kontraksi masih menetap dosis bisa diulang tiap 20 menit. Total pemberian 30mg dalam 1 jam. Perlu waspada, hipotensi Kehamilan sering terjadi. Jika Penderita mengalami hipotensi maka pemberian dosis lanjutan perlu di hentikan terlebih dahulu. Jika kontraksi uterus telah berkurang maka dosis lanjutannya 10 mg tiap 6 jam, atau 30-60mg tiap harinya dengan dosis terbagi. Hipotensi pada Kehamilan diartikan dengan penurunan 25% dari tekanan Arteri Rata-rata atau Gejala hipotensinya muncul, seperti muka rasa terbakar, mual dan sakit kepala. Tekanan arteri Rata-rata didapat dari Setengah Jumlah antara tekanan sistolik dan diastolik.

Kakak Seperguruan Nifedipine yaitu Nicardipine sangat potent sebagai perelaksasi otot uterus (rahim). Adapun cara pemberiannya 40 mg sebagai dosis awal, 2 jam kemudian diberikan 20mg, jika Kontraksi tidak mereda, dapat dilanjutkan hingga maksimal 80 mg. Kemudian dapat dilanjutkan dengan Nicardipine 45mg tiap 12 jam. Sebagai catatan, Preparat Nicardipine sangat jarang. Di MIMS edisi bahasa Indonesia Vol 10 tahun 2009, Saya hanya menemukan 1 pilihan yaitu Perdipine. itupun harganya relatif mahal.
by Dukun Digital

Hipertensi

Pendahuluan
Tekanan darah tinggi (hipertensi) bila ditinjau dari prevalensi yang cukup tinggi dan akibat yang ditimbulkannya merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat. Hipertensi sendiri tidak menunjukkan gejala maka sering baru disadari bila telah menyebabkan gangguan organ misalnya gangguan fungsi jantung atau gangguan koroner, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi kognitif atau stroke. Tidak jarang hipertensi ditemukan secara tidak sengaja waktu pemeriksaan kesehatan rutin atau datang dengan keluhan lain.
Penanggulangan hipertensi dimulai dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dan perubahan pola hidup ke arah yang lebih sehat. Ujung tombak penanggulangan hipertensi berada ditangan dokter/paramedis, baik yang bekerja di puskesmas, poliklinik, maupun praktik pribadi. Konsensus ini terutama ditujukan bagi mereka yang melayani masyarakat umum, karena itu bersifat mendasar dan umum. Data penelitian hipertensi di Indonesia masih jarang, belum ada penelitian yang berskala nasional dan meliputi jumlah penderita yang banyak. Oleh karena itu data yang ada kebanyakan diambil dari pedoman negara maju dan negara tetangga. Pedoman biasanya disepakati oleh para pakar berdasarkan prosedur standar dan ditujukan untuk meningkatkan hasil penanggulangan. Organisasi profesi yang bersangkutan bersama pemangku kepentingan lain perlu bekerjasama untuk mengembangkan penyusunan pedoman penanggulangan hipertensi ini.
Metode Kerja
InaSH (Indonesian Society of Hypertension) menunjuk tim penyusun yang terdiri dari tiga orang ditambah tim pakar yang juga berjumlah tiga orang. Tim mengumpulkan data yang relevan yang kemudian disaring dan ditambah oleh tim pakar. Konsensus yang dicapai dibicarakan kembali dengan tim pakar dari seluruh Indonesia yang ditunjuk InaSH berdasarkan usul dari organisasi pendiri InaSH. Setelah itu hasil yang disepakati disampaikan kepada InaSH untuk diedarkan kepada organisasi profesi dan seminat yang terkait. Konsensus antar organisasi yang berminat dalam bidang hipertensi ini dilaporkan kepada IDI dan Depkes. Tim penyusun akan menyampaikannya pada seminar hipertensi InaSH.
UMUM
Tujuan
Penanggulangan hipertensi bertujuan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular (termasuk serebrovaskular) dan progresivitas penyakit ginjal.
Definisi
Tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan di mana upaya penurunan tekanan darah akan memberikan manfaat lebih besar dibandingkan dengan tidak melakukan upaya tersebut.
Di sadari bahwa tekanan darah adalah suatu kontinuum, di mana risiko kardiovaskular meningkat bila tekanan darah diatas 110/75 mmHg, jadi tidak ada angka yang pasti yang dapat menggambarkan bertambahnya risiko tersebut. Suatu angka adalah suatu konsensus atau kesepakatan bersama.
Metode penguluran tekanan darah
Pengukuran tekanan darah dilakukan sesuai dengan standar WHO dengan alat standar manometer air raksa. Untuk menegakkan diagnosis hipertensi perlu dilakukan pengukuran tekanan darah minimal 2 kali dengan jarak 1 minggu bila tekanan darah <160/100 mmHg.
Klasifikasi Hipertensi
Diagnosis hipertensi ditegakkan bila tekanan darah ≥ 140/90 mmHg. Tingkatan hipertensi ditentukan berdasarkan ukuran tekanan darah sistolik dan diastolik.
Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi
Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 dan <80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi tingkat 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi tingkat 2 ≥160 atau ≥100
Hipertensi sistolik terisolasi ≥140 dan <90
JNC Vll, 2003
Stratifikasi Risiko Hipertensi (Risiko total/absolut)
Stratifikasi risiko hipertensi ditentukan berdasarkan tingginya tekanan darah, adanya faktor risiko yang lain, adanya kerusakan organ target dan adanya penyakit penyerta tertentu (tabel 2). Oleh karena tuluan utama penanggulangan hipertensi adalah menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler/renal, maka risiko terjadinya gangguan kardivaskuler/renal perlu distratifikasi lebih lanjut. Telah disepakati secara internasional bahwa risiko kardiovaskular dihitung secara tradisional berdasarkan studi Framingham (dengan beberapa tambahan faktor risiko), yaitu tingginya tekanan darah, umur, merokok, dislipidemia, diabetes melitus. Tambahan faktor risiko yang belum lama di identifikasi yaitu lingkar perut yang dihubungkan dengan sindrom metabolik dan kadar C-reactive protein (CRP) yang dihubungkan dengan inflamasi. Disamping itu perlu juga diperhatikan adanya kerusakan organ target dan penyakit penyerta.
Table 2. Stratifikasi Faktor Risiko dan Rencana Penanggulangan.
Tekanan Darah (mmHg)
Risiko Grup A (tidak ada faktor risiko)
Risiko Grup B (1-2 faktor risiko)
Risiko Grup C
(≥ 3 faktor risiko atau DM atau KOT/KKT
TD Sistolik 130-139 mmHg/TD Diastolik 80-89 mmHg
Perubahan Pola Hidup
Perubahan Pola Hidup
Perubahan Pola Hidup + Obat
TD Sistolik 140-159 mmHg/TD Diastolik 90-99 mmHg
Perubahan Pola Hidup + Obat
Perubahan Pola Hidup + Obat
Perubahan Pola Hidup + Obat
TD Sistolik ≥160 mmHg/TD Diastolik ≥100 mmHg
Perubahan Pola Hidup + Obat
Perubahan Pola Hidup + Obat
Perubahan Pola Hidup + Obat
*Clinical Practice Guidelines - Hypertension, Singapore, 2005
KOT: Kerusakan Organ Target (Target Organ Damage)
KT: Kondisi Klinik Terkait (Associated Clinical Condition)
Kerusakan Organ Target:
• Hipertrofi Ventrikel Kiri (LVH per ECG/ECHO)
• Kenaikan kadar kreatinin
• Microalbuminuria
• Gangguan pembuluh darah (penebalan intima-media, plak sklerotik)
Penyakit penyerta:
• Serebrovaskular (stroke iskemik/perdarahan, TM)
• Jantung (infark miokard,angina pektoris, gagal jantung, revaskularisasi koroner)
• Ginjal (nefropati diabetik, proteinuria, gangguan fungsi ginjal)
• Pembuluh darah perifer
• Retina /retinopati: (eksudat, perdarahan, edema papil)
Dalam penanggulangan hipertensi perlu dipertimbangkan adanya risiko kardiovaskular, kerusakan organ target dan penyakit penyerta sebelum bertindak. Penderita dengan faktor risiko 3 atau lebih atau dengan kerusakan organ target atau diabetes atau penyakit penyerta tertentu di samping perubahan pola hidup perlu dilakukan penanggulangan dengan obat.
Algoritma Penanggulangan Hipertensi:
Hipertensi Tingkat 1
Tekanan darah ≥ 140/90 - ≤ 159/99 mmHg

Nilai risiko kardiovaskular
Nilai kerusakan organ target
Nilai penyakit penyerta dan diabetes melitus
Mulai usaha perubahan pola hidup
Koreksi faktor risiko kardiovaskular
Tanggulangi penyakit penyerta dan diabetes melitus

Tentukan risiko total/absolut

Penanggulangan dengan obat
Hipertensi Tingkat 2
Tekanan darah ≥160/100 mmHg

Penanggulangan dengan obat
Nilai risiko kardiovaskular
Nilai kerusakan organ target
Nilai penyakit penyerta dan diabetes melitus
Tambahkan usaha perubahan pola hidup
Koreksi risiko kardiovaskular
Tanggulangi penyakit penyerta dan diabetes melitus
Penanggulangan Hipertensi dengan Obat Antihipertensi
Penanggulangan hipertensi dengan obat dilakukan bila dengan perubahan pola hidup tekanan darah belum mencapai target (≥140/90 mmHg) atau >130/80 mmHg pada diabetes atau penyakit ginjal kronik. Pemilihan obat berdasarkan ada/tidaknya indikasi khusus. Bila tidak ada indikasi khusus pilihan obat juga tergantung dari derajat Hipertensi (tingkat 1 atau 2).
Algoritma Penanggulangan Hipertensi*
Target tekanan darah tidak terpenuhi (<140/90 mmHg)
atau (<130/80 mmHg pada pasien DM,
penyakit ginjal kronik, ≥ 3 faktor risiko atau
adanya penyakit penyerta tertentu)

Obat antihipertensi inisial

Dengan indikasi khusus Tanpa indikasi khusus

Obat-obatan untuk Hipertensi Tingkat I Hipertensi Tingkat II
Indikasi khusus tersebut (Sistolik 14-159 mmHg (sistolik >160 mmHg
Ditambah obat antihipertensi atau Diastolik atau diastolik
(diuretik, ACEI, BB, CCB) 90-99 mmHg) > 100 mmHg
Diuretik golongan taizid. Kombinasi dua obat
Dapat dipertimbangkan Biasanya diuretik
pemberian ACEI, BB, dengan ACEI
CCB atau kombinasi atau BB atau CCB

Target tekanan darah
Tidak terpenuhi

Optimalkan dosis obat atau beri tambahan
Obat antihipertensi lain. Perimbangkan
Untuk konsultasi dengan dokter spesialis
*JNC VII, 2003
Pilihan Obat pada Indikasi Khusus
Indikasi khusus
Diuretik
β Blocker
ACEI
ARB
CCB
Antialdosteron
Gagal jantung
+
+
+
+
+
Pasca infark miokard
+
+
+
Risiko tinggi PJK
+
+
+
+
Diabetes melitus
+
+
+
+
+
Penyakit ginjal kronik
+
+
Cegah stroke berulang
+
+
HIPERTENSI PADA KEADAAN KHUSUS
PENANGGULANGAN HIPERTENSI PADA KELAINAN JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
Penyakit jantung dan pembuluh darah yang disertai hipertensi yang perlu diperhatikan adalah penyakit jantung iskemik (angina pektoris, infark miokard), gagal jantung dan penyakit pembuluh darah perifer.
Penyakit Jantung Iskemik
Penyakit jantung iskemik merupakan kerusakan organ target yang paling sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi. Pada pasien hipertensi dengan angina pektoris stabil, obat pilihan pertama β blocker (BB) dan sebagai alternatif calcium channel blocker (CCB). Pada pasien dengan sindroma koroner akut (angina pektoris tidak stabil atau infark miokard), pengobatan hipertensi dimulai dengan BB dan Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan kemudian dapat ditambahkan anti hipertensi lain bila diperlukan. Pada pasien pasca infark rniokard, ACEI, BB dan antagonis aldosteron terbukti sangat menguntungkan tanpa melupakan penatalaksanean lipid profil yang intensif dan penggunaan aspirin.
Gagal Jantung
Gagal jantung dalam bentuk disfungsi ventrikel sistolik dan diastolik terutama disebabkan oleh hipertensi dan penyakit jantung iskemik. Sehingga penatalaksanaan hipertensi dan profil lipid yang agresif merupakan upaya pencegahan terjadinya gagal jantung. Pada pasien asimptomatik dengan terbukti disfungsi ventrikel rekomendasinya adalah ACEI dan BB. Pada pasien simptomatik dengan disfungsi ventrikel atau penyakit jantung "end stage" direkomendasikan untuk menggunakan ACEI, BB dan Angiotensin receptor blocker (ARB) bersama dengan pemberian diuretik "loop"
Pada situasi seperti ini pengontrolan tekanan darah sangat penting untuk mencegah terjadinya progresivitas menjadi disfungsi ventrikel kiri.
Hipertensi pada Pasien dengan Penyakit Arteri Perifer (PAP)
Rekomendasi
Kelas I
Pemberian antihipertensi pada PAP ekstremitas inferior dengan tujuan untuk mencapai target tekanan darah <140/90 mmHg (untuk non diabetes) atau target tekanan darah <130/80 mmHg (untuk diabetes).
BB merupakan agen antihipertensi yang efektif dan tidak merupakan kontraindikasi untuk pasien hipertensi dengan PAP.
Kelas IIa
Penggunaan ACEI pada pasien simptomatik PAP ekstremitas bawah beralasan untuk menurunkan kejadian kardiovaskular.
Kelas IIb
Penggunaan ACEI pada pasien asimptomatik PAP ekstremitas bawah dapat dipertimbangkan untuk menurunkan kejadian kardiovaskular.
Antihipertensi dapat menurunkan perfusi tungkai dan berpotensi mengeksaserbasi simptom klaudikasio ataupun iskemia tungkai kronis. Kemungkinan tersebut harus diperhatikan saat memberikan antihipertensi. Namun sebagian besar pasien dapat mentoleransi terapi hipertensi tanpa memperburuk simptom PAP dan penanggulangan sesuai pedoman diperlukan untuk tujuan menurunkan risiko kejadian kardiovaskular.
PENANGGULANGAN HIPERTENSI DENGAN GANGGUAN FUNGSI GINJAL
Bila ada gangguan fungsi ginjal, maka haruslah dipastikan dahulu apakah hipertensi menimbulkan gangguan fungsi ginjal (hipertensi lama, hipertensi primer) ataupun gangguan /penyakit ginjalnya yang menimbulkan hipertensi.
Masalah ini lebih bersifat diagnostik, karena penanggulangan hipertensi pada umumnya sama, kecuali pada hipertensi sekunder (renovaskuler, hiperaldosteron primer) dimana penanggulangan hipertensi banyak dipengaruhi etiologi penyakit.
1. Hipertensi dengan gangguan fungsi ginjal:
- Pada keadaan ini penting diketahui derajet gangguan fungsi ginjal (CCT,
kreatinin) dan derajat proteinuri.
- Pada CCT< 25 ml/men diuretik golongan thiazid (kecuali metolazon)
tidak efektif.
- Pemakaian golongan ACEI/ARB perlu memperhatikan penurunan fungsi
ginjal dan kadar kalium.
- Pemakaian golongan BB dan CCB relatif aman.
2. Hipertensi akibat gangguan ginjal/adrenal:
- Pada gagal ginjal terjadi penumpukan garam yang membutuhkan
penurunan asupan garam/ diuretik golongan furosemid/dialisis.
- Penyakit ginjal renovaskuler baik stenosis arteri renalis maupun
aterosklerosis renal dapat ditanggulangi secara intervensi
(stenting/operasi) ataupun medikal (pemakaian ACEI dan ARB tidak
dianjurkan bila diperlukan terapi obat).
- Aldosteronisme primer (baik karena adenoma maupun hiperplasia
kelenjar adrenal) dapat ditanggulangi secara medikal (dengan obat
antialdosteron) ataupun intervensi.
Di samping hipertensi, derajat proteinuri ikut menentukan progresi gangguan fungsi ginjal, sehingga proteinuri perlu ditanggulangi secara maksimal dengan pemberian ACEI/ARB dan CCB golongan non dihidropiridin.
Pedoman Pengobatan Hipertensi dengan Gangguan Fungsi Ginjal
l. Tekanan darah diturunkan sampai <130/80 mmHg (untuk mencegah progresi
gangguan fungsi ginjal).
2. Bila ada proteinuria dipakai ACEI/ARB (sepanjang tak ada kontraindikasi).
3. Bila proteinuria >lg/24 jam tekanan darah diusahakan lebih rendah (≤125/75 mmHg).
4. Perlu perhatian untuk perubahan fungsi ginjel pada pemakaian ACEI/ARB (kreatinin
tidak boleh naik >20%) dan kadar kalium (hiperkalemia).
PENANGGULANGAN HIPERTENSI PADA USIA LANJUT
Hipertensi pada usia lanjut mempunyai prevalensi yang tinggi, pada usia di atas 65 tahun didapatkan antara 60-80%. Selain itu prevalensi gagal jantung dan stroke juga tinggi, keduanya merupakan komplikasi hipertensi. Oleh karena itu, penanggulangan hipertensi amat penting dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada usia lanjut.
Sekitar 60% hipertensi pada usia lanjut adalah hipertensi sistolik terisolasi (Isolated systolic hypertension) dimana terdapat kenaikan tekanan darah sistolik disertai penurunan tekanan darah diastolik. Selisih dari tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik yang disebut sebagai tekanan nadi (pulse pressure), terbukti sebagai prediktor morbiditas dan mortalitas yang buruk. Peningkatan tekanan darah sistolik disebabkan terutama oleh kekakuan arteri atau berkurangnya elastisitas aorta.
Penanggulangan hipertensi pada usia lanjut amat bermanfaat dan telah terbukti dapat mengurangi kejadian komplikasi kardiovaskular. Pengobatan dimulai bila:
- TD sistolik ≥ 160 mmHg bila kondisi dan harapan hidup baik
- TD sistolik ≥ 140 bila disertai DM atau merokok atau disertai faktor risiko lainnya
Oleh karena pasien usia lanjut sudah mengalami penurunan fungsi organ, kekakuan arteri, penurunan fungsi baroreseptor dan respon simpatik, serta autoregulasi serebral, pengobatan harus secara bertahap dan hati-hati (start low, go slow) hindarkan pemakaian obat yang dapat menimbulkan hipotensi ortostatik.
Seperti halnya pada usia muda, penanggulangan hipertensi pada usia lanjut dimulai dengan perubahan gaya hidup. Diet rendah garam, termasuk menghindari makanan yang diawetkan dan penurunan berat pada obesitas, terbukti dapat mengendalikan tekanan darah. Pemberian obat dilakukan apabila penurunan tidak mencapai target. Kejadian komplikasi hipotensi ortostatik sering teriadi, sehingga diperlukan anamnesis dan pemeriksaan mengenai kemungkinan adanya hal ini sebelum pemberian obat.
Obat yang dipakai pada usia lanjut sama seperti yang dipergunakan pada usia yang lebih muda. Untuk menghindari komplikasi pengobatan, maka dosis awal dianjurkan separuh dosis biasa, kemudian dapat dinaikkan secara bertahap, sesuai dengan respon pengobatan dengan mempertimbangkan kemungkinan efek samping obat. Obat-obat yang biasa dipakai meliputi diuretik (HCT) 12,5 mg, terbukti mencegah komplikasi teriadinya penyakit jantung kongestif. Keuntungannya murah dan dapat mencegah kehilangan kalsium tulang. Obat lain seperti golongan ACEI, CCB kerja panjang dan obat-obat lainnya dapat digunakan. Kombinasi 2 atau lebih obat dianjurkan untuk memperoleh efek pengobatan yang optimal.
Target pengobatan harus mempertimbangkan efek samping, terutama kejadian hipotensi ortostatik. Umumnya tekanan darah sistolik diturunkan sampai <140 mmHg. Target untuk tekanan darah diastolik sekitar 85-90 mmHg. Pada hipertensi sistolik penurunan sampai tekanan darah diastolik 65 mmHg atau kurang dapat mengakibatkan peningkatan kejadian stroke. Oleh karena itu sebaiknya penurunan tekanan darah tidak sampai 65 mmHg.
PENANGGULANGAN HIPERTENSI PADA GANGGUAN NEUROLOGIK
Oleh karena hipertensi merupakan faktor risiko utama maka penderita hipertensi dapat dianggap sebagai "Stroke prone patient". Pengendalian hipertensi sebagai faktor risiko akan menurunkan kejadian stroke sebanyak 32%. Pengendalian stroke dengan faktor risiko hipertensi mempunyei penatalaksanaan yang spesifik.
Penanggulangan hipertensi tanpa defisit neurologi
Dapat dilakukan sesuai dengan konsensus InaSH. Dilakukan deteksi gangguan organ-organ otak melalui berbagai kegiatan:
- Perlu perhatian khusus bila penderita hipertensi disertai dengan kesemutan di
muka, sekeliling bibir, ujung-ujung jari dan vertigo, ada kecenderungan
insufisiensi basiler.
- Selain itu keluhan lain, seperti gangguan berbahasa, gangguan daya ingat dan
artikulasi perlu mendapat perhatian lebih lanjut.
Penanggulangan hipertensi dengan tanda-tanda defisit neurologi akut
Penatalaksanaan hipertensi yang tepat pada stroke akut sangat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas stroke
1.Stroke iskemik akut
• Tidak direkomendasikan terapi hipertensi pada stroke iskemik akut, kecuali
terdapat hipertensi berat dan menetap yaitu >220 mmHg atau diastolik >120
mmHg dengan tanda-tanda ensefalopati atau disertai kerusakan target organ
lain.
• Obat-obat anti hipertensi yang sudah dikonsumsi sebelum serangan stroke
diteruskan pada fase awal stroke pemberian obat anti hipertensi yang baru
ditunda sampai dengan 7-10 hari pasca awal serangan stroke.
• Batas penurunan tekanan darah sebanyak-banyaknya 20-25% dari tekanan darah
arterial rerata (MAP).
• Jika tekanan darah sistolik 180-220 mmHg dan/ tekanan darah diastolik 105-120
mmHg, terapi darurat harus ditunda, kecuali terdapat bukti perdarahan intra
serebral, gagal ventrikel jantung kiri, infark miokard akut, gagal ginjal akut,
edema paru, diseksi aorta, ensefalopati hipertensi. Jika peninggian tekanan darah
itu menetap pada 2 kali pengukuran selang waktu 60 menit, maka diberikan
Candesartan Cilexetil 4-16 mg oral selang 12 jam. Jika monoterapi oral tidak
berhasil atau jika obat tidak dapat diberikan per oral, maka diberikan obat
intravena yang tersedia.
• Batas penurunan tekanan darah sebanyak-banyaknya sampai 20-25% dari
tekanan darah arterial rerata, dan tindakan selanjutnya ditentukan kasus per
kasus.
2. Stroke hemoragik akut
• Batas penurunan tekanan darah maksimal 20-25% dari tekanan darah semula.
• Pada penderita dengan riwayat hipertensi sasaran tekanan darah sistolik 160
mmHg dan diastolik 90 mmHg.
• Bila tekanan darah sistolik >230 mmHg atau tekanan darah diastolik >140
mmHg: berikan nicardipin/ diltiazem/nimodipin drip dan dititrasi dosisnya
sampai dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 90
mmHg (dosis dan cara pemberian lihat tabel jenis-jenis obat untuk terapi
emergensi).
• Peningkatan tekanan darah bisa disebabkan stres akibat stroke (efek cushing),
akibat kandung kencing yang penuh, respon fisiologis atau peningkatan tekanan
intrakranial dan harus dipastikan penyebabnya.
PENANGGULANGAN HIPERTENSI PADA DIABETES
• Indikasi pengobatan:
Bila tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg dan / atau tekanan diastolik ≥ 80 mmHg.
• Sasaran (target penurunan) tekanan darah:
- Tekanan darah <130/80 mmHg.
- Bila disertai proteinuria ≥ 19/24 jam: ≤ 125/75 mmHg.
• Pengelolaan:
- Non-farmakologis:
Perubahan gaya hidup, antara lain: menurunkan berat badan, meningkatkan
aktifitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol, serta mengurangi konsumsi
garam.
- Farmakologis:
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat anti hipertensi:
• Pengaruh terhadap profil lipid
• Pengaruh terhadap metabolisme glukosa
• Pengaruh terhadap resistensi insulin
• Pengaruh terhadap hipoglikemia terselubung
Obat anti hipertensi yang dapat dipergunakan:
• ACEI
• ARB
• Beta blocker
• Diuretik dosis rendah
• Alfa blocker
• CCB golongan non-dihidropiridin
• Pada diabetisi dengan tekanan darah sistolik antara130-139 mmHg atau tekanan darah diastolik antara 80-89 mmHg diharuskan melakukan perubahan gaya hidup sampai 3 bulan. Bila gagal mencapai target dapat ditambahkan terapi farmakologis.
• Diabetisi dengan tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, disamping perubahan gaya hidup, dapat diberikan terapi farmakologis secara langsung.
• Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat dicapai dengan monoterapi.
Catatan:
- ACEI, ARB dan CCB golongan non-dihidropiridin dapat memperbaiki
mikroalbuminuria.
- ACEI dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular.
- Diuretik (HCT) dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti memperburuk
toleransi glukosa.
- Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai.
- Bila tekanan darah terkendali, setelah satu tahun dapat dicoba menurunkan dosis
secara bertahap.
- Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap.
Penanggulangan Hipertensi pada Kehamilan
Tekanan darah >160/100 mmHg harus diturunkan untuk melindungi ibu terhadap risiko stroke atau untuk memungkinkan perpanjangan masa kehamilan, sehingga memperbaiki kematangan fetus. Obat yang dapat diberikan ialah Methyl Dopa dan Nifedipin.
Obat-obat yang tidak boleh diberikan saet kehamilan adalah ACEI (berkaitan dengan kemungkinan kelainan perkembangan fetus) dan ARB yang kemungkinan mempunyai efek sama seperti penyekat ACEI. Diuretik juga tidak digunakan mengingat efek pengurangan volume plasma yang dapat mengganggu kesehatan janin. Terapi definitif ialah menghentikan kehamilan atas indikasi preeklampsia berat setelah usia kehamilan > 35 minggu.
Penutup
Konsensus penanggulangan hipertensi ini adalah suatu kesepakatan yang bersifat sederhana dan ditujukan untuk dokter umum agar dapat menanggulangi hipertensi secara praktis.
Algoritma pengobatan dibuat agar mudah diimplementasikan, disertai pilihan obat yang tersedia di Indonesia.
Konsensus ini baru berupa usaha awal dari InaSH dan akan dievaluasi ulang secara berkala sesuai dengan masukan dari penggunanya.
b
ACEI = Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
ARB = Angiotensin Receptor Blocker
BB = β Blocker
CCB = Calcium Channel Blocker
CCT = Creatinine Clearance Test
DASH = Diatary Approaches to Stop Hypertension
EKG = Elektrokardiografi
KKT = Kondisi Klinik Terkait
KOT = Kerusakan Organ Target
MAP = Mean Arterial Blood Pressure
PAP = Penyakit Arteri Periver
PJK = Penyakit Jantung Koroner
PKV = Penyakit Kardivaskular
Daftar Kontributor
Dr. Adre Mayza, SpS
Dr. Aida Lydia, SpPD-KGH
Dr. Ardian Jahja Saputra, SpJP
Dr. Arieska Ann Soenarta, SpJP (K)
Prof. Dr. Asikin Hanafiah, SpJP (K)
Prof. DR. Dr. Endang Susalit, SpPD-KGH
Prof. Dr. Gulardi Hanifa, SpOG (K)
Prof. Dr. Harmani Kalim, SpJP (K)
Prof. Dr. Jose Roesma PhD, SpPD-KGH
Dr. Santoso Karo Karo, SpJP (K)
Prof. DR. Dr. Sidartawan Soegondo, KEMD a/n PERKENI
DR. Dr. Suhardjono, SpPD-KGH, KGer
Prof. Wiguno Prodjosudjadi PhD, SpPD-KGH
Prof. Dr. Yusuf Misbach, SpS (K)

Stroke dan penatalaksanaannya

Berbicara mengenai pengobatan stroke,(orang China bilang piansui) ,maka sebaiknya kita samakan dulu pengertian tentang “Stroke”.

Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. Berkurangnya aliran darah dan oksigen ini bisa dikarenakan adanya sumbatan, penyempitan atau pecahnya pembuluh darah.

WHO mendefinisikan bahwa stroke adalah gejala-gejala defisit fungsi susunan saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak dan bukan oleh yang lain dari itu.

Stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu: stroke iskemik maupun stroke hemorragik.
Stroke iskemik yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. 80% stroke adalah stroke Iskemik.

Stroke iskemik ini dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1.Stroke Trombotik: proses terbentuknya thrombus yang membuat penggumpalan.
2.Stroke Embolik: Tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
3.Hipoperfusion Sistemik: Berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena adanya gangguan denyut jantung.

Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak. Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita hipertensi.
Stroke hemoragik ada 2 jenis, yaitu:
1.Hemoragik Intraserebral: pendarahan yang terjadi didalam jaringan otak.
2.Hemoragik Subaraknoid: pendarahan yang terjadi pada ruang subaraknoid (ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak).

Tanda dan Gejala-gejala Stroke
Berdasarkan lokasinya di tubuh, gejala-gejala stroke terbagi menjadi berikut:
1.Bagian sistem saraf pusat : Kelemahan otot (hemiplegia), kaku, menurunnya fungsi sensorik
2.Batang otak, dimana terdapat 12 saraf kranial: menurun kemampuan membau, mengecap, mendengar, dan melihat parsial atau keseluruhan, refleks menurun, ekspresi wajah terganggu, pernafasan dan detak jantung terganggu, lidah lemah.
3.Cerebral cortex: aphasia, apraxia, daya ingat menurun, hemineglect, kebingungan.
Jika tanda-tanda dan gejala tersebut hilang dalam waktu 24 jam, dinyatakan sebagai Transient Ischemic Attack (TIA), dimana merupakan serangan kecil atau serangan awal stroke.

Faktor Penyebab Stroke
Faktor resiko medis, antara lain Hipertensi (penyakit tekanan darah tinggi), Kolesterol, Aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah), Gangguan jantung, diabetes, Riwayat stroke dalam keluarga, Migrain.
Faktor resiko perilaku, antara lain Merokok (aktif & pasif), Makanan tidak sehat (junk food, fast food), Alkohol, Kurang olahraga, Mendengkur, Kontrasepsi oral, Narkoba, Obesitas.

80% pemicu stroke adalah hipertensi dan arteriosklerosis, Menurut statistik. 93% pengidap penyakit trombosis ada hubungannya dengan penyakit tekanan darah tinggi.
Pemicu stroke pada dasarnya adalah, suasana hati yang tidak nyaman (marah-marah), terlalu banyak minum alkohol, merokok dan senang mengkonsumsi makanan yang berlemak.
Setelah stroke, sel otak mati dan hematom yg terbentuk akan diserap kembali secara bertahap. Proses alami ini selesai dlm waktu 3 bulan. Pada saat itu, 1/3 orang yang selamat menjadi tergantung dan mungkin mengalami komplikasi yang dapat menyebabkan kematian atau cacat.

Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke. Dari jumlah tersebut:
•1/3 --> bisa pulih kembali,
•1/3 --> mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang,
•1/3 sisanya --> mengalami gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita terus menerus di kasur.
Hanya 10-15 % penderita stroke bisa kembali hidup normal seperti sedia kala, sisanya mengalami cacat, sehingga banyak penderita Stroke menderita stress akibat kecacatan yang ditimbulkan setelah diserang stroke.

Akibat Stroke lainnya:
•80% penurunan parsial/ total gerakan lengan dan tungkai.
•80-90% bermasalah dalam berpikir dan mengingat.
•70% menderita depresi.
•30 % mengalami kesulitan bicara, menelan, membedakan kanan dan kiri.

Stroke tak lagi hanya menyerang kelompok lansia, namum kini cenderung menyerang generasi muda yang masih produktif. Stroke juga tak lagi menjadi milik warga kota yang berkecukupan , namun juga dialami oleh warga pedesaan yang hidup dengan serba keterbatasan.
Hal ini akan berdampak terhadap menurunnya tingkat produktifitas serta dapat mengakibatkan terganggunya sosial ekonomi keluarga. Selain karena besarnya biaya pengobatan paska stroke , juga yang menderita stroke adalah tulang punggung keluarga yang biasanya kurang melakukan gaya hidup sehat, akibat kesibukan yang padat.

Stroke sangat dapat dicegah,
Hampir 85% dari semua stroke dapat dicegah ,
Karena Ancaman stroke hingga merenggut nyawa dan derita akibat stroke. Hidup bebas tanpa stroke merupakan dambaan bagi semua orang.

Tak heran semua orang selalu berupaya untuk mencegah Stroke atau mengurangi faktor risiko dengan menerapkan pola hidup sehat, olahraga teratur, penghindari stress hingga meminum obat atau suplemen untuk menjaga kesehatan pembuluh darah hingga dapat mencegah terjadinya Stroke.
Dalam tatalaksana stroke waktu merupakan hal yang sangat penting mengingat jendela terapinya hanya berkisar antara 3 sampai 6 jam.
Tindakan di gawat darurat untuk stroke akut sebaiknya ditekankan pada hal-hal berikut:
1.Stabilisasi pasien
2.Pemeriksaan darah, EKG dan rontgen toraks
3.Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
4.Pemeriksaan CT Scan kepala atau MRI sesegera mungkin

Tindakan yang harus segera dilakukan di gawat darurat :
1. Pemasangan jalur intravena dengan cairan normal salin 0,9% dengan kecepatan 20 ml/jam. Cairan hipotonis seperti dekstrosa 5% sebaiknya tidak digunakan karena dapat memperhebat edema serebri.
2. Pemberian oksigen melalui nasal kanul.
3. Jangan memberikan apapun melalui mulut.
4. Pemeriksaan EKG
5. Pemeriksaan rontgen toraks.
6. Pemeriksaan darah:
Darah perifer lengkap dan hitung trombosit
Kimia darah (glukosa, ureum, kreatinin dan elektrolit)
PT (Prothrombin Time)/PTT (Partial Thromboplastin time)
7. Jika ada indikasi lakukan pemeriksaan berikut:
•Kadar alkohol
•Fungsi hepar
•Analisa gas darah
•Skrining toksikologi
8.Pemeriksaan CT Scan kepala tanpa kontras
9.Pasien dengan kesadaran yang sangat menurun (stupor/koma) ataupun dengan gagal nafas perlu dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan intubasi sebelum CT Scan.

Penatalaksanaan stroke iskemik
Oksigenasi yang adekuat sangat penting selama fase akut stroke iskemik untuk mencegah hipoksia dan perburukan neurologis. Penyebab tersering gangguan oksigenasi diantaranya obstruksi jalan nafas partial, hipoventilasi, pneumonia aspirasi ataupun atelektasis. Pasien dengan kesadaran menurun dan stroke batang otak beresiko mengalami gangguan oksigenasi. Tindakan intubasi harus dilakukan pada pasien dengan ancaman gagal nafas. Secara umum, pasien yang memerlukan tindakan intubasi mempunyai prognosis yang buruk, kurang lebih 50% nya meninggal dalam 30 hari.
Monitoring dengan oksimetri sebaiknya dilakukan dengan target saturasi oksigen > 95%.
Suplementasi oksigen diberikan pada pasien dengan hipoksia berdasarkan hasil analisa gas darah atau oksimetri.

Seandainya penyebabnya hipertensi
AHA/ASA merekomendasikan penatalaksanaan hipertensi pada stroke iskemik akut sebagai berikut:

A. Pasien yang tidak akan diberikan terapi trombolisis
TD sistolik < 220 atau diastolik < 120 Observasi kecuali jika ditemukan kegawatdaruratan hipertensi non neurologis seperti infark miokard akut, edema paru kardiogenik, ensefalopati hipertensi, retinopati hipertensi, diseksi aorta).
Berikan terapi simptomatis (sakit kepala, nausea, muntah, agitasi, nyeri).
Atasi komplikasi stroke lainnya seperti hipoksia, peningkatan tekanan intrakranial, kejang, hipo ataupun hiperglikemi.
TD sistolik < 220 atau diastolik 121-140 Labetolol 10-20 mg IV selama 1-2 menit.
Dapat diulang setiap 10 menit (maksimal 300 mg)
atau
Nicardipin 5 mg/jam IV infus (dosis inisial), dititrasi sampai efek yang diinginkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit sampai maksimal 15 mg/jam.
Penurunan TD 10-20% dari TD sebelumnya
TD diastolik > 140 Nitroprusid 0,5ug/KgBB/menit IV infus (dosis inisial) dengan monitoring TD kontinyu.
Penurunan TD 10-20% dari TD sebelumnya

B. Pasien kandidat terapi trombolisis
Praterapi, sistolik > 185 atau diastolik >110:
Labetolol 10-20 mg IV selama 1-2 menit.
Dapat diulang satu kali atau nitropasta 1-2 inchi

Selama/setelah terapi.
1.Monitor TD Periksa TD setiap 15 menit selama 2 jam setelah mulai terapi lalu setiap 30 menit selama 6 jam, selanjutnya tiap 60 menit sampai 24 jam.

2.Diastolik > 140 Sodium Nitroprusid 0,5 ug/KgBB/menit IV infus (dosis inisial) dititrasi sampai TD yang diinginkan.

3.Sistolik > 230 atau diastolik 121-140 Labetolol 10ug IV selama 1-2 menit.
Dapat diulang setiap 10 menit sampai maksimum 300 mg atau berikan dosis inisial lalu lanjutkan dengan drip 2-8 mg/menit.
Atau
Nicardipin 5 mg/jam IV infus (dosis inisial) dititrasi sampai efek yang diinginkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit sampai maksimal 15 mg/jam.

4.Sistolik 180-230 atau diastolik 105-120 Labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit.
Dapat diulang setiap 10 menit sampai maksimum 300 mg atau berikan dosis inisial lalu lanjutkan dengan drip 2-8 mg/menit.

Selain terapi seperti diatas, obat anti hipertensi oral yang dapat digunakan adalah captopril atau nicardipin. Pemakaian nifedipin sublingual sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang drastis.

Hiperglikemia
Broderick et al, Weir CJ et al, Kawai N et al membuktikan bahwa hiperglikemi reaktif maupun non reaktif selama iskemia otak akut menimbulkan efek yang berbahaya dan keluaran klinis yang lebih buruk terutama pada stroke non lakuner.
Konsentrasi glukosa yang meningkat di area iskemik akan meningkatkan konsentasi laktat dan menyebabkan asidosis. Hal ini akan meningkatkan pembentukan radikal bebas oksigen yang akan merusak neuron-neuron. Hiperglikemia juga memperparah edema, meningkatkan pelepasan neurotransmiter excitatory amino acid dan melemahnya pembuluh darah di area iskemik.
Batas kadar gula darah yang dianggap masih aman pada fase akut stroke iskemik non lakunar adalah 100-200 mg% (Hack W, et al, 1997).

Indikasi dan syarat pemberian insulin
1. Stroke hemoragik dan non hemoragik dengan IDDM atau NIDDM
2. Bukan lakunar stroke dengan diabetes melitus.
Kontrol gula darah selama fase akut stroke
Insulin reguler diberikan subkutan setiap 6 jam dengan cara skala luncur atau infus intravena terus menerus.
Insulin reguler dengan skala luncur
Gula darah (mg/dL) Insulin tiap 6 jam SC/ sebelum makan
< 80 Tidak diberikan insulin
80-150 Tidak diberikan insulin
150-200 2 unit
201-250 4 unit
251-300 6 unit
301-350 8 unit
351-400 10 unit
>400 12 unit

Bila kadar gula darah sulit dikendalikan dengan skala luncur, diperlukan infus kontinyu dengan dosis dimulai 1 unit/jam dan dapat dinaikkan sampai 10 unit/jam. Kadar gula darah harus dimonitor dengan ketat setiap 1-2 jam sehingga kecepatan infus dapat disesuaikan.
Hiperglikemia yang hebat >500 mg/dL, diberikan bolus pertama 5-10 unit insulin reguler tiap jam. Setelah kadar gula darah stabil dengan infus kontinyu atau skala luncur dilanjutkan dengan pemberian insulin reguler subkutan (fixdosed).

Demam
Peningkatan suhu tubuh pada stroke iskemik akut berhubungan dengan buruknya keluaran neurologik. Hal ini diduga karena peningkatan kebutuhan metabolik, meningkatnya pelepasan neurotransmiter dan radikal bebas. Antipeiretik dan selimut dingin dapat digunakan untuk mengatasi demam. Pada pasien stroke peningkatan suhu dapat disebabkan oleh efek sentral akan tetapi hal ini lebih sering disebabkan karena infeksi sekunder. Oleh karenya, mencari penyebab demam adalah hal yang penting dan antibiotik harus segera diberikan jika memang diperlukan.


Penatalaksanaan Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik terjadi pada 23-25% kejadian stroke yang terdiri dari perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid. Perdarahan intraserebral terjadi karena adanya ektravasasi darah kedalam jaringan parenkim yang disebabkan ruptur arteri perforantes dalam. Kerusakan pembuluh darah ini sebagai akibat dari hipertensi kronik atau angiopati amiloid. Adanya produk darah dalam parenkim serebral menyebabkan rusaknya traktus dari substansia alba dan neuron-neuron dari nukleus atau korteks serebral yang permanen. Adanya perdarahan intraserebral menyebabkan terjadinya penambahan volume dalam ruang intrakranial, hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakrnaial yang dapat menambah luas kerusakan yang disebabkan terjadinya hipoperfusi. Iskemik selular akan memicu terjadinya edema serebral yang dapat menambah peningkatan terkanan intrakranial. Hidrosefalus dapat terjadi pada perdarahan serebelar, selain itu perdarahan yang luas pada daerah ganglia basal dapat menyebabkan pembesaran sistim ventrikel. Pada stroke hemoragik, tatalaksana ditujukan untuk mengurangi efek massa dan mencegah penambahan volume perdarahan atau rebledding.

Penatalaksanaan stroke hemragik
Pada stroke hemoragik, manifestasi perdarahan yang terjadi dapat berupa:
1. Perdarahan intraserebral
2. Perdarahan subarakhnoid

1. Perdarahan intraserebral

A. Medikamentosa
Pada fase akut perdarahan intraserebral hal yang menjadi perhatian meliputi jalan nafas, tekanan darah dan perfusi serebral. Pada pasien dengan GCS ≤8 sebaiknya dilakukan pemasangan endotracheal tube. Pada fase akut biasanya disertai peningkatana tekanan darah, hal ini menjadi suatu hal yang menjadi perhatian dalam tatalaksanya, karena disatu sisi penambahan volume darah akan terjadi jika tidak dilakukan penanganan hipertensi sedangkan terjadinya iskemik pada daerah perihematom juga menjadi perhatian dalam menurunkan tekanan darah. Hal tersebut dapat diatasi jika penurunan tekanan darah sekitar 20% dari MABP. Perfusi serebral dipengaruhi oleh tekanan intrakranial, semakin tinggi tekanan intrakranial semakin rendah perfusi sehingga disarankan tekanan intrakranial >70mmHg.

a. Penatalaksanaan tekanan darah pada stroke hemoragik
Hipertensi
Labetalol : 5-100 mg/jam secara bolus berkala 10-40 mg atau 2-8 mg/min
perdrip
Esmolol : Loading : 500 μg/kg; Maintenance : 50-200 μg/kg/min
Nitroprusside : 0,5 – 10 μg/kg/min
Hidralazine : 10-20 mg tiap 4-6 jam
Enalapril : 0,625-1,2 mg tiap 6 jam
Algoritme penatalaksanaan hipertensi pada perdarahan intraserebral:
Sistolik > 230mmHg atau Diastolik >140mmHg dapat diberikan nitroprusside
•Sistolik > 180- 230mmHg atau Diastolik >105-140mmHg atau MABP ≥130mmHg dapat diberikan labetalol,esmolol,enalapril atau preparat intravena lainnya yang dapat dititrasi seperti diltiazem, lisinopril dan verapamil.
•Sistolik < 180mmHg atau Diastolik <105mmHg hindari penggunaan antihipertensi.
•Pertahankan tekanan perfusi serebral > 70mmHg

Hipotensi
Pada keaadaan awal penanganan penurunan tekanan darah sistolik <90mmHg dapat dilakukan loading cairan koloid atau salin isotonik. Jika tekanan darah tetap rendah dapat digunakan phenylephrine 2-10 μg/kg/min atau dopamine 2-20 μg/kg/min atau Norepinephrine yang dititrasi dari 0,05-0,2 μg/kg/min.
b. Penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial pada stroke hemoragik
Peningkatan tekanan intrakranial sebagai akibat adanya volume perdarahan dan terjadinya edema serebri diatasi dengan osmoterapi yang menggunakan manitol (0,25-0,5 g/kg tiap 4 jam) dan furosemid (10 mg tiap 2-8jam). Pemantauan osmolaritas serum dan kadar natrium dilakukan tiap 2 kali sehari dengan target osmolaritas <310mOsm/L.
Penggunaan sedatif seperti propofol,benzodiazepine atau morfin dengan paralisis neuromuskular dapat menurunan tekanan intrakranial tetapi diperlukan pemantauana yang intensif.

B. Operatif
Tindakan operatif ditujukan untuk mengurangi efak massa serta mengurangi efek neurtoksik dari bekuan darah. Dengan kemajuan teknik operatif, angka kematian semakin rendah dibandingkan dengan menggunakan modalitas medikamentosa. Mortalitas pada suatu penelitian pada perdarahan intraserebral yang dilakukan operatif pada 12 jam setelah onset sekitar 18%.
Pemilihan pasien dengan perdarahan intraserebral yang memerlukan tindakan operatiff tergantung dari ukuran dan lokasi perdrahan dan defisit yang diakibatkan. Tindakan operatif dapat dilakukan pada pasien dengan perdarahan serebelar dengan volume > 3cm3 dengan penurunanan nerulogis atau adanya penekanan batrang otak atau adanya hidrosefalus atau pada dewasa muda dengan perdarahan lobar yang sedang atau besar. Perdarahan pada daerah pons,medula oblongata dan mesensefalon tidak dilakukan tindakan operatif.

2. Perdarahan subarakhnoid

A. Perawatan umum:
Tekanan darah
Hipertensi setelah onset perdarahan subarakhnoid merupakan fenomena kompensasi guna mempertahankan perfusi serebral dan sebaiknya tidak dilakukan penurunan tekanan darah yang agresif. Pada beberapa penelitian yang berusaha menurunkan tekanan darah, didapatkan kejadian re-bleeding yang menurun tetapi kejadian serebral infark yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan penanganan hipertensi pada perdarahan subarakhnoid menjadi sulit. Pemberian antihipertensi sebaiknya digunakan pada pasien dengan hipertensi berat yang disertai kerusakan target organ lainnya seperti gangguan ginjal dan jantung atau dengan rerata tekanan arteri >130. Preparat yang disarankan:
• Diaxozide 50-150 mg IV bolus, diulang tiap 5-10 menit atau 15-30 mg/menit perdrip. Dosis maksimal 600mg
• Labetalol hidroklorida 20-80mg IV bolus tiap 10 menit atau 2mg/menit perdrip. Dosis maksimal 300mg
• Nitroprusid dianjurkan penggunaannya pada krisis hipertensi tetapi bukan merupakan pengobatan lini pertama karena dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

Cairan dan elektrolit
Terapi cairan pada perdarahan subarakhnoid untuk mencegah penurunan volume plasma yang dapat menyebabkan terjadinya serebral iskemia. Sekitar 30% kasus perdarahan subarakhnoid terjadi penurunan volume plasma sekitar 10% antara hari kedua dan kesepuluh onset. Hal ini terkait dengan balans negatif natrium. Fludrokortisone asetat 0,02mg dalam 200ml D5%/12jam digunakan pada pasien dengan hiponatremi. Penggunaan cairan yang dianjurkan adalah normal salin 0,9% 3 liter perhari. Pada pemberian makanan enteral, jumlah tesebut harus dikurangi karena kebanyakan makanan enteral mengandung 1-2 kalori/ml. Pemantauan kebutuhan cairan dengan melihat tekanan vena sentral (central venous pressure) yang dipertahankan diatas 8mmHg tetapi biasanya penghitungan balans carian yang dilakukan 4 kali sehari selama 10 hari dapat memperkirakan jumlah cairan yang dibutuhkan.

Nutrisi
Pemberian nutrisi secara oral dapat diberikan pada pasien dengan refleks menelan yang baik. Usahakan pemberian makanan yang dapat menjaga konsistensi feses tetap lunak, pemberian cairan yang adekuat dan pengurangan makanan yang mengandung susu dan pemberian laxative dapat dilakukan. Pada pasien yang menggunakan selang nasogastrik, pemberian makanan enteral dilakukan pada hari kedua perawatan dengan menghindari asparasi dengan cara pemberian makanan pada posisi duduk dan mengecek kembali residu gaster tiap jam.
Peningkatan tekanan intrakranial

Nyeri dan manuver yang meningkatkan tekanan intraabdomen seperti batuk, mengedan dan bersin dapat memicu peningkatan tekanan intrakranial sehingga hal tersebut harus dihindari agar tidak menambah buruk keadaan pasien terutama kemungkinan terjadinya re-bleeding. Pasien perdarahan subarachnoid yang diterapi secara medikamentosa sebaiknnya dirawat dalam ruangan perawatan yang tenang dengan lampu penerangan yang minimal sehingga pasien dapat tirah baring secara maksimal. Pemantauan derajat kesadaran dengan menggunakan Glasgow Coma Scale dapat digunakan untuk menduga adanya serebral iskemi, re-bleeding, hidrosefalus akut atau komplikasi lainnya. Nyeri kepala kadang dapat diatasi dengan analgetik ringan seperti parasetamol 500 mg tiap 3-4 jam dengan atau tanpa dextropropoxiphene, pada nyeri kepala hebat penggunaan kodein 20mg peroral atau morfin 1-2 mg IV atau tramadol 50-100mg tiap 4 jam dapat ditambahkan. Penggunaan pelunak feses pada kejadian konstipasi lebih dianjurkan dibandingkan enema karena dapat meningkatkan tekanan abdominal dan memicu peningkatan tekanan kranial.

B. Pencegahan perdarahan berulang (re-bleeding)
Perdarahan berulang terjadi pada 15% kasus perdarahan subarakhnoid yang ditandai dengan penurunan kesadaran. Pada suatu penelitian dikatakan 20% re-bleeding terjadi pada hari pertama onset dan pada beberapa kasus terjadi pada 6 jam setelah onset. Hijdra dkk mengatakan bahwa pada kasus yang telah melewati hari pertama onset, 40% rebleeding masih dapat terjadi dalam 4 minggu berikutnya dengan puncaknya pada minggu ketiga. Perdarahan berulang diyakini sebagai akibat dari lisis bekuan darah didaerah aneurisma yang pecah. Penaganganan aneurisma secara surgical masih merupakan sesuatu yang kontroversial karena belum didukung oleh data yang cukup. Penggunaan antifibrinolitik seperti asam traneksamat (1g IV atau 1,5g peroral tiap 4-6 jam) atau asam epsilon-aminokaproat (3-4g tiap 3 jam IV atau peroral) dapat menurunkan kejadian rebleeding, tetapi efek kerja sebagai antifibrinolitik baru tercapai setelah 36 jam. Seperti halnya tindakan surgical, pemberian antifibrinolitik juga sesuatu yang controversial.

Pada beberapa penelitian dikatakan, kejadian serebral iskemi meningkat (OR 2,03; 95% IK 1,40-2,94) dengan pemberian antifibrinolitik, sehingga penggunaanya ditinggalkan.
Dear Widy penatalaksanaan stroke tergantung dari jenis stroke,jenis kelamin,umur pasien,tingkat kesadaran pasien,waktu terjadinya,berpacu dengan waktu dalam memberikan pertolongan pertama apakah sudah melampaui golden times yang hanya berkisar 3 sampai 6 jam,apakah ada penyakit komorbid dan sangat kompleks.Penanganan stroke tentunya harus ditangani secara profesional oleh dokter spesialis saraf,spesialis bedah saraf,penyakit dalam,anesthesi,radiologi dll secara team work.
Yang saya sampaikan adalah hanya salah satu upaya tatalaksana stroke iskemik dan stroke hemorrhagik ,yang disarikan dari berbagai sumber penatalaksanaan stroke.

Warm regards
Mulyadi Tedjapranata

Powered By Blogger