Tampilkan postingan dengan label Bedah dan Anesthesi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bedah dan Anesthesi. Tampilkan semua postingan

Selasa, April 26

mengenal obat PJK buat para GP


PJK merupakan pembunuh no 1 di dunia termasuk Indonesia. Namun kadang – kadang dokter umum ragu untuk memberi terapi. Tulisan ini memberikan panduan terapi PJK bagi dr umum.

PENDAHULUAN
Mengubah persepsi penanganan PJK dari pandangan lama menjadi pandangan baru.

Tahun 1995 , semua ahli beranggapan bahwa berat ringannya penyempitan arteri koroner yang menentukan berat ringannya kejadian syndrome koroner. Sehingga penanganan lebih ditujukan pada pelebaran penyempitan yakni balonisasi diikuti pemasangan stent atau operasi bypass.

1995 Falk dkk melaporkan hasil otopsi pada penderita yang meninggal hanya memiliki penyempitan kurang dari 70 % dari lumen total. Juga ditemukan sumbatan yang diakibatkan oleh gumpalan darah pada lumen yang tidak sempit.

Dari gambaran tesebut diambil kesimpulan bahwa serangan jantung disebabkan terjadinya robekan pada plak yang mengundang terjadinya proses agregasi sel – sel darah. Gumpalan – gumpalan darah inilah yang menyebabkan terjadinya serangan jantung dengan segala konsekwensi . Penemuan inilah yang mengubah persepsi tersebut.

Penanggulangan PJK lebih difokuskan pada modifikasi factor risiko secara intensif melalui
obat – obatan .
Perubahan pola hidup
Latihan fisik
Diet.

OBAT – OBATAN
PENYAKIT JANTUNG CORONER

1. Golongan Nitrat
2. Beta Bloker
3. Antagonis Kalsium
4. Obat Anti Agregasi

1. Golongan Nitrat

EFEK :

Nitrat meningkatkan produksi nitric oxide
( NO ) , yang memiliki efek dilatasi pembuluh darah terutama Vena dan sedikit arteri.sehingga dapat menurunkan beban jantung dan memperbaiki sirkulasi koroner.Efek nitrat akan meningkatkan suplai darah ke otot jantung. Dilatasi pembuluh darah akan menyebabkan penurunan tekanan darah.

Indikasi :
meredakan serangan angina pectoris
diberika pada semua kasus kecuali ada kontra indikasi atau efek samping

Dikenal preparat :
1. Nitroglycerin
2. Isosorbid dinitrat ( ISDN ) :
nama dagang Fasorbid ,
Cedocard , Isoket , Isordil , Vascardin ,
3. Isosorbid mononitrat yang memilikim efek kerja lebih lama
Nama dagang : Monecto , Pentacard , Cardismo , Ismo 20

Dosis dan Cara pemberian :

1. Isosorbid dinitrat dosis : 10mg – 20mg . 2 kali / hari oral.
Isosorbid 5 mg : diberikan secara sub lingual

2. Isosorbid mononitrat

Efek samping dan Kontra indikasi
Efek samping sakit kepala. Namun dalam beberapa hari dapat terjadi adaptasi. Jika nyeri kepala bertambah atau tidak hilang terapi sebaiknya dihentikan. Penggantian dengan preparat lain tidak akan memberikan hasil
sebab nitrat memiliki reaksi hipersensitif silang .

Thn 1995 Munzel T menunjukkan bahwa Nitrat dapat menyebabkan toleransi jika digunakan jangka panjang. Keadaan ini terjadi akibat penggunaan nitrat menyebabkan meningkatnya radikal bebas.
Thomas GR melaporkan bahwa penggunaan isosorbid mononitrat dapat menyebabkan gangguan fungsi endothel sehingga menyebabkan gangguan aliran darah pembuluh coroner dan arteri perifer lainnya.

Note : Penggunaan Nitrat sebaiknya tidak diberikan lebih dari 2 tahun.. sebaiknya diberikan dalam waktu singkat atau diberikan preparat kerja singkat.

Kontra indikasi :
Hypotensi ( tekanan darah < 100/60 mmHg )

2. BETA – BLOKER

Efek :

memperlambat denyut nadi dan membuat jantung tidak berkontraksi terlalu kuat. Betabloker memblok receptor beta pada otot jantung sehingga adrenalin tidak lagi memiliki

efek pada jantung. Beta blok disebut juga penghambat aktifitas syaraf sympatis.
Jenis preparat beta bloker :
Dikenal 2 jenis Beta Bloker :

cardio selektif ( Hanya memblok beta reseptor 1 di jantung ) mempun yai efek samping ringan
non cardio selektif ( memblok beta reseptor 1 di jantung dan beta reseptor 2 pada organ lain seperti paru , usus dan sel lemak.

Efek samping :
asma , gula darah sukar dikontrol

Kontra indikasi :

Penderita Asma,
DM ,
Hypercholesterol .

Hasil penelitian menunjukkan golongan non selektif lebih memperpanjang harapan hidup Penderita PJK sehingga penggunaan propanolol lebih baik digunakan pada kasus tanpa kontra indikasi dibandingkan golongan cardio selektif ( Atenolol)

Preparat golongan cardioselektif

1. atenolol ) al :

Tenormin
Internolol
Farnormin
Betablock

2. Metoprolol : lopresor, seloken

Kontra Indikasi :

Non selektif : Asma , DM , Hypercholesterol
Untuk semua Jenis Betabloker jangan diberikan pada penderita kegagalan jantung.

Dapat diberikan generasi baru yang memiliki efek kerja yang panjang dengan dosis 1 kali / hari.
Yakni jenis : BISOPROLOL , Carvedilol ( Dilbloc , V.Bloc , Blorec ) dalam kemasan 6,25mg , 25 mg. Dosis 6,25 mg diberikan pada kasus PJK dengan gagal jantung. Sehari 1 tab atau 2 tablet tergantung kondisi penderita.Dosis dapat dinaikkan setiap 2 minggu.

Bisoprolol ( Concord , Mentate ) :
Kasus Hypertensi dan PJK 5 mg / hari . Untuk pend gagal jantung dimulai dengan dosis kecil yakni 1,25 mg dinaikkan perlahan sampai timbul tanda perbaikan.
Pada sebagian laki – laki beta bloker dapat mengakibatkan gangguan seksual .

3. ANTAGONIS KALSIUM
Kalsium menyebabkan menyebabkan kontraksi otot jantung. Obat – obat golongan antagonis kalsium menghambat masuknya ion kalsium kedalam sel otot jantung dan arteri sehingga dapat menghambat laju kontraksi jantung dan menyebabkan relaksasi pembuluh darah. Akibatnya beban jantung berkurang kebutuhan oxygen juga berkurang.

3 jenis golongan antagonis kalsium

1. Golongan Dihidropiridin :

Nipedipin ( adalat 5, 10 mg, farmalat )
Efek : menyebabkan dilatasi otot polos arteri
1. menurunkan tekanan darah ,
2. bersifat anti sclerosis.,
3. memperbaiki fungsi endothel
Amlodipin ( Norsvak , Tensivask )
Felodipin ( Plendil , Nirmandil )
Nikardipin ( Perdipine )

2. Golongan Difenilalkilamin ( Verapamil )
Nama dagang Isoptin
Efek : bekerja pada otot jantung (mengurangi kontraksi jantung ).

3. Golongan Benzotiazepin ( Diltiazem )
Nama dagang : Herbeser 30,
Herbeser CD 100 dan 200
Dilmen
Farmabes

Efek : Bekerja pada otot jantung dan pembuluh darah

Efek samping pada semua jenis Kalsium antagonis :

Efek samping sangat kurang
pada penggunaan jangka panjang pada orang tertentu menyebabkan odem pada kaki terutama golongan amlodipin
Kontra Indikasi : Penderita gagal jantung.

OBAT ANTI AGREGASI

Fungsi obat agregasi ?
bagaimana memilih obat.

Fungsi :

Obat anti agregasi berfungsi mencegah terjadinya pembekuan darah. Digunakan untuk menjamin kelancaran peredaran darah terutama jika terjadi penyempitan pembuluh darah agar darah tidak mudah menggumpal. Yakni pada kasus PJK , hypertensi , hypercholesterol

Bagaimana memilih obat ?

Dalam praktik setiap dokter sebaiknya mempertimbangkan

1. Biaya : tidak membebankan
2. Efektifitas
3. Efek samping obat
4. Penyakit penyerta : akan menjadi lebih parah jika menggunakan OAA.

Fakta :

“ Kadang – kadang seorang dokter lebih memilih meneruskan penggunaan aspilet pada kasus PJK dengan gastritis dengan mengkombinasikan obat – obat Maag seperti Mylanta , Ranitidin , Promag dll bahkan omeprazole padahal secara farmakologi combinasi tersebut dapat mengurangi efek aspirin “

JENIS OBAT ANTI AGREGASI

1. ASPIRIN
2. TICLOPIDINE ( AGULAN, TICLIC , CARTRILET )
3. CLOPIDOGREL ( Plavix )
4. HEPARIN DAN WARFARIN
5. OAA ALTERNATIF.

1. ASPIRIN
Willowbark ( salix alba ) merupakan tumbuhan yang sudah dikenal sejak dahulu kala sebagai obat demam.

1824 : Leroux mengisolasi glycoside yang pahit dari tumbuhan tersebut diberi nama salicin

1838 : Piria membuat asam salisilat dan salicin yang kemudian digunakan sebagai obat penurun panas dan anti rrematik.

Pabrik obat Bayer yang pertama memproduksi aspirin mengandung asam salisilat 500 mg.

Aspirin thn 1945 dilaporkan dapat menyebabkan perdarahan pada kasus tonsilektomi pada penderita yang menggunakan aspirin ( Dilaporkan oleh Dr Singer specialist THT ).

Pada penelitian selanjutnya menemukan bahwa aspirin memiliki efek anti agregasi yakni dengan menghambat aktifitas enzyme cyclo oxygenase pada trombosit yang selanjutnya menghambat produksi tromboksan, zat yang memiliki efek merangsang agregasi trombosit dan vasokonstruksi.

Berdasarkan hal tersebut aspirin dianjurkan pada penyakit gangguan peredaraan darah termasuk PJK dan Stroke .

Beberapa penelitian :
1. Secondary prevention study :
Dimuat dalam British medical journal ( 1994 )
• 10.000 kasus diberi aspirin 75 – 325 mg aspirin
• 10.000 kasus diberi placebo
Dilakukan observasi selama 27 bulan .

Hasilnya ;
1. Angka kesakitan 13,5% pada pasien dengan aspirin 17,1% pasien dengan placebo
2. Angka kematian : 8,1% : 9,4% )
3. Serangan jantung ulangan ( 4,7% : 6,5 % )

Dari hasil tersebut kalau dinilai dalam kasus maka dapat terlihat
Angka kesakitan hanya ada perbedaan 3 kasus dalam 100 kasus
Angka kesakitan hanya unggul 2 kasus tiap 100 kasus
Serangan ulangan juga unggul 2 kasus.

2. Primery prevention study :

Dilakukan pada partisipan yang belum pernah mendapat serangan jantung . hasil juga tidak begitu berbeda yakni angka kesakitan setelah 5 tahun 1,39 : 2,39 dalam 100 orang. Berarti hanya berbeda 1 kasus.

Dari penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan :
“ Aspirin dapat digunakan sebagai OAA. Pada kasus PJK atau stroke atau pencegahan Namun tidak berarti tanpa Aspirin pasien pasti berada dalam bahaya.” Juga tidak berarti bahwa tanpa aspirin kita terbebas dari PJK atau Stroke “

DOSIS :

Dosis yang dianjurkan 80 – 160 mg / hari .
Di Indonesia yang beredar :
Ascardia
Farmasal
Aspilet ( trombo aspilet )
Cardio aspirin
Restor.

Note :

Jangan takut menghentikan aspirin pada penderita dengan iritasi lambung . anda dapat mengganti dengan OAA alternative seperti “ Walfarin “ atau “ Dipiridamol
( Persantin ) “.

2.TICLOPIDINE ( Agulan, Ticlic , Cartrilet

Efek : sama dengan aspirin Pada uji klinis efeknya tidak lebih baik dari aspirin dosis rendah. Harga lebih mahal.
Efek samping :
Iritasi lambung
Leucositopenia
Diare
Bercak merah pada kulit.

Dosis : 250 – 500 mg / hari

3. CLOPIDEGREL ( plavix )

Menurut uji klinis efek lebih baik dibanding aspirin sebagai obat anti agregasi ( 5,32 % : 8,3 % ) . Yakni berbeda 5 kasus dalam 1000 penderita yang dilakukan uji klinis .
Harga obat jauh lebih mahal Yakni Rp 25.000,- / tablet. Sedangkan aspirin hanya Rp 500,- / tab.
Clopidegrel selain mempunyai efek anti agregasi juga mempunyai efek anti inflmasi . Namun diketahui 25 % penderita kebal terhadap clopidegrel. Terapi dengan menggabungkan clopidegrel dengan aspilet memberi efek lebih baik. Kecuali ada iritasi lambung.

Dosis : 75 mg / hari.
4. HEPARIN dan WARFARIN
Heparin merupakan substansi yang membuat darah tidak menggumpal yang diproduksi oleh tubuh kita sendiri . Organ yang banyak memproduksi heparin yakni Paru – paru , Hati dan Endothel.

Indikasi

Angina pectoris yang tidak stabil .
1. Pemberian per infuse Ada 2 ( dua ) sediaan :
Heparin unfractional ( sediaan biasa )
Low Molecul weight ( LMW )
Dosis : 1 ( satu ) flacon / hari diberi perlahan – lahan per infuse tetesan dapat dinaikkan perlahan . Tiap 8 jam harus dilakukan pemeriksaan kekentalan darah Untuk type LMW tidak perlu melakukan test kekentalan darah.

2. Per oral
Warfarin ( Simarc 2 ) dan Dikumarol .
Harga murah Rp 500,- per tablet. Belum ada uji klinis , namun secara teoritis dapat digunakan pada penderita dengan iritasi lambung.

Dosis : 2 mg / hari.
Ingat : penderita yang menggunakan obat tersebut harus melakukan test kekentalan darah. ( Trombo test ). Namun jika terjadi perdarahan pada gusi atau dibawah kulit dosis diturunkan 1 mg / hari.

5 OBAT ANTI AGREGASI ALTERNATIF

a. Sanqi :( Panax notoginseng , pseudoginseng )

Jamu china yang dapat digunakan sebagai OAA. Alternative.
Sanqi mengandung alkaloid yang memiliki efek anti agregasi, antikoagulasi , anti inflamasi , dalam beberapa hal dapat menurunkan cholesterol dan memiliki efek tonik.

Dosis : Sanqi ada dalam bentuk bubuk , kapsul dan tablet.
Bubuk : 1 gram / hari
Kapsul : 1 – 2 tablet / hari.

b. Terapi Urine ( uropathy )
Urin mengandung urokinase yakni bahan yang dapat melarutkan gumpalan darah . Ilmu pengobatan tersebut telah dikenal 2000 – 3000 tahun yang lalu.

Apakah anda ingin melakukan terapi tersebut tergantung kepercayaan agama , jijik tidaknya anda.

Jika anda jijik dapat menggunakan bubuk “ Ren Cong Bai “ : yakni kristal yang terbuat dari urin anak laki – laki usia 5 tahun. Terdapat dalam bentuk kapsul.

Dosis : 1 kapsul / hari .

6 TROMBOLYTIC
Trombolitik terdiri dari kata thrombus (gumpalan darah ) lisis ( melarutkan ).

Sejarah :
1933 : William Tillet dan RL Garner melaporkan Streptokinase group A beta haemoliticus menghasilkan zat yang bisa melarutkan gumpalan darah diberi nama “ STREPTOKINASE “.
1945 : L. Royal Christensen ( ahli kimia ) menunjukkan bahwa plasma manusia mengandung plasminogen . Secara tidak langsung Streptokinase akan mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Yang mampu melarutkan bekuan darah.

Peter Rentrop : Orang pertama yang menggunakan streptokinase pada pasien yang mengalami serangan jantung.

Bentuk streptokinase yan g ada yakni :
1.tissue Plasminogen Activator ( tPA )
2.Urokinase .

Secara alamiah kedua bentuk tersebut terdapat dalam tubuh manusia. tPA pada endothel dan Urokinase dalam urine. Streptokinase lebih murah dari tPA . ( 4 juta / vial . tPA 9 juta / vial.

INDIKASI :

Pada kasus akut . Onset serangan jantung kurang dari 6 jam. DI suntikkan sesegera mungkin pada pasien serangan jantung. Efeknya berkurang jika diberikan setelah lewat dari 6 jam.

Penting

Plasmin yang dijual didepot obat bukan streptokinase pelarut gumpalan darah . namun extrak cacing tanah.

YANG PERLU DIKETAHUI

1. Gunakan obat sesuai kemampuan pasien.

2. Untuk puskesmas gunakan aspirin dengan dosis yang sesuai

3. Jangan ragu menghentikan terapi aspirin jika ada gejala iritasi lambung.

4. jika obat – obat tersebut tidak tersedia tenangkan penderita sebab didalam tubuh manusia terdapat zat yang dapat melarutkan bekuan darah .
20 % Penderita serangan jantung mengalami reperfusi spontan yakni darah mengalir kembali secara spontan pada serangan pertama.
50 % mengalami reperfusi spontan pada hari ke empatbelas.

P E N U T U P

Semoga tulisan ini dapat membantu teman – teman dalam memilih terapi pada pengobatan PJK dan penggunaan Obat Anti Agregasi pada kasus PJK , Stroke Atau pencegahan
serta menambah pengetahuan mengenai obat – obatan tersebut.

Selasa, September 28

Patah Tulang… Dukun vs. Medis

Banyak orang masih mempercayai dukun urut untuk menangani kasus patah tulang. Tidak salah! Tapi tidak banyak yang tahu kalau banyak juga yang mengalami ‘kegagalan’ dari penanganan itu. Kegagalan yang dimaksud; tidak membaik dari sisi penyambungan tulang, bentuk sambungan sangat tidak sesuai dengan bentuk awalnya dan dari sisi fungsi serta gerakan kaki atau tangan tidak seleluasa gerakan saat sebelum mengalami patah tulang.

Pada hakekatnya tulang pasti akan tumbuh dan merekat kembali antar fragmen patahan lainnya jika saja ada kontak atau bersentuhan antar bagian tulang2 yang patah tersebut. Masalah yang sering membedakan kwalitas penanganan itu terletak pada kemampuan untuk mendekatkan atau mengembalikan bentukan yang patah itu semirip mungkin dengan bentuk anatomis aslinya. Sehingga di saat tumbuh dan menyambung (union) nantinya tidak mengalami perubahan bentuk, apalagi berpengaruh pada penampakan fisik dari luar. Atau mungkin bisa terlihat tangan menjadi bengkok dan kaki tampak panjang sebelah.

Penanganan patah tulang di dukun memerlukan biaya yang ‘relatif’ lebih murah. Hubungan serta komunikasi pasien dengan pemberi jasa lebih familier, tidak memerlukan aturan , tidak diganggu system birokratis yang meribetkan layaknya seperti UGD atau rumah sakit. Mungkin tidak juga perlu banyak obat yang harus ditebus di apotek. Sedangkan di sisi medis, bisa jadi patah tulang tsb membutuhkan operasi walapun tidak semua kasus harus diselesaikan dengan operasi. Namun setidaknya biaya akan terbayang lebih mahal dbanding pengelolaan dukun.

Prinsip mengatasi kasus patah tulang dengan tanpa ada kasus penyerta lainnya adalah;

Reposisi. Ini yang dimaksud pernyataaan di atas. Kemampuan profesional baik dukun maupun tenaga medis diuji di sini. Bagaimana bisa mengembalikan tulang yg patah itu pada posisi semula. Bagi tenaga medis diuntungkan dengan adanya obat bius dan kemampuan untuk memegang serta memperbaiki tulang yg patah itu secara langsung melalui pembedahan. Untuk patahan yg simple, tidak tampak bergeser, tidak ada luka terbuka, sama dengan tenaga medis dukunpun dapat mengobati ini dengan hasil yang nyaris sempurna.

Fiksasi. Ini yang paling berpengaruh terhadap biaya. Dengan membalut patahan dari luar –pada tenaga medis menggunakan gyps atau cast- atau oleh dukun dengan bahan2 penyangga seperti gulungan batang bambu, tentu tidak semahal biaya yang memerlukan penyangga menggunakan plate, screw, wire, pen dan lain-lain yang dipasang dokter bedah di kamar operasi. Sama sama memiliki tujuan mempertahankan posisi tulang yang telah diperbaiki sebelumnya sampai nantinya terbentuk tunas tulang baru sebagai bahan perekatnya. Sekali lagi, tidak semua kasus patah tulang butuh operasi. Ada yang mutlak tidak butuh operasi, ada yang bisa atau tidak dioperasi –tentu dipertimbangkan dampak plus minusnya- namun ada hanya sebagain yang mutlak butuh pembedahan (pemasangan internal fiksasi).

Rehabilitasi. Yang ini tujuan paling akhir. Percuma saja 2 upaya di atas dilakukan dengan baik kalau setelah perawatan, penderita justru mengalami kaku saat bergerak atau jalan menjadi pincang. Mencakup pula tujuan ini adalah segi estetika. Bagaiamana kalau bisa selain tulangnya menyambung, bentuk fisik organ yang mengalami cedera tidak terlihat berobah, tidak ada bekas luka dan alat gerak –tangan atau kaki yg patah- bisa difungsikan kembali seperti sedia kala.

Jadi kalau dilema, mau dibawa kemana kejadian patah tulang yang mungkin anda alami, lihat dulu kasusnya. Akan lebih informatif jika sudah ditunjang oleh hasil foto rontgen. Kalaupun diputuskan untuk dibawa ke dukun urut, pastikan reputasinya, sudah terbiasa menangani kasus yang sama atau tidak. Jangan hanya karena alasan faktor biaya, anda kemudian mendapatkan hasil yang tidak memuaskan. Dan perlu dicatat akan memerlukan biaya yang jauh lebih besar lagi jika kita bermaksud merevisi suatu bentuk yang telah rusak…!

Haruskah Tahap Pre-Operatif itu Dijalankan..?

Persiapan operasi yang baik akan memberi pengaruh baik pula terhadap kondisi pasca operasi. Tapi tidak semua operasi membutuhkan langkah-langkah persiapan yang sama. Ada operasi yang memerlukan persiapan yang mendetail dengan memerlukan waktu beberapa hari, dari persiapan fisik dengan pemeriksaan laboratorium, rontgen, jantung dan lain-lain bahkan hingga menentukan hari baik dalam pelaksanaannya. Di sisi lain ada opersi yang sudah langsung bisa dijalankan begitu seorang dokter memutuskan bahwa dibutuhkan pembedahan sebagai jalan untuk mengatasi suatu penyakit. Seberapa serius dan pentingnya persiapan operasi (pre-operatif) itu diperlukan, tergantung dari beberapa hal.
Urgensi operasi. Operasi emergensi, yang jika ditunda akan berpengaruh terhadap beratnya penyakit dan bahkan mengancam nyawa akan menomorduakan masalah masalah kesehatan yang lain dalam persiapannya. Yang penting adalah operasinya dikerjakan dulu, yang lain diperhitungkan belakangan. Contoh kasus bedah seperti ini, misalnya perdarahan, hambatan pada jalan nafas, jepitan terhadap organ dalam tubuh dan lain-lain. Jadi pada pembedahan emergensi atau operasi cito, waktu pelaksanaan menjadi pertimbangan utama sehingga langkah persiapan operasinya bisa sedikit diabaikan dibandingkan dengan operasi memperbaiki bentuk hidung misalnya. Dan pasien pun didesak sehingga secara psikis tidak punya waktu untuk menyiapkan diri.
Kasus penyakit bedah. Sudah barang tentu operasi yang berat seperti bedah jantung akan memerlukan pemeriksaan yang lebih teliti dalam persiapannya dibandingkan dengan cuma operasi benjolan kecil di areal kulit lengan. Hal ini berkaitan juga dengan berat ringan dan lama tidaknya proses berlangsungnya pembedahan.
Pembiusan. Penderita yang akan dipersiapkan operasi dengan pembiusan umum membutuhkan puasa beberapa jam sebelum operasi dijalankan. Salah satu alasannya adalah untuk mengantisipasi terjadinya reflek muntah di saat penderita tidak sadar yang bisa menjadi fatal akibatnya kalau isi muntahan itu masuk ke dalam saluran nafas. Untuk jenis pembiusan regional, masalah ini bisa diabaikan apalagi jika hanya menyiapkan diri untuk operasi dengan pembiusan lokal. Oleh karena reaksi obat bius yang diberikan melalui peradaran darah dan gas isap akan dapat berpengaruh terhadap jantung, ginjal dan organ penting lainnya maka operasi dengan general anasthesi memerlukan gambaran fungsi organ organ tersebut melalui pemeriksaan yang dikerjakan saat mempersiapkan operasinya.
Umur. Secara fisiologis fungsi organ tubuh akan menurun seiiring dengan usia. Maka pada penderita yang sudah cukup usia –di atas 40 tahun- dibutuhkan evaluasi fungsi organ vital sebelum menjalani operasi dengan pembiusan umum, untuk menjamin kelancaran proses operasi dan pulihnya kondisi pasca operasi. Berkaitan pula dengan pembiusan, pada anak anak akan lebih nyaman menggunakan bius total sekalipun pada kasus yang sama pada penderita dewasa masih dimungkinkan dengan bius lokal. Sehingga persiapannya pun menjadi lebih lengkap.
Penyakit penyerta. Bagi penderita yang memiliki penyakit lain selain kasus bedah akan menjadi perhatian khusus bagi tim bedah sebelum menjalankan tindakan operasinya. Gangguan atau penyakit lain, sedikit tidak, pasti akan berpengaruh terhadap kelangsungan proses operasi. Penyakit seperti gangguan jantung, penderita diabetes, gangguan fungsi ginjal, fungsi pembekuan darah dan lainnya jika tidak harus menjalani operasi emergensi, sedapat mungkin dipastikan dulu bahwa penyakitnya tersebut dalam keadaan stabil dan memenuhi syarat untuk naik ke meja operasi. Keadaaan inilah yang mengakibatkan seorang penderita butuh waktu relatif lama dalam masa preoperatifnya.
Perawatan pasca operasi. Operasi besar yang membutuhkan perawatan ketat pasca operasinya akan memerlukan persiapan yang lebih matang. Dibandingkan dengan operasi katagori ringan atau sedang yang memungkinkan penderita boleh pulang setelah menjalani pembedahan. Begitu juga operasi bertahap dan menjadi bagian dari suatu rangkaian perawatan luka lama, biasanya tidak membutuhkan persiapan seserius operasi yang pertama.

Pembedahan dan Pembiusan

anesthesia“Dok.. apa tidak bisa saya dibius supaya gak sadar, karena saya takut dioperasi…?!”. “Apa tidak berbahaya tuh anak saya kalau dibius total…?”. “ Tidak bisa bius lokal nih dok, agar hemat biaya..?”. “Kok saya mesti puasa sebelum operasi?” Pertanyaan pertanyaan semacam itulah umumnya yang diungkapkan penderita dalam persiapannya akan menjalani operasi. Pembiusan dan pembedahan merupakan satu rangkaian yang tidak bisa terpisahkan. Itulah sebabnya kenapa suatu tindakan pembedahan yang dikerjakan di kamar operasi memerlukan kerja sama team yang kompak dengan keterlibatan team bedah dan team anasthesi, baik dokter maupun asistennya. Ada beberapa pilihan pembiusan atau anastesi yang dapat diberikan ke seorang penderita. Tapi pilihan ini tidaklah ditentukan oleh si penderita, melainkan ditentukan berdasarkan berbagai alasan medis.

Bagi seorang dokter Bedah yang berperan sebagai operator pasti menginginkan kondisi pembiusan yang prima saat ia menjalankan pembedahanya. Tidak hanya sekedar bebas nyeri namun juga ketenangan pasien serta relaksasi atau lemasnya otot-otot yang berada di sekitar lapangan operasi. Keadaan seperti itu didapat pada jenis pembiusan total atau general anesthesia. Namun tidak semua kasus bedah sebaiknya dikerjakan dengan bius total. Akan ada pertimbangan pilihan lain yang relatif resikonya lebih ringan. Belum lagi didasarkan atas pertimbangan pembiayaan, kondisi persiapan preoperatif pasien dan kecepatan pulih yang diinginkan. Misalnya, mengangkat tahi lalat di tangan pada seorang dewasa, tentu lebih tepat menggunakan bius lokal, karena resiko pembiusannya ringan, tidak perlu persiapan khusus, waktu pulih cepat dan biaya murah.

Secara umum ada 3 jenis pembiusan, yakni pembiusan total, regional dan lokal. Pembiusan total atau bius umum dikerjakan dengan cara memasukan obat melalui inhalasi –hirup udara yg mengandung gas anasthesi- atau bisa dengan memasukkan obat melalui pembuluh darah vena (intravenous). Karena pasien tidak sadar, sangat diperlukan sekali jaminan saluran nafas agar senantiasa terbuka, tidak terhalang sehingga oksigen dapat leluasa masuk ke paru-paru. Bila diperlukan dapat dipasang semacam tube atau pipa ke dalam tenggorokan untuk menjaga saluran nafas tersebut. Dengan alasan ini juga pasien dicegah muntah agar bahan muntahan tidak masuk ke dalam saluran nafas. Sehingga wajib bagi pasien yang akan dibius total untuk berpuasa, setidaknya 5 jam sebelum pembiusan bagi pasien dewasa. Karena obat yang diberikan bekerja secara sistemik, resikonya pun lebih tinggi dibanding cara pembiusan yang lain. Bius regional dilakukan dengan cara memblok kerja saraf yang melayani bagian tubuh yang akan dioperasi. Keseringan diterapkan blok spinal dengan memasukkan obat ke dalam sumsum tulang belakang untuk mengerjakan operasi di perut bagian bawah sampai tungkai bawah. Ada juga cara dengan memblok pleksus (kumpulan serat saraf) untuk melakukan operasi di bagian lengan tangan ke bawah. Sedangkan pembiusan lokal yang resikonya paling rendah terbatas hanya bisa diterapkan pada jenis operasi kecil, sayatan dan kedalaman lapangan operasi yang tidak luas dan obat cukupdisuntikkan di sekitar areal permukaan tubuh yang akan dioperasi. Efek obat menghilangkan sementara kerja saraf sensoris yang menlingkupi areal tersebut.

Bagi seorang dokter anasthesi pemilihan jenis bius disamping mempertimbangkan faktor sosial tadi, yang lebih penting adalah pertimbangan medis, seperti ; umur, gangguan atau penyakit lain yang menyertai satu kasus bedah, di bagian tubuh mana lokasi pembedahan akan dikerjakan termasuk kemungkinan faktor penyulit yang bisa mengganggu proses berlangsungnya pembedahan dan prediksi waktu yang diperlukan untuk operasi tertentu. Resiko pembiusan yang harus dipertimbangkan ini tidak saja yang mungkin berdampak pada proses berlangsungnya pembedahan tapi juga dampak terhadap kondisi penderita setelah selesainya operasi tersebut. Maka menurut klasifikasi American Society of Anaesthesiologist (ASA), keadaan fisik pasien preoperatif dikatagorikan sesuai tingginya resiko, menjadi ASA I sampai ASA V. Katagori inilah yang umum diguankan oleh team anasthesia untuk memperkirakan kemungkinan hasil operasi dan tentu sebagai bahan permakluman kepada keluarga pasien saat memberikan Informed Consent atau Surat Persetujuan Tindakan Medik (SPTM).

Obat Bius Bikin Rem Alamiah Otak Blong


Satu dosis morfin didapati merendahkan hambatan pada tikus, bahkan setelah obat bius itu hilang dari sistem mereka, demikian antara lain isi temuan yang mungkin membantu ilmuwan untuk lebih memahami kecanduan pada manusia, kata beberapa peneliti AS.

Pada tikus, penghilang rasa sakit tersebut menghalangi kemampuan otak untuk memperkuat hubungan atau synapses, yang mengikis hadian atau kenikmatan, kata para peneliti dari Brown University di dalam jurnal Nature.

"Apa yang telah kami temukan ialah synapses penghalang tak dapat lagi diperkuat 24 jam setelah perawatan dengan morfin, yang menunjukkan bahwa rem alamiah telah hilang," kata Julie Kauer, profesor molecular pharmacology, physiology dan biotechnology di Brown University.

"Ini terjadi 24 jam setelah hewan itu diberikan satu dosis morfin dan walau sudah tak ada morfin yang tersisa di otak. Itu memperlihatkan bahwa itu adalah dampak terus-menerus dari obat bius tersebut," kata Kauer dalam suatu wawancara.

Kauer mengatakan temuan itu memberi tambahan pada suatu kumpulan bukti yang meningkat dan menunjukkan hubungan antara belajar dan kecanduan dan mungkin membantu dalam pengembangan obat untuk merawat orang yang kecanduan.

"Memperkuat synapses, kami kira, adalah awal dari pembentukan ingatan," katanya.

Dengan menutup kemampuan alamiah untuk memperkuat hubungan yang menghalangi kesenangan, otak mungkin mulai belajar untuk merasa haus akan obat bius tersebut," katanya.

Kauer mengatakan otak memiliki dua jenis syaraf, syaraf yang membangkitkan hubungan syaraf dan syaraf yang menghalangi atau menekannya.

"Jika penghalang berkurang, anda kehilangan rangsangan," katanya.

Ketidak-seimbangan itu mungkin mendorong terbakarnya syaraf yang membuat dopamine (bahan kimia kenikmatan) di otak yang diaktifkan setelah memberi hadiah kepada pengalaman seperti makan, seks dan penggunaan obat bius yang mengakibatkan kecanduan.

Kauer mendapati perubahan pada satu bagian kecil otak tengah, yang terlibat dalam sistem penghargaan tersebut. Meskipun studinya meneliti reaksi awal obat penyebab kecanduan, ia bermaksud mengkaji dampak tersebut suatu ketika. (Disadur dari berbagai Sumber)

Obat Bius Sebabkan Kerusakan Sel Otak Pada Pasien Lansia

Pemberian obat bius pada pasien yang akan menjalani operasi dalam konsentrasi tertentu memiliki efek samping serius, di antaranya dapat menurunkan tekanan darah di tubuh dan di otak, mengurangi suplai makanan ke otak serta dapat menyebabkan kerusakan sel otak.

Spesialis anastesi, dr Satria,Sp.An di Samarinda, Kamis mengatakan, khusus pada pasien lanjut usia (Lansia) yang telah menjalani operasi, pemberian obat bius dapat menyebabkan pasien cepat pikun.

"Saat obat bius bekerja, efek samping yang ditimbulkan antara lain tekanan darah di tubuh yang terus mengalir ke otak menurun, akibatnya otak kekurangan oksigen dan suplai makanan berkurang sehingga sel otak cepat rusak," katanya.

Bahkan, lanjutnya, apabila obat bius yang diberikan bekerja di dalam tubuh dalam waktu relatif lama atau menyebabkan pasien tidak segera sadar dan bangun, otak akan banyak kekurangan oksigen sehingga sel otak menjadi rusak dan pasien tersebut bisa koma.

"Namun pasien tidak perlu cemas pada efek samping obat bius, karena kejadian tersebut umumnya menyerang pasien usia lanjut, sedangkan pemberian obat bius pada pasien usia anak-anak dan dewasa pengaruhnya tidak akan seburuk itu," kata dr Satria.

Dari sisi medis, tambahnya, pemberian obat bius harus lah dalam takaran yang seminimal mungkin, dan semakin cepat pengaruh obat bius hilang setelah pembiusan semakin baik.


Semakin maju

Ia mengatakan, perkembangan dunia anastesia semakin maju, termasuk semakin banyaknya dokter anastesi yang berkompeten, yang mampu menghilangkan rasa sakit pasien tanpa keluhan saat dan pasca-operasi dengan masa kerja pengaruh pembiusan pada tubuh yang relatif cepat.

"Jadi pasien yang akan menjalani operasi saat ini tidak perlu cemas, karena obat bius yang digunakan oleh dokter-dokter yang berkompeten saat ini semakin lama semakin maju," katanya.

Dokter Satria mencontohkan, dulu obat bius berupa gas jenis `eter` masih sering digunakan, karena selain telah direkomendasikan sebagai obat bius paling aman, sifat analgetik atau penghilang rasa sakitnya kuat dan harganya juga relatif lebih murah.

Namun, katanya, efek samping yang ditimbulkan akibat penggunaan jenis obat bius `eter` tersebut adalah aroma atau bau gasnya yang tidak enak, kemudian pasien yang menggunakannya akan tidak sadarkan diri dalam waktu relatif lama, dan ketika sadar pasien akan merasa mual bahkan muntah.

"Sesuai dengan kemajuan teknologi pengobatan, jenis obat anastesia tersebut saat ini sudah tidak digunakan lagi, karena tujuan pemberian obat bius tidak hanya bertujuan membuat pasien tidak sadarkan diri pada saat menjalani operasi tapi juga memberikan kenyamanan setelah operasi," katanya.

Sedangkan obat bius untuk melumpuhkan separuh tubuh yang sering digunakan pada operasi caesar, saat ini pihaknya sudah menggunakan produk spinal generasi terbaru yaitu spinal nomor 29 dengan jarum berdiameter kecil dan lentur.

Tiga macam

Lebih lanjut dr Satria menyebutkan, jenis obat bius yang digunakan untuk operasi ada tiga macam, yaitu yang bersifat analgetik atau pengurang rasa sakit, hipnotik atau obat tidur dan obat pelemas otot.

"Obat bius yang digunakan oleh dokter-dokter spesialis diperoleh dari rumah sakit atau perusahaan farmasi khusus yang tidak dijual bebas di pasaran, bahkan setelah operasi dokter harus melaporkan jenis obat bius yang digunakan dan berapa kadarnya," katanya.

Menurut dia, masyarakat umum tidak akan mungkin dapat membeli dan menggunakan obat bius secara ilegal, khususnya jenis narkotik dan morphin yang masih digunakan untuk membius pasien dengan kondisi tertentu, karena peredarannya pun dipantau oleh Balai Pemeriksaaan Obat dan Makanan (POM) Depkes.

Namun ia mengakui, untuk jenis narkotika dan extasi yang mengadung narkotik, ampitamin atau penghilang rasa lelah dan halusinogen atau perangsang rasa ingin berhalusinasi, saat ini marak dijual bebas secara ilegal dan hal tersebut memang menyalahi aturan. (Disadur dari Berbagai Sumber)

Bius Total, Ada Efek Sampingnya ?

Untuk menghindari rasa nyeri akibat suatu tindakan bedah, hampir seluruh tindakan operasi menggunakan anestesi atau obat bius. Anestesi berasal dari bahasa Yunani yang artinya “tanpa sensasi”. Secara singkat, anestesi berarti keadaan di mana sensasi nyeri dan sensasi-sensasi lainnya diblok, sehingga pasien tidak dapat merasakan sensasi-sensasi tersebut.

Karena tindakan bedah umumnya adalah tindakan membuat suatu luka pada suatu bagian atau organ tubuh, maka tindakan bedah selalu akan menimbulkan rasa nyeri. Di sinilah obat anestesi/obat bius tersebut digunakan, yaitu untuk menghilangkan rasa nyeri.

Ada beberapa jenis anestesi, yaitu:

  1. Anestesi umum (bius total). Pasien dengan anestesi total akan menjadi tidak sadarkan diri dan tidak dapat merasakan nyeri. Namun ia masih dapat mengatur pernapasannya sendiri dengan normal.
  2. Sedasi dalam/analgesia. Obat-obat jenis ini merangsang depresi dan penurunan kesadaran pasien. Kita akan sulit menyadarkan pasien dengan keadaan ini, namun masih dapat dibantu dengan memberikan stimulasi berulang atau stimulasi nyeri kepada pasien.
  3. Sedasi menengah. Obat sedasi ini menurunkan kesadaran pasien, namun ia masih akan dapat memberikan respons terhadap perintah verbal, baik dengan kemampuannya sendiri ataupun dengan stimulasi rangsang cahaya.
  4. Sedasi minimal/anxiolysis. Pasien dengan anestesi ini masih dapat merespons perintah verbal dengan normal melalui konsentrasi yang tinggi.

Anestesi umum/Bius Total

Obat-obatan anestesi yang umum dipakai pada pembiusan total adalah N2O, halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Obat anestesi umum yang ideal haruslah tidak mudah terbakar, tidak meledak, larut dalam lemak, larut dalam darah, tidak meracuni end-organ (jantung, hati, ginjal), efek samping minimal, tidak dimetabolisasi oleh tubuh, dan tidak mengiritasi pasien.

Sayangnya, tidak ada obat anestesi umum yang memenuhi semua kriteria di atas. Ini berarti, obat bius/anestesi umum/total pasti memiliki efek samping.

Efek samping tersebut di antaranya:

  • Mengiritasi aliran udara, menyebabkan batuk dan spasme laring (golongan halogen).
  • Menimbulkan stadium kataleptik yang menyebabkan pasien sulit tidur karena mata terus terbuka (Ketamin).
  • Depresi napas.
  • Depresi pada susunan saraf pusat.
  • Aspirasi.
  • Nyeri tenggorokan.
  • Sakit kepala.
  • Perasaan lelah dan bingung selama beberapa hari.

Hal-hal tersebut di atas adalah sebagian dari efek samping pembiusan total. Efek samping tersebut bersifat sementara. Namun, ada pula komplikasi serius yang dapat terjadi. Untungnya, komplikasi tersebut sangat jarang, dengan perbandingan 4 komplikasi dalam jutaan pasien yang diberi obat anestesi.

Pencegahan efek samping anestesi yang terbaik adalah dengan penjelasan selengkap mungkin terhadap pasien mengenai efek samping dan risiko yang mungkin terjadi, pemeriksaan menyeluruh, dan pemberian obat anestesi yang tidak melebihi dosis. (Disadur dari Berbagai Sumber)

REFERENSI:

Powered By Blogger