Sabtu, Oktober 30

Belajar Hidup dari kehidupan

Memaknai Kehidupan

Alkisah, ada orang bertanya kepada Rabi’ah.
“Selama ini kami melihat dirimu seperti manusia yang terasing dan terbuang. Dari manakah asalmu yang sesungguhnya, wahai Rabi’ah?”.
“Saya dari Negeri Akhirat”.
Dari Negeri Akhirat? Lantas hendak ke mana engaku pergi?”.
Saya hendak pergi ke Akhirat.
“Lalu apa yang engkau perbuat di dunia ini?”
“Karena saya berasal dari Akhirat, di sini saya hanya bermain-main. Itulah yang saya lakukan”.
“Maksudnya?”
“Saya makan roti di dunia, dan itu hanya permainan saya di dunia, tetapi saya beramal untuk Akhirat”.

Tidak ada orang yang meminta dan berencana untuk hidup, sebagai manusia. Karena, hidup menjadi seorang manusia adalah anugrah. Setelah kita menyadari dan mampu berpikir barulah kita bertanya-tanya tentang apa itu kehidupan dan apa manusia. Memikirkan dan berencana bagaimana akan kita jalani kehidupan ini, dan apa yang harus kita lakukan sebagai manusia? Pertanyaan tentang tujuan hidup baru kita pikirkan dan dirumus-rumuskan kemudian, bukan datang sebelum kita terlahir ke dunia ini. Kita bisa saja melepaskan diri dari pertanyaan kenapa kita hidup di dunia dan menjadi manusia, akan tetapi akan patal akibatnya bila tidak pernah memikirkan bagaimana kita seharusnya menjalani kehidupan. Hidup adalah kepastian (faktisitas, takdir) terjadi dengan begitu saja di luar kehendak kita, sementara bagaimana kita, sebagai orang manusia, menjalani kehidupan adalah sebuah kemungkinan dan pilihan, oleh karena itu perlu dipikirkan dan direncanakan.
Hidup sekedar ada dalam wujud manusia tidaklah cukup, kita harus memberinya makna terhadap kehidupannya dan ke-manusia-an kita. Ada tidaklah cukup, tapi juga harus pula hadir. Ada tanpa kehadiran adalah makna lain dari ungkapan: “wujuduhu ka adamihi” (adanya seperti tiadanya). Perbedaan mendasar dari ada dan hadir adalah kesadaran dan relasi. Ada tidak mensyaratkan kesadaran dan relasi, sedangkan kehadiran mensyarakatkan kesadaran dan relasi.
Para filosof mengatakan bahwa hanya manusialah yang menyadari dan mempertanyakan keberadaanya. Ada yang bertanya dan bertanyakan adalah kehadiran, dan bertanya adalah wujud paling asasi dari kesadaran. Bila ada kita bertanya tentang seorang teman akrab yang telah lama tidak dijumpainya, itu menandakan bahwa teman kita itu pada dasarnya selalu hadir dalam ingatan dan hati kita. Kita senantiasa membangun dan menjaga relasi dengan teman kita itu, walaupun ia tidak hadir secara fisikal di hadapan kita. Akan tetapi orang yang ada di hadapan kita yang tidak kita kenal; dan kita tidak memiliki kepentingan apa pun dengan orang itu, tidak pernah terlintas dalam pikiran kita untuk mempertanyakannya. Itu artinya ia ada namun tidak pernah hadir dalam kehidupan, pikiran dan perasaan kita. Tidak ada relasi antara kita dengan orang yang ada di hadapan kita tersebut. Adannya sama dengan tidak adanya. Kita tidak pernah membangun makna dan mendapatkan makna dari adanya orang itu. Kalaupun ada orang bertanya tentang orang itu, mungkin kita akan mengatakan, “Emangnya gua pikirin…!”

Teman akrab yang telah lama tidak kita jumpai menyimpan seribu makna dalam kehidupan kita. Makna yang dibangun bersama. Ada dan tidak ada pada akhirnya adalah sekedar ilusi, akan tetapi kehadiran adalah fakta yang membangun kehidupan kita. Seperti sekuntum bunga mawar yang diberikan sang kekasih, yang di depan bukanlah kuntum bunga, akan tetapi sosok kekasih yang memancah kasih dan cintanya. Kuntum bungan sekedar ilusi, kehadiran kekasih yang penuh cinta adalah fakta yang hadir di hadapan mata.
Peralihan kuntum bunga menjadi yang lain, yaitu kehadiran sang kekasih, dibangun oleh kehidupan yang telah dijalaninya bersama. Kehidupan yang sarat dengan makna. Pemberian makna terhadap kehidupan memang dilakukan dengan melakukan perenungan, dan memberi nilai terhadap kehidupan yang telah dan sedang kita jalani. Peristiwa masa lalu yang telah dilewati dalam kehidupan kita bila tidak dimaknai hanya akan hadir dalam ingatan kita sekedar sebagai sebuah peristiwa. Masa lalu ketika dijalani adalah sebuah kemungkinan dan pilihan, akan tetapi ketika ia telah lewat dan hadir dalam ingatan, ia menjadi kepastian yang tidak bisa dirubah. Masa lalu hanya bisa berubah dalam dan melalui pemaknaan. Memaknai masa lalu. Memaknai kehidupan menjadi penting pula untuk menentukan “penyikapan” terhadap kehidupan dan segala aspek yang berhubungan dengan kehidupan kita.
Pemaknaan terhadap kehidupan berhubungan dengan konsep dan kesadaran kita tentang tujuan hidup. Rumusan tentang tujuan hidup, sebenarnya tiada lain dari pemaknaan susulan yang dilakukan secara sadar dan terus menerus terhadap kehidupan yang telah, sedang dan yang akan dilaluinya. Pentingnya pertanyaan tentang tujuan hidup (di dunia) pada dasarnya tiada lain dalam proses pemaknaan terhadap hidup yang dijalaninya. Pembicaraan tentang tujuan dan untuk mencapainya, pada akhirnya harus pula didasarkan pada kesadaran akan asal. Seperti kalau seseorang akan pergi ke suatu tempat, maka arah dan jalan yang akan dilaluinya sangat tergantung dari mana ia berasal. Dengan demikian, kesulitan orang untuk merumuskan tujuan dan makna hidup adalah karena tidak semua orang secara pasti menyadari awal keberangkatannya.Ketidakjelasan penyadaran akan asal keberangkatan, kalaupun kemudian tujuan dan makna kehidupan seseorang dirumuskan, bukan tidak mungkin bila tidak ditemukan kesesuaian antara apa yang dipikirkannya sebagai tujuan dengan apa yang dilakukannya sebagai upaya untuk mewujudkan (menuju) tujuan kehidupannya itu. Bukan tidak mungkin pula bila hal yang utama akan disikapi sebagai hal sampingan, dan hal yang pada dasarnya sampingan disikapi sebagai hal utama dalam kehidupan. Hal sampingan yang oleh Rabi’ah disikapi sekedar prilaku main-main. Permainan dalam hidup memang sangat penting dalam kehidupan manusia, walaupun bukan yang utama dalam kerangka tujuan hidup.

Maka, wajarlah bila kerap kali orang ditanya tentang tujuannya hidup di dunia, jawabannya tidak jarang tidak sesuai dengan apa yang dilakukannya. Sering kita merumuskan tujuan secara ideal, akan tetapi apa yang kita lakukan sama sekali bersebrangan dengan apa yang kita idealkan. Dengan kata lain, ketika orang ditanya tentang tujuan hidup, ia akan mengatakan apa yang dipikirkannya, bukan apa yang dikerjakannya.
Banyak hal dalam kehidupan ini yang harus dimaknai, bahkan pada akhirnya apa pun yang kita “miliki”, alami (dirasakan, dan dipikirlan) haruslah dimaknai. Pemaknaan terhadap kehidupan tidak bisa terlepas dari fakta-fakta yang melingkunginya. Apakah fakta tersebut merupakan kenyataan yang sesuangguhnya maupun “fakta-fakta” yang diasumsikan. Disebut fakta yang disumsikan, karena asumsi-asumsi tersebut telah dianggap sebagai kebenaran atau apa yang disebut dengan akal sehat (common-sense).

Memaknai Fakta Dualisme Kehidupan

Secara radikal, kehidupan manusia senantiasa dihadapkan pada asumsi-asumsi yang bersifat dualistik. Sebagai contoh, asumsi bahwa manusia terdiri dari dua unsur jasmani dan ruhani (lahir, bathin), kiri-kanan, pikiran-perasaan, benar-salah, baik-benar dan lain sebagainya. Dualisme fakta kehidupan ia tidak jarang membuat manusia mengalami jalan buntu, atau secara radikal berada di satu posisi secara mengkutub. Padahal manusia merupakan realitas integral yang tidak bisa dilepaskan dari seluruh alam secara keseluruhan.

Setiap percabangan tentunya ada pusat atau inti persoalan yang bisa dijadikan pijakan dalam pemaknaan. Sebagai contoh, tangan kiri dan tangan kanan berpusat pada kenyataan bahwa baik tangan kiri atau pun tangan kanan adalah tangan, tangan kita yang merupakan bagian integral dari tubuh kita. Demikian juga dengan baik-jahat, keduanya adalah nilai dari apa yang kita lakukan atau seseorang lakukan. Baik dan jahat berpusat pada perbuatan atau aktivitas yang kita lakukan. Dan tidak ada perbuatan dilakukan oleh manusia dengan maksud untuk membuat dirinya menderita, merugi. Kecuali tentunya bila ia mengalami kelainan jiwa, sakit (?).

Demikian pula pemaknaan terhadap asumsi bahwa manusia terdiri dari jasmani dan ruhani. Intinya adalah baik jasmani maupun ruhani, keduanya merupakan bagian integral dari apa yang disebut dengan manusia. Kedua unsur tersebut adalah fakta dari manusia yang hidup di dunia. Tidak bisa secara gegabah menafikan menganggap kecil salah satu bagiannya, apalagi menganggapnya tidak ada. Demikian juga dengan asumsi adanya dunia dan akhirat. Terminologi dunia-akhirat pemaknaannya harus dilihat dalam konteks manusia. Yaitu, bahwa kedua kata tersebut menjadi bermakna hanya dan hanya jika dihubungkan dengan kehidupan manusia. Bila diposisikan secara berlainan sama sekali dan otonom dan tidak dihubungan dengan keberadaan manusia, dunia dan akhirat merupakan dua realiatas yang sama sekali tidak berhubungan sama sekali. Keduanya menjadi berhubungan dan bermakna karena adanya manusia.

Dalam konteks manusia, alam akhirat merupakan kelanjutan yang bersifat konsekwensional dari kehidupan manusia di dunia. Dengan kata lain, kehidupan manusia di dunia menjadi “penentu” kehidupan manusia di akhirat. Dengan kata lain, inti persoalan kehidupan akhirat adalah kehidupan manusia di muka bumi ini. Dengan menjadikan dunia sebagai pusat, tidaklah kita mengutamakan kehidupan kehidupan dunia dan mengecilkan bahkan menafikan kehidupan akhirat.
Kesadaran akan adanya hubungan antar kehidupan dunia-akhirat adalah kesadaran akan proses. Ketika kehidupan dunia-akhirat sebagai rangkaian proses harus berarti bahwa terdapat nilai yang serata antara keduanya. Akhir atau hasil hanya ada dan bermakna hanya bila ada awal. Demikian juga sebaliknya, awal hanya ada bila ada akhir. Dan keduanya adalah bagian integral dari proses. Kita tidak bisa berimajinasi tentang nilai dari akhir proses apabila kita tidak pernah memikirkan proses awal. Dengan kata lain, kita tidak pernah bisa berimajinasi tentang keselamatan kehidupan kita di akhirat apabila kita tidak pernah berusaha untuk selamat dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Kalau pun bisa, itu hanyalah sebuah mimpi di siang bolong.
Pemisahan secara dikotomis antara kehidupan dunia-akhirat sama anehnya dengan pemisahan secara dikotomis antara alam dan manusia. Demikian juga dengan pemisahan antara fakta manusia sebagai kenyataan individual dan sosial. Bila orang demikian peduli dengan keselamatan dirinya tanpa adanya kepedulian untuk menjaga keselamatan alam di sekitanya, apalagi baik secara aktif atau pun pasif melakukan kerusakan terhadap lingkungan hidupnya, sama saja dengan orang yang berjalan yang sedemikian memperhatikan kesehatan kaki dan keindahan langkahnya tanpa memperhatikan apa yang ia pijak. Cepat atau lambat pasti ia akan terjatuh, dan celaka. Kecelakaan karena ketidakpedulian terhadap apa yang ada disekitarnya, yang akan mengakibatkan hancurnya apa yang selama ini ia jaga dan pelihara, yaitu diri sendiri. Hal yang sama akan pula terjadi bila seseorang sedemikian peduli dengan lingkungan akan tetapi tidak pernah peduli dengan apa yang terjadi di dalam dirinya.

Dengan demikian, pemaknaan terhadap kehidupan hanya bisa dilakukan secara baik dan benar serta menyelamatkan apabila dalam proses pemaknaan tidak dilakukan secara parsial. Maka dapat dikatakan, bahwa yang disebut dengan manusia (secara eksistensial) bukan hanya apa yang kita sebut sebagai tubuh dan ruhani ini, sebagai kenyataan faktual, akan tetapi juga sebagai kesatuan dari keseluruhan yang berpusat pada manusia sebagai tubuh dan ruh.

Bila menggunakan ilustrasi permainan catur (atau pun permainan lainnya), kehidupan ini seperti permainan catur. Pemain catur harus demikian jeli memperhatikan seluruh bidak caturnya, baik bidaknya sendiri maupun lawannya serta posisi serta fungsi atau kedudukan masing-masing bidak tanpa menganggapnya sebagai tak bermakna (anonim). Bahkan lebih dari itu ia harus pula memperhatikan bak catur, kondisi lawan, waktu dan lain sebagainya. Kehidupan ini memang sebuah permainan tapi bukan untuk dipermainkan melainkan untuk dimainkan (dijalani). Dan untuk memainkannya (menjalankan) seluruh unsur dalam permainan tersebut harus dimaknai sehingga dapat difungsikan dan diposisikan sebagaimana mestinya. Setelah jelas makna, fungsi dan posisinya kita akan tahu apa sebenarnya tujuan dari permainan itu. Dan selanjutnya kita bisa secara dinamis menentukan strategi serta cara menjalani permainan itu.
Demikian pula dengan kehidupan. Pemahaman dan kesadaran kita akan makna, fungsi dan posisi kita di dunia ini akan mempermudah kita dalam menentukan strategi serta cara kita menjalani kehidupan. Bayangkan bila dalam sebuah permainan catur, pemain catur menafikan keberadaan sejumlah piont, maka langkahnya akan kacau bahkan mungkin salah. Bila demikian jangan harap akan mendapat kemenangan. Demikian juga dengan kehidupan, manusia harus melihat segala sesuatu sebagai satu kesatuan integral dengan dirinya, baik aspek internal maupun eksternal.

Kekuatan dan kelemahan Manusia => modal untuk “menjalani” kehidupan
Untuk menjatuhkan/melemahkan orang berikanlah apa yang yang disukainya (HHM).
“Orang bijak mengatakan bahwa kekuatan atau kelebihan manusia merupakan sumber dari kelemahannya, dan kelemahan atau kekurangan manusia adalah sumber kekuatannya”

Telah banyak bukti bahwa cacat atau kelemahan seseorang dalam satu aspek dalam tubuhnya secara unik akan mempertajam kepekaan dan kemampuan aspek lainnya. Sebagai contoh, yang memiliki kelemahan dalam alat indera penglihatan akan cenderung memiliki kepekaan pendengaran yang melebihi kemampuan orang lain.

Bila Tak Ada Lagi Bumi Tempat Berpijak

(Surat Terbuka Untuk Kawan)

Kawan….

Sejak kecil, paling tidak sejak aku menyadari sulitnya menjalani kehidupan, sering mendengar bahwa untuk menjalani kehidupan tidaklah mudah. Seorang teman pernah bilang pada orang tuanya dalam salah satu suratnya, bahwa untuk mati pun orang harus bayar. Apa lagi untuk hidup layak. Atau bahkah untuk sekedar bisa hidup sendiri tanpa gangguan. Kalau perlu kita harus menjual atau menggadaikan apa yang kita miliki, bahkan bila perlu milik kita yang paling berharga. Harga diri.

Terlebih lagi bila ada keinginan untuk hidup di antara orang-orang, yang tentunya memiliki kepentingan dan cara pandang yang berbeda. Termasuk kepentingan dan cara mereka memandang diri kita.

Betapa sulit untuk mengukur dan mengira-ngira apa yang harus kita lakukan, melakukan apa yang berkenan dalam rasa mereka. Jangankan melakukan kejahatan atau kecurangan, melakukan apa yang kita anggap baik pun, tidak jarang kita dituduh melakukan kejahatan. Bahkan tidak melakukan apa pun tidak jarang menjadi bahan gunjingna yang tidak enak untuk didengar. Tidak jarang di antara mereka yang berlaku demikian itu adalah orang yang disebut sebagai orang baik-baik atau yang merasa dirinya baik, tidak pernah melakukan kecurangan. Tak ada ma’af bagi kita.Apa pun yang kita katakan, sikap apa pun yang kita tunjukkan, bahkan permintaan ma’af layaknya seorang ‘abid pada tuannya atau seorang rakyat jelata pada seorang Maha Raja, belum tentu permohonan ma’af kita didengarnya.

Saya bersyukur bahwa Tuhan tidak pernah berwujud manusia. Yang ada hanyalah manusia-manusia yang menjadi tuhan: Tuhan Yang Maha Tidak Pema’af dan hanya ingin dima’afkan, Yang Maha Tidak Penyayang dan hanya ingin disayangi, Tuhan Yang Maha Tidak Mau Tahu dan hanya ingin diketahui. Ada satu sifat yang sama antara Manusia Tuhan dengan Tuhan yang ada di garis penantian, yaitu keduanya mengaku dirinya sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa pemiliki Alam Raya dan Penentu Nasib Manusia. Entah, seingatku Tuhan yang ada di sana kadang masih memberi kesempatan pada kita untuk berencana dan berusaha. Bila kita berbuat salah masih ada ma’af tanpa batas.

Namun kawan, biarlah. Sementara manusia-tuhan itu mengasihani dirinya sendiri, bukankah masih ada matahari yang kalau pun kadang kita mengutuk terik panasnya, ia tidak pernah surut untuk memafkan dan tetap memberikan cahayanya tatkala manusia terbangun dari peraduannya.

Tuhan yang ada jauh dalam lubuk hati kita memberi kita sepasang kaki supaya bisa berpijak di atas bumi ini. Dihamparkannya bumi supaya manusia mudah berjalan di atasnya. Sementara, manusia-uhan tidak pernah segan untuk mematahkan kedua kaki manusia, bahkan kalau perlu direngutnya bumi tepat kita berpijak.

Kawan, beberapa tahun yang lalu, kita gali lubang-lubang kecil untuk menyusun batu-batu kecil, bagi pondasi bumi tempat kita berpijak. Dengan peluh dan air mata, kita tegakkan dingding, kita rapatkan atap, dengan harapan kita bisa berteduh, sekedar untuk melupakan tapak masa lalu yang kelam. Tak terlalu besar, tapi cukup untuk sekedar membentang sayap, menarik garis antar ujung dunia. Menyalakan lilin kecil, pelita untuk menerangi lorong hati kita yang gelap.

Namun, kini, tempat kita bercengkrama, merajut benang kasih sayang Tuhan diantara kita, tinggal puing berserakan. Tangan-tangan raksasa manusia-tuhan telah merengutnya dari sudut-sudut nurani kita. Kini kita terdampar di jangkauan masa lalu yang kelam dan pantai masa depan yang tidak pasti.

Namun, kawan! Bukankah kita pernah belajar dan menempa diri, walau sesat. Dan, walau tak begitu kuat, bukankah masih ada benang-benang kasih Ilahi yang kita rajut, yang menghubungkan sudut-sudut nurani kita. Kita gali kembali lubang, kita telusuri gua, di bawah atap harapan dan keyakinan. Kita bangun dunia kita, di batas penantian, di luar jangkauan kuku berdarah manusia-tuhan.

Kita relakan masa lalu kita, asal jangan kita gadaikan dan jual milik kita yang paling berharga, yaitu keyakinan kita.

Agama Untuk Membangun Kedewasaan Berfikir dan bertindak

Masih ingatkah kita kaidah fiqh yang menyatakan : al ieetsar fi al dunya mustahab wa al ieetsar fi al ibadah makruhah?
"mendahulukan orang lain dalam hal duniawi itu hukumnya sunnah dan mendahulukan orang lain dalam hal ibadah itu hukumnya dibenci"

Masih ingat pulakah kita cerita Sayidina Umar yang ingin memberi minum sekelompok pasukan perang yang kehausan, tapi akhirnya semua meninggal dalam kesyahidan karena semua berebut mendahulukan yang lainnya?

Sesungguhnya cerita ini tidak sekedar memotivasi kita untuk zuhud (tidak cinta dunia) tetapi lebih dari itu agar kita lebih berfikir dewasa dan rasional. Kita sering menyatakan bahwa perilaku anak adalah perilaku kekanak-kanakan. Maka coba kita bandingkan perilaku orang dewasa saat mereka tidak mampu melakukan anjuran agama untuk mendahulukan orang lain dalam hal dunia.

anak-anak berebut premen dan mainan.
remaja berebut pacar dan keren-keren(an)
mahasiswa berebut sok intelek dan peduli
tukang parkir berebut lahan parkir
pejabat berebut jabatan.
mudin berebut berkat
penghulu berebut salam tempel
ustadz (gadungan) berebut gula.
kyai (gadungan) berebut pengaruh.
pedagang berebut pembeli.
dll

tak jarang saat anak-anak berebut premen, salah satu diantara mereka menangis karena merasa terdzalimi. dan tak beda dengan mereka, saat orang dewasa berperilaku kekanak-kanakan, hanya untuk uang parkir seribu rupiah tak jarang mereka bahkan saling membunuh.

Adakah beda perebutan yang dilakukan pejabat, bawahan, mudin, penghulu, ustadz, kyai, mahasiswa dengan yang dilakukan anak-anak? tentulah tidak ada, hanya beda cara saja... tetapi hakikatnya mereka berebut kesia-siaan belaka. dunia yang menipu.

kaidah fiqh diatas sebenarnya mengajarkan kita untuk dewasa berfikir dan bertindak..

Wassalaam..

Jumat, Oktober 29

Celotehan Rakyat

bapak ibu yang terhormat
dengarkan suara rakyat
jangan tutup mata erat
kami ingin dilihat

bapak ibu yang kuasa
dengarkan suara kita
jangan kau tutp telinga
kami ingin diterima

yang kami butuhkan adalah realisasi
bukan manipulasi atau malah korupsi
dari para pejabat yang ga hargai hak asasi
gedung dpr jadi tempat rekreasi
padahal rakyat kini susah mencari sesuap nasi
Basi!semua janjimu busuk seperti bau terasi
kau hancurkan indonesia dari sgala sisi
orang susah kerja kalian malah kolusi
sanak saudara semua ada di instansi
sedang kami dipusingkan urusan administrasi
ini bukan khotbah ceramah hanya puisi
dari rakyat yang perutnya kosong tak ada isi
sungguh kami tak peduli dengan intrik para politisi
yang ada di kepala hanya makan apa besok nanti
tapi rasanya semua hanya akan menjadi ilusi
hukuman berat untuk mereka cuma imajinasi


dan kini kita pun susah definisikan arti kebenaran
keadilan dengan mudahnya diperjualbelikan
seperti komoditi murahan di pasar tumpah jalanan
dengan sejumlah uang bisa lepas dari sgala hukuman
makelar kasus, seperti cacing dalam usus
yang harus dibasmi dihancurkan dan diberangus
bukanyya dalam hati ini tak ada rasa optimis
tapi sepertinya pantas saja akalu kami pesimis
para pejuang keadilan malah di berantas habis
koruptor merajalela moralpun terkikis
cicak lawan buaya, pemenangnya pasti yang kaya
yang tak punya kuasa cuma bisa cengo tanpa daya
oh mungkin ini sudah nasib jadi rakyat kecil
meski jumlah banyak suara kami cuma secuil
tak pernah didengarkan cuma jadi rakyat sipil yang lemah
walau pita suara ini putus kami cuma bisa pasrah


kau bisa bunuh ku di trotoar atau diudara
hanya karena aku berkoar dan bersuara
tapi itu takkan berarti meski sementara
walau kau kerahkan polisi ataupun tentara
aku takkan mundur walaupun satu langkah
meski ragaku mati membusuk tak bernyawa
tapi kata kata kan bertahan untuk selamanaya
takkan pernah ebrakhir immortal di atas dunia
terngiang di telinga tertulis di surat kabar
kalau satu martir mati demi kepentingan bangsa yang besar
satu hal yang harus kalian ingat di dalam hati
suatu saat nanti kalian pun akan mati
satu dosa meski seberat debu tak akan lewat
di pengadilan Tuhan kau tak bisa menyuap, terkena laknat
sama sepertii penjahat, anak buah iblis
di neraka kau akan disiksa sampai kau habis, mampus!

Rabu, Oktober 20

Si Kaya dan Si Miskin Memiliki Peluang Sama Untuk Masuk Surga


kaya dermawanDikisahkan, di suatu negeri pernah hidup orang yang kaya dan taat beribadah. Mesti kaya, orang ini tidak sombong dan membanggakan kekayaannya. Ia sangat rajin membangun rumah ibadah, menyantuni anak yatim, membantu kerabat, tetangga, orang miskin, dan kegiatan sosial lainnya. Saat musim paceklik tiba, ia selalu membagi-bagikan kebutuhan pangan kepada orang yang membutuhkan. Salah seorang yang sering ia bantu ialah seorang tetangga miskin.

Saat orang kaya ini meningal dunia, ini masuk surga. Tanpa terduga, ia bertemu dengan tetangga miskin yang selalu disantuninya saat di dunia. Dengan rasa heran, orang kaya ini berkata, ”Sungguh tak menduga bisa bertemu anda di surga ini”, Orang miskin menjawab, ”Kenapa tidak, bukannya Alloh memberi surga kepada siapa saja yang dikehendakinya. Alloh maha pengasih kepada semua hamba-Nya tanpa pandang kaya atau miskin”. Si kaya balik bertanya, “Amalan apakah yang bisa memasukkan anda ke surga?”, Si miskin menjawab, “Saya mendapat pahala menyantuni anak yatim, kaum kerabat, tetangga, dan kegiatan sosial lainnya sama seperti yang anda dapatkan”.

Orang kaya bertanya sambil heran, “Bagaimana mungkin anda mendapatkan pahala seperti yang saya dapatkan, bukannya kamu orang miskin?. Si miskin menjawab lagi, “Memang benar saya orang miskin, namun saat di dunia saya sering berdoa, Seandainya saya diberi kekayaan sama seperti engkau, saya berniat membantu orang miskin, anak yatim, kaum kerabat dan kegiatan sosial lainya. Namun, saya ditakdirkan menjadi orang miskin, dan saya iklas dan sabar menerimanya”.

Kisah di atas kelihatan seperti rekayasa dan sulit dibuktikan karena menyangkut hal gaib, siapa yang pernah dan kembali dari surga. Namun saat ditelusuri merujuk hadits nabi, kisah di atas mengandung kebenaran. Ada dua golongan manusia terkait dengan kepemilikan atas harta dan cara menggunakannya yakni:

#Golongan Pertama, Orang yang diberikan ilmu agama dan harta melimpah. Ia bertaqwa kepada Alloh melalui ilmu dan harta. Orang ini mendapat tempat utama di sisi Alloh
#Golongan Kedua, Orang yang diberikan ilmu agama tetapi miskin. Dia berniat dengan jujur, andai diberi kekayaan, ia akan berbuat sama seperti orang kaya. Orang ini dengan niat saja, di sisi alloh mendapat pahala yang sama.

Pelajaran yang bisa kita ambil, saat diberi nikmat kaya oleh Alloh, hendaklah menjadi orang dermawan dan tidak sombong. Lengkapi diri dengan ilmu dan pemahaman agama dengan baik. Gunakan harta sebaik-baiknya sehingga memberikan manfaat dan berkah untuk banyak orang. Tumbuhkan kesadaran, bahwa sesungguhnya harta akan ditanya Alloh dari dua sisi. Dari mana memperolehnya dan kemana saja harta itu digunakan. Niscaya, akan mendapat kedudukan tertinggi dari Alloh SWT.

Sebaliknya, jika kita ditakdirkan menjadi orang miskin, tetap juga harus berusaha memiliki ilmu agama dengan baik sampai akhir hayat. Niatkan dengan jujur dan bulat untuk menjadi orang yang dermawan kepada orang yang membutuhkan. Niscaya, Alloh tidak akan menyia-nyiakan niat baik ini. Dan akan mendapat kedudukan tinggi di hadapan Alloh.

Pelajaran Penting Tentang Hidup…


hidup duniaMari kita men-tadabur-i QS Ali Imran 185:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakanpahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan

Ada 4 nilai penting yang bisa kita pahami dan amalkan dari ayat di atas, dalam lingkup kehidupan individu, rumah tangga, bahkan bangsa dan negara. Nilai itu adalah sebagai berikut:

#1. Setiap Diri Manusia Pasti Merasakan Mati

Ayat diatas menyatakan, ‘tiap jiwa akan merasakan mati’. Maksud dari redaksi ini bukanlah sekedar pemberitahuan tentang kematian. Karena kalau hanya pemberitahuan, semua orang sudah mengetahuinya, termasuk orang kafir. Penekanan dari ayat itu adalah apa konsekuensi kita untuk menghadapi kematian, yakni haruslah berusaha mati dengan cara terbaik.

Nabi Musa dan Firaun telah merasakan kematian. Dan kita menginginkan kematian seperti halnya nabi Musa, bukan Firaun. Tidak sedikit manusia saat ini matinya mirip Firaun. Dia baru mengenal Alloh dan taubat saat ajal sudah menjemput, dan tiada berarti di sisi Alloh.

Nabi Muhamad dan abu Jahal pun telah mengalami kematian. Dan kita menginginkan kematian seperti nabi Muhammad. Seluruh kehidupannya diisi dengan ibadah, dakwah, dan jihad, bukan seperti Abu jahal yang hanya mengejar kekuasaan. Abu bakar, Ustman dan Qorun sama-sama diberi karunia harta melimpah. Dan kita menginginkan kematian bukan seperti Qorun. Dia dan kekayaannya mati ditenggelamkan ke bumi.

#2. Sesungguhnya Balasan sempurna tempatnya di hari Qiamat

Balasan yang sempurna, adil dan mutlaq hanya ada di hari qiamat. Aksioma ini sudah cukup jelas dan tidak perlu dipikir panjang. Alloh menyatakan dalam QS al-Fatihah sebagai “Maaliki Yaumiddin” (Raja Hari Pembalasan / Akhirat), bukan raja Dunia. Di dunia ada juga balasan, namun balasannya belum utuh, karena dunia bukanlah negeri balasan. Statusnya hanyalah negeri ujian.

Adakalanya kita bertanya, kenapa orang yang rajin sholat hidupnya miskin, sementara yang jarang sholat hidupnya kaya?. Pertanyaan ini muncul karena kita masih salah persepsi tentang pahala. Seolah-olah pahala di bayar cash dan utuh di dunia. Padahal, sebenarnya pahala yang hakiki hanyalah di akhirat kelak.

#3. Kesuksesan Hakiki Pasti Benar Ukurannya Kalau Sudah Masuk Surga

Dalam ayat di atas, Alloh mengunakan “kata lampau” untuk menyatakan bahwa sukses yang hakiki adalah kalau masuk surga. Padahal kejadian masuk surga belum terjadi (Masa Depan). Ini bermakna sebuah KEPASTIAN yang tidak perlu diragukan lagi kebenarannya. Umumnya, manusia menganggap kesuksesan diukur dengan kekuasaan dan kekayaan semata. Itu semua salah, dunia dan amal sholeh haruslah dibuat sebagai sarana membangun kehidupan akhirat.

Selanjutnya, Alloh menggunakan istilah “juhjiha”, untuk menyatakan “dijauhkan dari neraka”, bukan kata ‘ba’id’ yang umumnya dipakai untuk menyatakan kata ‘jauh’. Ini mengindikasikan, daya tarik neraka sangatlah dahsyat dan luar biasa. Butuh kekuatan lebih untuk menyelamatkan diri dan keluarga dari api neraka.

#4. Kehidupan Dunia Adalah Kesenangan yang Menipu

Ayat diatas di awali dengan kematian dan ditutup dengan kehidupan dunia. Ini memberikan pilihan, apakah kita mau memilih kebahagiaan yang sesungguhnya atau yang menipu. Kehidupan dunia atau akhirat. Alloh menggunakan kata Mata’ untuk mendeskripsikan kehidupan dunia. Yakni, sesuatu yang disenangi manusia, tetapi akan hilang sedikit demi sedikit.

Pelajaran Penting dari Pembukaan Surat ABASA (Bermuka Masam)


abasa2Salah satu surat dalam al-Quran adalah ABASA, artinya bermuka masam. Ayat pembukaannya adalah sebagai berikut:

1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, 2. karena telah datang seorang buta kepadanya. 3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). 4. atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?…

Kata ABASA, yang berarti BERMUKA MASAM, menjadi nama dari keseluruhan surat ini. Dalam ilmu al-Quran, nama surat adalah sesuatu yang ditentukan langsungoleh Alloh, bukan hasil ijtihad nabi ataupun sahabat. Sehingga, kita bisa memperkirakan, pasti ada pelajaran penting yang bisa kita ambil dari istilah atau peristiwa yang terkait dengan ABASA (Bermuka Masam) itu. Dan karena surat ABASA termasuk Makiyyah, maka pelajaran yang kita ambil lebih terkait dengan pengembangan persepsi / mindset (aqidah) dan berperilaku dalam keseharian (Akhlaq).

Salah satu pelajaran itu adalah sebagai berikut:

1. Hakikat Timbangan / Tolak ukur / Paradigma / Barometer yang Mutlak

Sebab turunnya ayat di atas, saat rosul sedang menyampaikan islam di hadapan pimpinan elit kaum qurisy, tiba-tiba datanglah seorang buta, dan bertanya, “Ya rosul, ajari aku dari sebagian yang engkau telah diajari Alloh!”. Nabi tidak menjawab karena beliau sedang sibuk menghadapi kaum elit quraisy. Nabi bermuka masam dan berpaling dari orang buta itu. Dan karenanya, nabi ditegur Alloh SWT.

Berdasarkan keterangan di atas, kita bisa mengambil pelajaran bahwatimbangan / tolak ukur / paradigma / Barometer yang hakikat, datangnya dari Alloh SWT, bukan hasil ijtihad manusia, atau nabi sekalipun. Hal ini sangatlah penting terutama dalam menentukan sikap / prioritas yang perlu kita ambil.

Berdasarkan ukuran logika biasa, sikap nabi yang memprioritaskan kaum elit Quraisy dibandingkan orang buta sangatlah dimaklumi. Karena jika kaum elit tersebut berhasil masuk Islam, maka akan berdampak signifikan untuk kesuksesan dakwah di masa depan. Ternyata, Alloh berkata lain. Alloh menegur nabi agar lebih memperhatikan orang buta yang memiliki totalitas hidup buat agama dibanding kaum elit tersebut. Kenapa?, karena yang menjadi barometer Alloh bukanlah strata sosial, namun kualitas komitmen diri terhadap dakwah.

Sebagai manusia kita diberikan karunia berupa akal yang bisa digunakan untuk ijtihad. Namun, jika berhadapan dengan wahyu ilahi, maka akal itu harus tunduk kepadanya. Artinya, tidak ada ijtihad ditempat yang sudah ada dalil (nash)-nya.

#2. Urgensi Teguran dalam Pendidikan

Pelajaran kedua yang bisa kita ambil pelajaran adalah, teguran merupakan sarana pembinaan untuk menjadi lebih baik. Selain ayat diatas, dalam ayat lain Alloh SWT menegur Nabi Muhammad untuk beberapa perkara. Alloh menegur nabi, saat beliau tidak akan makan madu demi menyenangkan istrinya (QS Attahrim) dan Alloh menegur nabi saat beliau mengizinkan orang munafiq tidak ikut perang (QS Attaubah).

Secara logika, manusia terbaik saja ditegur Alloh dan disampaikan ke seluruh dunia sepanjang masa, apalagi kita. Jadi, akan menjadi masalah, jika kita tidak memiliki kesiapan menerima teguran apalagi teguran yang datangnya dari Alloh SWT dan Nabi.

#3. Menegur Bukan Untuk Mengadili

Teguran yang disampaikan Alloh dalam ayat diatas sangatlah tegas, namun disampaikan dengan indah dan penuh kelembutan. Tidak bersifat mengadili dan mempermalukan. Di awal ayat, Alloh menggunakan orang ketiga untuk menyatakan bermuka masam, “Dia (Muhammad) bermuka masam”, bukan menggunakan kata KAMU. Baru di ayat ketiga Alloh menggunakan kata KAMU(Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya). Begitupula saat Alloh menegur dalam ayat lain, DIA menggunakan kalimat WAHAI Nabi, bukan kalimat langsung, KAMU.

Pelajaran yang bisa kita ambil, saat menegur orang, awalilah dengan panggilan yang baik, agar orang yang ditegur mau menerima teguran kita

Sehyum kalau ketemu orang teh lain tanggah liat org ku idung....

ADA RINDU DAN TETESAN AIR MATA

{mungkin kisah ini sudah pernah teman2 dengar di kajian2 ataupun membacanya di buku sejarah islam ataupun media lainnya. beikut dari tulisan ini saya ingin mengulangi kembali kisah bilal ini yang membuat saya menangis dan rindu }

************

Suatu malam, jauh sepeninggal Rasulullah, Bilal bin Rabbah, salah seorang sahabat utama, bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya itu, Bilal bertemu dengan Rasulullah.

"Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali kepadamu," demikian Rasulullah berkata dalam mimpi Bilal. "Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum aroma tubuhmu," kata Bilal masih dalam mimpin-ya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu saja. Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang gulana. Ia dirundung rindu. Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat lainnya. Seperti udara, kisah mimpi Bilal segera memenuhi ruangan kosong di hampir seluruh penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.

Hari itu, Madinah benar-benar terbungkus rasa haru. Kenangan semasa Rasulullah masih bersama mereka kembali hadir, seakan baru kemarin saja Rasulullah tiada. Satu persatu dari mereka sibuk sendiri dengan kenangannya bersama manusia mulia itu. Dan Bilal sama seperti mereka, diharu biru oleh kenangan dengan nabi tercinta.

Menjelang senja, penduduk Madinah seolah bersepakat meminta Bilal mengumandangkan adzan Maghrib jika tiba waktunya. Padahal Bilal sudah cukup lama tidak menjadi muadzin sejak Rasulullah tiada. Seolah, penduduk Madinah ingin menggenapkan kenangannya hari itu dengan mendengar adzan yang dikumandangkan Bilal. Akhirnya, setelah diminta dengan sedikit memaksa, Bilal pun menerima dan bersedia menjadi muadzin kali itu. Senjapun datang mengantar malam, dan Bilal mengumandangkan adzan. Tatkala, suara Bilal terdengar, seketika, Madinah seolah tercekat oleh berjuta memori. Tak terasa hampir semua penduduk Madinah meneteskan air mata. "Marhaban ya Rasulullah," bisik salah seorang dari mereka.

Sebenarnya, ada sebuah kisah yang membuat Bilal menolak untuk mengumandangkan adzan setelah Rasulullah wafat. Waktu itu, beber-apa saat setelah malaikat maut menjemput kekasih Allah, Muhammad, Bilal mengumandangkan adzan. Jenazah Rasulullah, belum dimakam-kan. Satu persatu kalimat adzan dikumandangkan sampai pada kalimat, "Asyhadu anna Muhammadarrasulullah." Tangis penduduk Madinah yang mengantar jenazah Rasulullah pecah. Seperti suara guntur yang hendak membelah langit Madinah. Kemudian setelah, Rasulullah telah dimakamkan, Abu Bakar meminta Bilal untuk adzan. "Adzanlah wahai Bilal," perintah Abu Bakar. Dan Bilal menjawab perintah itu, "Jika engkau dulu membe-baskan demi kepentinganmu, maka aku akan mengumandangkan adzan. Tapi jika demi Allah kau dulu membebaskan aku, maka biarkan aku menentukan pilihanku." "Hanya demi Allah aku membebaskanmu Bilal," kata Abu Bakar. "Maka biarkan aku memilih pilihanku," pinta Bilal. "Sungguh, aku tak ingin adzan untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah," lanjut Bilal. "Kalau demikian, terserah apa maumu," jawab Abu Bakar.

***
Di atas, adalah sepenggal kisah tentang Bilal bin Rabah, salah seorang sahabat dekat Rasulullah. Seperti yang kita tahu, Bilal adalah seorang keturunan Afrika, Habasyah tepatnya. Kini Habasyah biasa kita sebut dengan Ethiopia.

Seperti penampilan orang Afrika pada umumnya, hitam, tinggi dan besar, begitulah Bilal. Pada mulanya, ia adalah budak seorang bangsawan Makkah, Umayyah bin Khalaf. Meski Bilal adalah lelaki dengan kulit hitam pekat, namun hatinya, insya Allah bak kapas yang tak bernoda. Itulah sebabnya, ia sangat mudah menerima hidayah saat Rasulullah berdakwah.

Meski ia sangat mudah menerima hidayah, ternyata ia menjadi salah seorang dari sekian banyak sahabat Rasulullah yang berjuang mempertahankan hidayahnya. Antara hidup dan mati, begitu kira-kira gambaran perjuangan Bilal bin Rabab.

Keislamannya, suatu hari diketahui oleh sang majikan. Sebagai ganjarannya, Bilal di siksa dengan berbagai cara. Sampai datang padanya Abu Bakar yang membebaskannya dengan sejumlah Wang tebusan.

Bisa dikata, di antara para sahabat, Bilal bin Rabah termasuk orang yang pilih tanding dalam mempertahankan agamanya. Zurr bin Hubaisy, suatu ketika berkata, orang yang pertama kali menampak-kan keislamannya adalah Rasulullah. Kemudian setelah beliau, ada Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan keluarganya, Shuhaib, Bilal dan Miqdad.

Selain Allah tentunya, Rasulullah dilindungi oleh paman beliau. Dan Abu Bakar dilindungi pula oleh sukunya. Dalam posisi sosial, orang paling lemah saat itu adalah Bilal. Ia seorang perantauan, budak belian pula, tak ada yang membela. Bilal, hidup sebatang kara. Tapi itu tidak membuatnya merasa lemah atau tak berdaya. Bilal telah mengangkat Allah sebagai penolong dan walin-ya, itu lebih cukup dari segalanya.

Derita yang ditanggung Bilal bukan alang kepalang. Umayyah bin Khalaf, sang majikan, tak berhenti hanya dengan menyiksa Bilal saja. Setelah puas hatinya menyiksa Bilal, Umayyah pun menyerahkan Bilal pada pemuda-pemuda kafir berandalan. Diarak berkeliling kota dengan berbagai siksaan sepanjang jalan. Tapi dengan tegarnya, Bilal mengucap, "Ahad, ahad," puluhan kali dari bibirnya yang mengeluarkan darah.

Bilal bin Rabah, meski dalam strata sosial posisinya sangat lemah, tapi tidak di mata Allah. Ada satu riwayat yang membukti-kan betapa Allah memberikan kedudukan yang mulai di sisi-Nya.

Suatu hari Rasulullah memanggil Bilal untuk menghadap. Rasulullah ingin mengetahui langsung, amal kebajikan apa yang menja-dikan Bilal mendahului berjalan masuk surga ketimbang Rasulullah. "Wahai Bilal, aku mendengar gemerisik langkahmu di depanku di dalam surga. Setiap malam aku mendengar gemerisikmu. " Dengan wajah tersipu tapi tak bisa menyembunyikan raut bahagianya, Bilal menjawab pertanyaan Rasulullah. "Ya Rasulullah, setiap kali aku berhadats, aku langsung berwudhu dan shalat sunnah dua rakaat."
"Ya, dengan itu kamu mendahului aku," kata Rasulullah membenarkan. Subhanallah, demikian tinggi derajat Bilal bin Rabah di sisi Allah. Meski demikian, hal itu tak menjadikan Bilal tinggi hati dan merasa lebih suci ketimbang yang lain. Dalam lubuk hati kecilnya, Bilal masih menganggap, bahwa ia adalah budak belian dari Habasya, Ethiopia. Tak kurang dan tak lebih.

Bilal bin Rabah, terakhir melaksanakan tugasnya sebagai muadzin saat Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah. Saat itu, Bilal sudah bermukim di Syiria dan Umar mengunjunginya. Saat itu, waktu shalat telah tiba dan Umar meminta Bilal untuk mengumandangkan adzan sebagai tanda panggilan shalat. Bilal pun naik ke atas menara dan bergemalah suaranya. Semua sahabat Rasulullah, yang ada di sana menangis tak terkecuali. Dan di antara mereka, tangis yang paling kencang dan keras adalah tangis Umar bin Khattab. Dan itu, menjadi adzan terakhir yang dikumandangan Bilal, hatinya tak kuasa menahan kenangan manis bersama manusia tercinta, nabi akhir zaman.

"Ya Allah, selamatkanlah umat Islam yg sedang sengsara di Lubnan, Palestina, Afghanistan, Iraq, Chechnya serta diseluruh pelosok dunia akibat dari angkara mungkar dan kekejaman musuh-musuh Mu. Peliharakanlah mereka, lindungilah mereka, kasihanilah mereka dan berikanlah rahmatMu ke atas mereka.

Amin, ya Rabbal A'lamin.
"

Ibarat Mengukir di atas Batu


بسم الله الرحمن الرحيم

Usia kanak-kanak adalah masa keemasan dalam kehidupan seseorang. Segala yang dipelajari dan dialami pada masa ini –dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala– akan membekas kelak di masa dewasa.

Tak heran bila di kalangan pendahulu kita yang shalih banyak kita dapati tokoh-tokoh besar yang kokoh ilmunya, bahkan dalam usia mereka yang masih relatif muda. Dari kalangan sahabat, ada ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum, dan banyak lagi. Kalangan setelah mereka, ada Sufyan Ats-Tsauri, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan Al-Imam An-Nawawi rahimahumullah.

Begitulah memang. Dari sejarah kehidupan mereka kita bisa melihat, mereka telah sibuk dengan ilmu dan adab semenjak usia kanak-kanak. Jadilah –dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala– apa yang mereka pelajari tertanam dalam diri dan memberikan pengaruh terhadap pribadi.
Demikian yang diungkapkan oleh ‘Alqamah rahimahullahu:

مَا حَفِظْتُ وَأَنَا شَابٌّ فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ فِي قِرْطَاسٍ أَوْ وَرَقَةٍ

Segala sesuatu yang kuhafal ketika aku masih belia, maka sekarang seakan-akan aku melihatnya di atas kertas atau lembaran catatan.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/304)

Bahkan ayah ibu mereka berperan dalam mengarahkan dan membiasakan anak-anak untuk menyibukkan diri dengan ilmu agama sejak dini dan menghasung mereka untuk mempelajari adab.

Muhammad bin Sirin rahimahullahu mengatakan:

كَانُوا يَقُوْلُوْنَ: أَكْرِمْ وَلَدَكَ وَأَحْسِنْ أَدَبَهُ

“(Para pendahulu kita) mengatakan: ‘Muliakanlah anakmu dan perbaikilah adabnya!’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/308)

Senada dengan ini, Ibnul Anbari rahimahullahu mengatakan pula:

مَنْ أَدَّبَ ابْنَهُ صَغِيْرًا قَرَّتْ عَيْنُهُ كَبِيْرًا

“Barangsiapa mengajari anaknya adab semasa kecil, maka akan menyejukkan pandangannya ketika si anak telah dewasa.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/306)

Dari kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu contohnya. Beliau selalu menyertakan putranya, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara orang-orang yang duduk di sana adalah orang-orang dewasa. Bahkan betapa inginnya ‘Umar agar putranya menjadi seorang yang terkemuka di antara para sahabat yang hadir di situ dari sisi ilmu. ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menceritakan:

كُنَّا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: أَخْبِرْنِي بِشَجَرَةٍ تُشْبِهُ أَوْ كَالرَّجُلِ الْمُسْلِمِ لاَ يَتَحَاتُّ وَرَقُهَا وَلاَ وَلاَ وَلاَ، تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ. قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ وَرَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ لاَ يَتَكَلَّمَانِ، فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ. فَلَمَّا لَمْ يَقُوْلُوْا شَيْئًا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: هِيَ النَّخْلَةُ. فَلَمَّا قُمْنَا قُلْتُ لِعُمَرَ: يَا أَبَتَاه، وَاللهِ لَقَدْ كَانَ وَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ. فَقَالَ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تَكَلَّمَ؟ قَالَ: لَمْ أَرَكُمْ تَكَلَّمُوْنَ فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ أَوْ أَقُوْلَ شَيْئًا. قَالَ عُمَرَ: لَأَنْ تَكُوْنَ قُلْتَهَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا.

“Dulu kami pernah duduk di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bertanya pada kami, ‘Beritahukan kepadaku tentang sebatang pohon yang menyerupai atau seperti seorang muslim, tidak pernah gugur daunnya, tidak demikian dan demikian, selalu berbuah sepanjang waktu.’ Waktu itu terbetik dalam benakku bahwa pohon itu adalah pohon kurma, tapi kulihat Abu Bakr dan ‘Umar tidak menjawab apa pun sehingga aku pun merasa segan untuk menjawabnya. Tatkala para sahabat tidak juga mengatakan apa pun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu pohon kurma.” Ketika kami bubar, kukatakan kepada (ayahku) ‘Umar, “Wahai Ayah, sebetulnya tadi terlintas di benakku bahwa itu pohon kurma.”“Lalu apa yang membuatmu tidak menjawab?” tanya ayahku. “Aku melihat anda semua tidak berbicara, hingga aku merasa segan pula untuk menjawab atau mengatakan sesuatu,” jawab Ibnu ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Sungguh, kalau tadi engkau menjawab, itu lebih kusukai daripada aku memiliki ini dan itu!” (HR. Al-Bukhari no. 4698)

Lihat pula Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha yang menghasung putranya, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu untuk selalu melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di usia kanak-kanaknya. Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha mengantarkan anaknya memperoleh faedah besar berupa ilmu dan pendidikan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malikradhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah ketika aku berumur delapan tahun. Maka ibuku pun menggandengku dan membawaku menghadap beliau. Ibuku mengatakan pada beliau, “Wahai Rasulullah, tak seorang pun yang tersisa dari kalangan orang-orang Anshar, baik laki-laki maupun perempuan, kecuali telah memberikan sesuatu padamu. Sementara aku tidak mampu memberikan apa-apa kepadamu, kecuali putraku ini. Ambillah agar dia bisa membantu melayani keperluanmu.” Maka aku pun melayani beliau selama sepuluh tahun. Tak pernah beliau memukulku, tak pernah mencelaku maupun bermuka masam kepadaku.” (Siyar A’lamin Nubala’, 3/398)

Begitu pula ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sepupu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baru belasan tahun umurnya ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sementara sebelum itu dia banyak mengambil faedah ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendapatkan doa beliau. ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengungkapkan, bagaimana inginnya dia mendapatkan ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

رَقَدْتُ فِي بَيْتِ مَيْمُوْنَةَ لَيْلَةَ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَهَا لِأَنْظُرَ كَيْفَ صَلاَةَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِاللَّيْلِ

Aku pernah tidur di rumah Maimunah1 pada malam ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di sana untuk melihat bagaimana shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu malam.” (HR. Al-Bukhari no. 698 dan Muslim no. 763)

Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, semangat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma untuk mencari ilmu tidaklah surut. Didatanginya para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada pada saat itu untuk mendengarkan hadits dari mereka. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan tentang hal ini:

“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan waktu itu aku masih belia, aku berkata kepada salah seorang pemuda dari kalangan Anshar, ‘Wahai Fulan, mari kita bertanya pada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan belajar dari mereka, mumpung mereka sekarang masih banyak!’ Dia menjawab, ‘Mengherankan sekali kau ini, wahai Ibnu ‘Abbas! Apa kau anggap orang-orang butuh kepadamu sementara di dunia ini ada tokoh-tokoh para sahabat RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kaulihat?’ Aku pun meninggalkannya. Aku pun mulai bertanya dan menemui para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika, aku mendatangi seorang sahabat untuk bertanya tentang suatu hadits yang kudengar bahwa dia mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata dia sedang tidur siang. Aku pun rebahan berbantalkan selendangku di depan pintunya, dalam keadaan angin menerbangkan debu ke wajahku. Begitu keadaanku sampai dia keluar. ‘Wahai putra paman Rasulullah, kenapa engkau ini?’ tanyanya ketika dia keluar. ‘Aku ingin mendapatkan hadits yang kudengar engkau menyampaikan hadits itu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku ingin mendengar hadits itu darimu,’ jawabku. ‘Mengapa tidak kau utus saja seseorang kepadaku agar nantinya aku yang mendatangimu?’ katanya. ‘Aku lebih berhak untuk datang kepadamu,’ jawabku. Setelah itu, ketika para sahabat telah banyak yang meninggal, orang tadi (dari kalangan Anshar tersebut, red.) melihatku dalam keadaan orang-orang membutuhkanku. Dia pun berkata padaku, ‘Engkau memang lebih berakal daripadaku’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/310)

Dari kalangan setelah tabi’in, kita kenal Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu. Salah satu hal yang mendorong Sufyan Ats-Tsauri sibuk menuntut ilmu sejak usia dini adalah hasungan, dorongan, dan arahan ibunya agar Sufyan mengambil faedah dari para ulama, baik berupa ilmu maupun faedah yang didapatkan dengan duduk bersama mereka, hingga ilmu yang diperolehnya akan memiliki pengaruh terhadap akhlak, adab, dan muamalahnya terhadap orang lain.

Ketika menyuruh putranya untuk hadir di halaqah-halaqah ilmu maupun majelis-majelis para ulama, ibunda Sufyan Ats-Tsauri berpesan, “Wahai anakku, ini ada uang sepuluh dirham. Ambillah dan pelajarilah sepuluh hadits! Apabila kaudapati hadits itu dapat mengubah cara dudukmu, perilakumu, dan ucapanmu terhadap orang lain, ambillah. Aku akan membantumu dengan alat tenunku ini! Tapi jika tidak, maka tinggalkan, karena aku takut nanti hanya akan menjadi musibah bagimu di hari kiamat!” (Waratsatul Anbiya’, hal.36-37)

Begitu pula ibu Al-Imam Malik rahimahullahu, dia memerhatikan keadaan putranya saat hendak pergi belajar. Al-Imam Malik mengisahkan:
“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ ‘Kemarilah!’ kata ibuku, ‘Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah2! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’ (Waratsatul Anbiya’, hal. 39)

Biarpun dalam keadaan kekurangan, mestinya keadaan itu tidak menyurutkan keinginan orangtua untuk memberikan yang terbaik bagi sang anak. Lihat bagaimana ibu Al-Imam Asy-Syafi’i berusaha agar putranya mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang baik.

Diceritakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Aku adalah seorang yatim yang diasuh sendiri oleh ibuku. Suatu ketika, ibuku menyerahkanku ke kuttab3, namun dia tidak memiliki sesuatu pun yang bisa dia berikan kepada pengajarku. Waktu itu, pengajarku membolehkan aku menempati tempatnya tatkala dia berdiri. Ketika aku telah mengkhatamkan Al-Qur’an, aku mulai masuk masjid. Di sana aku duduk di hadapan para ulama. Bila aku mendengar suatu permasalahan atau hadits yang disampaikan, maka aku pun menghafalnya. Aku tak bisa menulisnya, karena ibuku tak memiliki harta yang bisa dia berikan kepadaku untuk kubelikan kertas. Aku pun biasa mencari tulang-belulang, tembikar, tulang punuk unta, atau pelepah pohon kurma, lalu kutulis hadits di situ. Bila telah penuh, kusimpan dalam tempayan (guci) yang ada di rumah kami. Karena banyaknya tempayan terkumpul, ibuku berkata, ‘Tempayan-tempayan ini membuat sempit rumah kita.’ Maka kuambil tempayan-tempayan itu dan kuhafalkan apa yang tertulis di dalamnya, lalu aku membuangnya. Sampai kemudian Allah memberiku kemudahan untuk berangkat menuntut ilmu ke negeri Yaman.” (Waratsatul Anbiya’, hal. 36)

Namun betapa mirisnya hati kita bila melihat anak-anak kaum muslimin sekarang ini. Dalam usia yang sama dengan para tokoh ini tadi, mereka tidak mempelajari ilmu agama ataupun memperbaiki adabnya. Akankah kita biarkan ini terus berlangsung?
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Catatan kaki:

1 Maimunah, istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah bibi Ibnu ‘Abbas, karena Maimunah adalah saudari Ummul Fadhl, ibu Ibnu ‘Abbas.
2 Al-Imam Rabi’ah rahimahullahu adalah guru Al-Imam Malik rahimahullahu.
3 Kuttab adalah tempat anak-anak kecil belajar baca-tulis Al-Qur’an, semacam TPA/Q di Indonesia.

Powered By Blogger