Rabu, Maret 31

Kisah Teladan Untuk Anak

Seorang anak yang baru dilahirkan ibarat kertas putih yang bersih tanpa noda. Orang yang pertama kali menulisi kertas tersebut adalah adalah orang tua si anak. Bagus tidaknya tulisan yang dihasilkan tergantung bagaimana orang tua menuliskannya. Menjadi teladan adalah salah satu cara bagi orang tua untuk 'menulisi' anaknya.

Memberikan kisah teladan yang baik bagi anak tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Orang tua dapat memberi contoh kepada anak bagaimana berperilaku yang baik seperti tidak suka berbohong, bersifat adil, mencintai sesama, tekun belajar, berdisiplin dan lain sebagainya. Contoh perilaku ini akan lebih baik bila tidak hanya keluar dari mulut saja. Orang tua harus mampu bertingkah laku seperti yang mereka katakan kepada anak. Bagaimanapun, perbuatan dan tingkah laku jauh lebih mudah diingat bila dibandingkan hanya sebatas kata kata.

Kita punya Rasulullah saw yang kisahnya menjadi kisah teladan sepanjang zaman. Bukan hanya umat Islam yang mengidolakannya. Banyak cendekiawan yang meskipun tidak memeluk Islam menyanjung Muhammad layaknya idola, bahkan menempatkan Rasul sebagai sosok yang paling mempengaruhi peradaban dunia.

Sungguh banyak kisah teladan tentang kehidupan Rasulullah SAW serta para sahabat yang jumlahnya mencapai ratusan. Semua ini merupakan sumber cerita yang tak habis-habisnya untuk digali. Jika kita dapat menceritakannya dengan lebih kreatif dan memikat, anak-anak pastilah betah dan menikmatinya.

Menceritakan kisah teladan tentang Rasulullah kepada anak sangat penting. Dengan mengisahkan Rasulullah maka saat itu pula anak anak dikenalkan dengan teladan sesungguhnya. Didalam kisahnya terkandung ajaran moral dan hikmah yang sangat mendalam, mengandung pesan moral yang sangat baik bagi pengembangan kepribadian anak. Peristiwa-peristiwa kecil tentang sifat Rasulullah, misalnya, bila diceritakan seperti dongeng akan membuat anak merasa akrab dengan sendirinya. Kedermawanan Rasul, keramahtamahan, kasih sayang, sikap pemaafnya dan segala sifat-sifat beliau, sangat baik untuk diperkenalkan kepada anak-anak sejak dini.

Dengan gaya bahasa yang mudah diterima anak, kisah-kisah perjalanan Rasul sejak beliau lahir hingga wafat sangat tepat untuk penanaman nilai. Misalnya, kisah teladan Rasul yang sejak kecil sudah membantu sang paman, yang tak lain telah dianggap orangtua, tentu akan memberi kesan tersendiri pada anak bagaimana seharusnya berbakti pada orangtua.

Selama ini dunia anak dibanjiri dongeng fantasi dari Barat, maka tak heran jika anak-anak menjadikan Superman, Batman dan sejenisnya sebagai idola dan tokoh fiktifnya. Padahal, tidak ada hikmah yang bisa diambil selain mengajarkan kekerasan. Anda saja setiap muslim lebih sering menceritakan kisah teladan kepada anak-anaknya, maka akan sangat bermanfaat. Jarang kita lihat anak-anak berebut memerankan peran sebagai Hamzah, Ali maupun Bilal.

Anak anak sangat mudah meniru apa yang menjadi idola atau teladan mereka. Misalnya seorang anak perempuan sangat ingin menjadi cantik bak putri Cinderella, atau anak laki laki ingin kuat seperti Batman atau Naruto. Mereka akan berperilaku seperti idola mereka. Oleh sebab itu, jika orang tua mampu menanamkan perilaku yang baik melalui kisah teladan saat masa anak anak, maka hal tersebut jauh lebih mudah bila dibandingkan hal yang sama dilakukan saat mereka sudah remaja atau dewasa.

Apabila cerita fiktif saja membekas dalam ingatan dan kesadaran moralitas kita, apalagi kisah teladan dan sejarah nyata yang terekam utuh dalam Al-Quran maupun sirah Rasulullah SAW ? Asian Brain

Kisah Cinta

Setiap manusia yang normal, pastinya pernah mengalami kisah cinta dalam hidupnya. Sebuah hal yang manusiawi, karena memang pada takdirnya kita diciptakan untuk hidup berpasang-pasangan.

Lelaki dan perempuan. Keduanya akan saling memiliki kecenderungan, sebagaimana fitrahnya.

Kita tidak bisa memastikan akhir dari sebuah kisah cinta. Apakah seseorang yang kita anggap terbaik akan mendampingi hingga akhir usia kita atau sebaliknya. Apakah akan berakhir bahagia atau tragis. Berumur panjang atau hanya hitungan hari.

Kisah cinta yang paling melegenda adalah Romeo dan Juliet. Sebuah roman karangan Shakespare ini begitu mendunia, setiap orang hampir pernah mendengar kisahnya. Ingin seperti itukah kisah kita? Atau seperti cinta Muhammad dan Khadijah, Yusuf dan Zulaikha, atau Adam dan Hawa?

Jika kita menginginkan kisah cinta kita berjalan dengan indah, maka kita harus mempelajari banyak hal, diantaranya :

  • Selalu mengembangkan kepribadian secara terus-menerus. Kisah cinta yang sejati adalah tentang bagaimana membuat orang yang kita cintai tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik berbahagia karenanya. Ia juga emosi yang penuh kehangatan dan gelora, karena seluruh isinya adalah semata-mata keinginan baik. Dan itu semua harus terangkai dalam tindakan nyata.
  • Memberi perhatian penuh, yang lahir dari lubuk hati paling dalam dan keinginan yang tulus. Berusaha secara terus-menerus untuk memahami latar belakang kehidupan sang kekasih, menyelidiki seluk beluk persoalan hatinya, mencoba menemukan karakter jiwanya, mendefinisikan harapan-harapan dan mimpi-mimpinya, dan mengetahui kebutuhan-kebutuhannya untuk sampai kepada harapan-harapannya itu. Bukankah indah kisah cinta yang seperti ini?
  • Penumbuhan, yaitu melakukan tindakan-tindakan nyata untuk membantu sang kekasih bertumbuh dan berkembang menjadi lebih baik. Ia menginspirasinya untuk meraih kehidupan paling bermutu yang mungkin ia raih berdasarkan keseluruhan potensi yang dimilikinya. Pertumbuhan dilakukan dengan memfasilitasi proses pembelajaran orang yang kita cintai. Kisah cinta yang bisa menerapkan ini, tentu akan sangat membahagiakan dan melanggengkan hubungan.
  • Perawatan yang permanen, dilakukan dengan memberikan sentuhan lembut kebajikan pada pasangan. Ia harus dipuaskan dengan kebajikan harian yang membuatnya nyaman. Memberinya kekuatan psikologis dalam menjalani dinamika pertumbuhan itu.
  • Melindungi jiwa, raga, masa depan serta proses pertumbuhannya. Perlindungan adalah langkah-langkah proteksi yang bersifat antisipatif untuk memastikan bahwa orang yang kita cintai menjalani kehidupannya secara aman, baik fisik maupun psikis, dan bahwa proses pertumbuhannya berjalan dengan baik tanpa gangguan berarti yang akan menggagalkannya.

Dalam banyak situasi, proses perlindungan itu mengharuskan kita berkorban apa saja, termasuk jiwa. Dalam makna pengorbanan yang tulus itulah cinta menemukan kesejatian dan keindahannya sekaligus.

Pengorbanan dalam sejarah cinta laksana pelangi yang menghias langit kehidupan. Itu sebabnya kisah cinta sejati selalu menghadirkan sifat-sifat ksatria, keterhormatan, kedermawanan, kesetiaan dan pengorbanan.

Jalan hidup kita biasanya tidak linear, tidak juga seterusnya pendakian atau penurunan. Karena itu pekerjaan-pekerjaan cinta dilakukan tidak selalu kondusif secara emosional. Tapi disitulah tantangannya: membuktikan ketulusan ditengan situasi-situasi yang sulit. Disitulah konsistensi dan integritas teruji.

Mereka yang dicintai dengan cara begitu, biasanya merasakan bahwa hati dan jiwanya penuh seluruh. Adapun tantangan cinta yang paling rumit adalah waktu. Dalam perjalanan waktu, kesetiaan cinta teruji. Apakah kisah cinta kita juga akan teruji oleh waktu

Have a dream …


mimpii ...

- jauh ke depan -

impian hari ini dan kenyataan hari esok akan selalu memiliki IRISAN. Akan ada kesamaan-kesamaan dari apa yang kita impikan hari ini dengan kenyataan esok hari. Karena itulah adanya sebuah tuntutan untuk tetap memiliki MIMPI BESAR yang dibarengi dengan KERJA BESAR. Tapi tetap semuanya berawal dari apa yang ingin kita capai. Sebuah visi. Sebuah tujuan akhir dari perjalanan kita.

Da’wah visioner, begitulah Ust.Rahmat Abdullah menggambarkan dalam bukunya. Ketika segala amal jama’i yang kita lakukan berorientasi kepada satu tujuan bersama. Ketika segala potensi diri memang difokuskan untuk mewujudkan satu cita-cita besar.

HARGA sebuah impian, tidaklah dilihat dari seberapa besar impian itu bagi orang kebanyakan. Tapi dari seberapa determinasi yang dimunculkan oleh pemilik impian itu sendiri. Seberapa GIGIH ia mau berkorban untuk impiannya itu. Sebuah pergerakan yang besar, tidaklah besar dari jumlah pengikutnya, melainkan seberapa dalam impian bersama itu bisa menyusup ke sanubari para kadernya. Memotivasinya untuk terus berkarya, mewujudkan impian itu.

Sebagaimana cara efektif dalam publikasi, cara termudah untuk tetap fokus pada impian itu adalah dengan merepetisinya pada setiap kesempatan. Membagi semangat yang sama agar semuanya mau bekerja. Menyebarkan rasa tanggung jawab untuk membuat impian itu menjadi nyata. Dengan tidak lupa mengemas impian itu menjadi suatu paket yang tetap dapat tercapai. Dengan tidak lupa mempersiapkan sebaik mungkin langkah-langkah riil menuju impian tersebut.

Impian memang tidak selamanya bisa diwujudkan, tapi adalah satu keberanian besar untuk mulai bermimpi. Bagaimana mungkin impian itu dapat terwujud jika sejak awal impian yang kita miliki sudah merupakan suatu yang kita PESIMIS terhadapnya. Adalah penting juga, suatu PERJUANGAN mampu mendefinisikan impiannya tersebut.

Suatu pergerakan, dapat terus bergerak di rel pergerakannya selama ia memiliki impian besar yang ingin dicapai. Kerja besar untuk mimpi besar, demikian digambarkan dalam buku Panduan Da’wah. Karena memang bidang yang kita geluti ini bukan suatu yang main-main. Da’wah adalah suatu kerja besar yang butuh effort besar untuk menjalaninya.

SUKSES 10.000 jam sajaa…….


man-success-signBanyak orang bertanya, bagaimana seseorang dapat sukses dalam suatu bidang di usia muda? Apa rahasia di balik kesuksesan mereka? Benar, bahwa banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi sukses, seperti misalnya kesempatan, lingkungan, sumber daya dan koneksi. Tetapi dari semua itu, apa sebenarnya kunci utamanya?

Penasaran akan hal tersebut beberapa pihak telah berusaha melakukan penelitian. Dan salah satuya yang melakukan penelitian mengenai hal ini adalah MALCOLM GLADWELL, yang kemudian menuliskannya dalam buku terbarunya “OUTLIERS”. Dari hasil penelitiannya ada temuan yang menarik , yaitu apa yang dia sebut sebagai “Kaidah 10.000 jam”. Gladwell berargumentasi, berdasarkan temuan empiriknya, bahwa penguasaan dalam suatu bidang merupakan kunci utama dari kesuksesan, dan penguasaan (mastering) tersebut hanya bisa diperoleh oleh seseorang jika telah melakukan latihan dan latihan minimal 10.000 jam.

Lebih lanjut dikatakan bahwa tingkat intelegensia yang tinggi tidaklah cukup menjadikan seseorang menjadi seorang ahli di bidangnya. Tetap akan dibutuhkan waktu sekitar 10.000 jam sebelum dia menjadi seorang ahli. Untuk mendukung hal tersebut dia telah meneliti beberapa pesohor dunia yang telah sukses di bidangnya masing-masing. Pesohor yang dijadikan contohnya banyak, termasuk di dalamnya adalah Bill Gates, orang terkaya di dunia karena kesuksesannya mengembangkan perusahaan perangkat lunak, Bill Joy, pendiri SUN MICROSYSTEM, dan the BEATLES , yang sukses menjadi band legendaris di mana lagu-lagunya disukai oleh banyak orang dengan berbagai usia.

Dari hasil penelusurannya dijumpai bahwa Bill Gates sebelum memulai mendirikan perusahaannya pada usia 20-an memang telah menguasai atau telah menjadi ahli di bidang pemrograman komputer (teknik membuat software). Dan keahliannya dia peroleh dengan cara meluangkan waktunya terus menerus sejak SMP untuk bergelut di bidang pemrograman. Diceritakan bahwa Bill Gates memanfaatkan sistem komputer yang dimiliki di sekolah menengahnya untuk berlatih tanpa mengenal waktu, begitu juga saat di perguruan tinggi. Jika dihitung secara kuantitatif, dikatakan oleh Gladwell bahwa Bill Gates telah meluangkan waktunya sekitar 10.000 jam untuk menguasai bidang pembuatan software. Begitu juga yang telah dilakukan oleh Bill Joy. Hal yang sama berlaku pada kelompok band the BEATLES.

Dari hasil penelusurannya diperoleh kenyataan bahwa sebelum dia sukses menciptakan lagu-lagunya yang terkenal itu, para pemain the BEATLES telah berlatih atan memainkan bandnya dalam suatu studio yang tidak begitu terkenal selama kurang lebih 10.000 jam. Mungkin pembaca bertanya, lantas apa artinya hal ini bagi kita semua? Yang ingin saya kemukan di sini adalah bahwa latihan atau “practicing” merupakan suatu keharusan untuk dapat menguasai suatu bidang. Rasanya menjadi mustahil bagi seseorang, sepintar apapun dia, untuk dapat menguasai keahlian suatu bidang tanpa adanya latihan yang sungguh-sungguh dan berulang-ulang.

Senin, Maret 29

Perbedaan Adam dan Iblis

Apa yang menghalangimu untuk bersujud kepada Adam ketika AKU menyuruhmu?, Iblis menjawab ,,karena aku lebih daripadanya, Engkau ciptakan aku dari api sedangakan Kau ciptakan dia dari tanah (QS 7:11-12), inilah kebutaan rohani iblis, karena tidak mampu melihat makna disebrang bentuk, dan kata katanya merupakan akar dosa manusia ; kesombongan, iri hati dan pembangkangan.

Karena bangga diri dan buta hati, manusia tak lagi memuliakan nabi, wali,ulama da orang suci, kata mereka, bagi tuhan saja sujud kupersembahkan. Debu iri menjadi tirai hijab, yang menutup kilauan kebaikan dari mata penglihatan. Iblis mengucapkan sumpah serapah pada Tuhan, karena Engkaulah yang menjadikanku tersesat, itu kehendak-Mu.Maka akan jadikan mereka memandang baik perbuatan maksiat di muka bumi (QS 15;39).

Sebaliknya ketika adam dan hawa diusir dari surga, mereka berkata, ya..Tuhan Kami,kami telah menganiyaya diri kami sendiri. Inilah kepasrahan Adam, setelah penyesalan Adam, Tuhan berfirman, Oh...Adam bukakankah Kuciptakan dosa untukmu, melaikan sebagai ujian atas keimananmu, mengapa engkau tak menentang-Ku? bukankah engkau dapat berkata,"segalanya datang dari Engkau,apapun yang terjadi adalah yang Engkau kehendaki, mengapa tak kau katakan dan membantah-KU? Adam menjawab, aku tahu semua itu Ya-Alloh, namun aku tak dapat meninggalkan kesantunan dihadapan kehadirat-MU, cintaku pada-MU tang menijinkan aku mencela Engkau.

Adam tergelincir karena nafsu perut dan birahi, iblis tergelincir karena kesombongan dan ambisi, Adam segera memohon ampunan, sedangkan iblis terlalu sombomg untuk menyesalinya.

Hilangkan sifat sombong dalam diri kita wahai Insan yang berbudi....karena tidak ada yang pantas untuk kita sombongkan dan sombong bukan sifat manusia yang bijak tapi sifat iblisss...hidup dan mati hanya milik-NYA..semoga kita dijauhkan dari sifat sombong dan tinggi hati....

Jumat, Maret 26

Mengenal Aji Suket Kalanjana


Aji suket kalanjana adalah ilmu yang tercipta dari pengaruh islam dan aliran kepercayaan masyarakat jawa-sunda. Ajian ini pernah dikuasi oleh Prabu Kean Santang (putra Prabu Siliwangi) dan Syeh Siti Jenar. Ajian ini merupakan ilmu yang sangat tinggi dan untuk mendapatkannya pun tidak mudah karena harus punya niat yang baik dan tekad yang membaja. Konon ajian ini merupakan ajian yang langka dikuasai orang. Ia termasuk tingkatan paling tinggi diantara ilmu kejawen lainnya. Namun begitu, mereka yang menginginkan ajian ini bisa saja mendapatkannya tentu dengan laku tirakat dan tahu kunci amalan rahasianya.

Ajian ini awalnya merupakan ilmu terawangan alam gaib, dan kemudian berkembang sebagai ilmu yang dapat digunakan untuk meraga sukma dan menggerakan benda tanpa menyentuh (telekinetik). Intinya berfungsi mengaktifkan seluruh panca indera. Bereaksi terhadap gejala alam, baik alam sadar maupun alam mimpi. Versi para guru spiritual yang menguasainya menyebut ajian ini merupakan ilmu yang didasarkan pada gerakan rumput tertiup angin. Ia bisa bergerak kemana saja, tapi tetap pada tempatnya semula. Artinya, orang yang menguasai ilmu ini bisa memasuki dimensi gaib atau berada di alam lain tapi jasadnya tetap pada tempatnya.

Adapun legenda ajian suket kalanjana ini terdapat berbagai versi. Diyakini ajian ini sudah adal sebelum islam masuk ke tanah jawa. Sumber kontroversinya mengatakan ajian ini ada ketika islam masuk ke tanah pasundan. Tepatnya pada pemerintahan Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran. Dan konon, dari sinilah ajian ini bermula.

Pada masa itu memang pengaruh islam di kerajaan pajajaran belum meluas, sehingga ilmu-ilmu kesaktian para pendekan jaman pajajaran merupakan ilmu yang tiada banding dan banyak jenisnya. Ada yang mampu terbang, menghilang dll.

Mitos yang berkaitan dengan kegaiban pun terbukti. Misal, sampai kini makam prabu siliwangi tidak pernah ditemukan. Itu sebabnya masyarakat pasundan mempercayai bahwa prabu siliwangi moksa (menghilang) dari bumi dan berubah wujud menjadi harimau. Hal ini bisa dilacak dari cerita rakyat garut. Konon prabu siliwangi tidak mau masuk islam. Ia lebih baik keluar dari keraton daripada mengikuti ajakan prabu kean santang, anaknya untuk masuk agama islam.

Prabu siliwangi akhirnya lari menuju hutan sancang. Maka untuk menjaga hal-hal yang akan terjadi prabu kean santang membendung larinya prabu siliwangi beserta pengikutnya yang telah menjadi harimau. Dan harimau jejadian itu kemudian digiring menuju sebuah gua di pantai selatan kawasan hutan sancang, garut selatan. Ketika itulah prabu kean santang mengerahkan aji suket kalanjana dan berhasil mengalahkan ayahnya yang juga terkenal sakti itu. Kemudian prabu siliwangi akhirnya mendapat hidayah dari Allah dan masuk islam.

Namun sampai sekarang ilmu sakti ini mengalami perkembangan seiring banyaknya minat kalangan keraton pajajaran menuntut ilmu. Dan prabu kean santang adalah orang yang paling suka mempelajari segala macam ilmu agama, kesatriaan maupun ilmu gaib.

Menurut versi lain, aji suket kalanjana juga dimiliki oleh syeh dari tanah jawa. Dari syeh inilah ajian diturunkan kepada murid-muridnya. Syeh ini dikenal dengan sebuatn syeh lemah abang alias syeh siti jenar. Pada masa mudanya, siti jenar juga mendalami ilmu kebatinan. Setelah mendalami bidang agama melalui Syarif Hidayatullah atau sunan gunung jati, semakin bertambah tinggilah ilmu kesaktiannya. Tidak heran jiak banyak pemuda berguru kepada syeh siti jenar.

Ajian suket kalanjana dapat dikuasai siapa saja sepanjang orang tersebut mampu mensucikan dirinya dan mampu melakoni apa yang dipersyaratkan, antara lain harus mampu menjalani puasa 40 hari dan makan hanya boleh dilakukan jam 12 malam. Selain itu juga harus ngrowot (hanya makan umbi-umbian) dan tidak boleh makan jenis lainnya selama 40 hari. Hal lain yang harus dilakukan adalah menjalankan tapa kungkum (berendam) di dalam suangi selama 7 malam berturu-turut, dan yang paling berat harus pati geni yaitu tidak makan,minum,tidur dan bersemedi di ruang gelap selama 7 hari 7 malam. Selama ritual itu pula harus membaca mantra khusus yang harus dihapalnya. Bila ingin melihat alam gaib, mantra ini dibaca tiga kali sambil membuka telapak tangan lalu diusap ke mata.

Jumat, Maret 19

MENCARI TUHAN YANG HILANG

agamaSecara naluri manusia menyadari bahwa mereka lemah dan mempunyai kemampuan yang serba terbatas. Banyak hal yang tidak mampu mereka lakukan sendiri, tanpa bantuan dari kekuatan yang lain. Manusia membutuhkan suatu kekuatan yang lebih dahsyat diluar diri mereka sendiri untuk mendapatkan apa saja yang mereka inginkan, atau melindungi diri mereka dari bahaya yang mengancam. Itulah naluri ketuhanan yang ada didalam diri manusia.

Naluri ketuhanan yang muncul didalam diri setiap orang berasal dari sumpah atau janji yang telah diikrarkan manusia ketika masih berada dialam roh. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al A’raaf 172:

al-araaf172

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”, (Al A’raaf 172)


Ketika masa kanak-kanak setiap orang sudah merasa bahwa diluar diri mereka ada suatu kekuatan yang dahsyat, yang dapat memenuhi keinginan mereka atau menyelamatkan mereka dari bahaya yang mengancam mereka. Nabi Ibrahim ketika masih kanak kanak juga sudah mulai mencari Tuhan yang diyakini sebagai suatu kekuatan maha dahsyat diluar dirinya yang dapat melindungi dan menyelamatkannya dari berbagai bahaya. Semula ia menduga bintang yang bercahaya terang dipagi hari sebagai Tuhan, namun tatkala cahaya bintang itu kalah oleh bulan ia menduga bulanlah sebagai Tuhan. Ketika datang siang hari ternyata cahaya bulan dikalahkan oleh matahari, kemudian ia menduga matahari sebagai Tuhan. Namun ketika sore hari cahaya matahari lenyap ditelan malam. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa Tuhan yang patut disembah adalah Tuhan zat yang kekal abadi, maha kuasa, tidak terjangkau oleh panca indra, dan tidak ada suatu apapun yang menyerupainya.

Sampai saat ini masih banyak manusia yang mencari-cari sesuatu diluar dirinya yang diyakini sebagai Tuhan yang dapat melindungi dan memenuhi semua keinginan mereka. Naluri ketuhanan yang ada didalam diri mereka mendorong mereka untuk mencari, siapakah Tuhan yang dapat melindungi dan memenuhi hajat kebutuhan mereka itu?


budha



Banyak Tuhan yang ditawarkan untuk disembah ada yang berupa patung, berhala, tempat keramat, para dewa, Orang-orang sakti, Yesus anak Tuhan sang juru selamat dan lain sebagainya. Dalam sejarah panjang perjalanan hidup manusia, berbagai Tuhan yang disembah muncul dan tenggelam pada berbagai suku dan bangsa didunia ini. Ada yang meyakini matahari sebagai tuhan mereka, kemudian mereka menyembah matahari itu (penganut Shinto di Jepang). Ada yang meyakini api sebagai Tuhan mereka dan mereka menyembah api tersebut (penganut paham Zoroaster – Persia kuno). Ada yang meyakini Sapi sebagai tuhan mereka ( sebagian pengikut Musa ). Ada yang meyembah patung dan berhala Lata, Uzza, Manna dan lain sebagainya seperti yang dilakukan oleh kaum Quraiys dan kaum nabi Ibrahim.

Orang Yunani kuno juga banyak yang meyembah dan mengagungkan para dewa yang diyakini sebagai Tuhan. Ada dewa peperangan, ada dewa matahari, dewa bulan dan lain sebagainya. Al-Qur’an yang dibawakan nabi Muhammad bagi umat manusia meluruskan semua keyakinan dan kepercayaan yang keliru itu. Laa illaha illallah……tidak ada tuhan yang patut disembah selain Allah, Dialah Tuhan yang Satu, penguasa alam semesta, tidak ada satupun yang menyerupainya. Al-Qur’an melarang umat Islam menyembah Tuhan yang lain selain Dia, Al-Qur’an juga melarang umat Islam mempersekutukan Allah dengan apapun.

masjid1

Walaupun Allah telah mengirim nabi Muhammad saw sebagai Rasul dan kitab Al-Qur’an sebagai pedoman yang jelas, namun masih banyak manusia dizaman ini yang tetap mencari dan mengambil Tuhan yang lain selain Allah menjadi Tuhan dan sembahannya. Dari 7 milyar umat manusia didunia ini ternyata yang bertauhid dan menyembah Allah sebagai Tuhannya saat ini hanya sekitar 20 % saja, selebihnya memilih Tuhan yang lain yang mereka yakini akan menyelamatkan mereka. Masih banyak orang yang percaya bahwa Yesus adalah anak Tuhan…. mereka menyembah Yesus sebagai Tuhannya. Masih banyak orang yang mengambil Tuhan-Tuhan lain seperti umat Hindu, Budha, Shinto dan banyak lagi kepercayaan lainnya.

Banyak Tuhan yang ditawarkan untuk memenuhi naluri ketuhanan yang muncul didalam diri setiap orang. Banyak orang yang bingung menentukan pilihannya manakah Tuhan yang sebenarnya ? mereka mulai mencari dan mencari mencoba semua Tuhan yang ditawarkan. Dalam proses pencarian ini ada orang yang pindah agama sampai beberapa kali, akhirnya ada yang merasakan kebenaran Islam, namun ada pula yang akhirnya tidak percaya kepada Tuhan yang manapun, mereka memilih untuk tidak bertuhan (Atheis).

Syetan sebagai tentara iblis mempunyai andil yang sangat besar membuat bingung manusia dalam menentukan Tuhan pilihannya. Syetan menimbulkan was-was dan kebingungan didalam hati manusia sehingga banyak diantara mereka yang memilih Tuhan yang keliru, jadilah mereka penyembah Yesus kristus, Budha, Matahari, Bulan, Para Dewa, Orang sakti, tempat keramat dan lain sebagainya. Orang yang mengambil Tuhan selain Allah tidak sadar, bahwa mereka telah memilih Tuhan yang keliru. Syetan telah mempedaya dan menipu mereka sehingga mereka menyangka bahwa mereka berada pada jalan yang benar. Bahkan mereka menganggap orang yang beragama Islam dan menyembah Allah sebagai Tuhannya adalah domba-domba yang tersesat yang harus diselamatkan mengikuti Yesus sang penyelamat dan penebus dosa.

Allah telah menghingatkan ini dalam surat Yasin ayat 60-62

yasin-60-62

60- Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu”,
61- dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus. 62- Sesungguhnya setan itu telah menyesatkan sebahagian besar di antaramu. Maka apakah kamu tidak memikirkan? (Yasin 60-62)

Syetan adalah bala tentara Iblis yang dikerahkan untuk menghancurkan dan meyesatkan anak cucu Adam dari jalan yang lurus, sebagai pelaksanaan dendam turun temurun yang telah diikrarkan Iblis ketika terusir dari taman Syurga dahulu.sebagaimana disebutkan dalam surat al Israak ayat 62-64 :

62- Dia (iblis) berkata: “Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebahagian kecil”.
63- Tuhan berfirman: “Pergilah, barang siapa di antara mereka yang mengikuti kamu, maka sesungguhnya neraka Jahanam adalah balasanmu semua, sebagai suatu pembalasan yang cukup. 64- Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka. ( Al Israak 62-64)

Iblis berusaha mewujudkan ancamannya ini secara sungguh-sunguh dan serius, setiap detik,setiap saat ia mengerahkan bala tentaranya keseluruh pelosok dunia untuk menyesatkan anak cucu Adam. Walaupun kita tidak bisa melihat iblis dan bala tentaranya ini dengan mata fisik, namun kita bisa melihat hasil kerja mereka diseluruh dunia. Hasilnya sedikit sekali manusia yang ber-iman dan yakin serta percaya pada Allah sebagai Tuhan yang harus disembah. Kebanyakan manusia memilih meyembah tuhan yang lain selain Allah, nyatanya sampai saat ini dari 7 milyar penduduk dunia baru sekitar 1,6 milyar yang memeluk agama Islam. Inilah ujud dari sumpah serta ancaman Iblis yang disebutkan dalam surat Al Israak ayat 62, bahwa ia akan menyesatkan semua anak cucu Adam kecuali sedikit.

Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebahagian kecil”. (Al Israak 62)

Semua agama sama ??

Banyaknya aliran agama yang muncul dan masing masing merasa bahwa agamanyalah yang paling benar, telah memunculkan berbagai pertentangan bahkan peperangan didunia ini dalam rangka membela dan menyebar luaskan kepercayaan masing masing yang dianggap paling benar itu. Meredam berbagai pertentangan itu munculah paham yang mengatakan bahwa pada dasarnya semua agama dan kepercayaan itu sama. Semua agama baik sama sama menuju pada penyembahan kepada Tuhan, karena itu tidak perlu dipertentangkan. Semua agama didunia ini diibaratkan seperti jari jari sepeda, yang datang dari berbagai arah namun tujuannya satu yaitu ke poros roda. Di Indonesia paham yang mengatakan semua agama sama didukung oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL). Paham ini juga termasuk usaha Iblis dan bala tentaranya untuk menyesatkan manusia padahal dalam Qur’an surat Ali Imran ayat 19 dan 85 Allah dengan tegas menyatakan :

19- Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya . (Ali Imran 19)

85- Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imran 85)

Al-Qur’an dengan tegas menyatakan siapa yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima Allah keyakinannya itu dan diakhirat kelak mereka termasuk orang yang merugi. Lantas bagaimana nasib milyaran umat manusia yang sampai saat ini tidak atau belum memeluk Islam ?? Kita tidak bisa memvonis atau menghakimi mereka, mungkin mereka masih dalam proses mencari Tuhan yang hilang dari hati mereka. Bukan kewajiban dan kewenangan kita untuk memberi petunjuk dan hidayah kepada mereka, kewajiban kita hanya menyampaikan kebenaran Al-Qur’an kepada seluruh umat manusia.

Kewenangan untuk memberi petujuk dan hidayah sepenuhnya ada pada Allah penguasa Tunggal dialam semesta ini. Al-Qur’an mengakui keberadaan beragam agama dan kepercayaan didunia, namun hanya mengakui Islam sebagai agama yang diridhoi-Nya. Allah menolak cara peribadatan diluar yang telah ditetapkan-Nya didalam Al-Qur’an. Namun Al-Qur’an juga tidak menganjurkan umatnya untuk memaksakan ajaran Islam kepada umat manusia, Islam dikembangkan dengan akal dan fikiran bukan dengan paksaan.

Allah hanya menerima ibadah orang yang dilakukan dengan ikhlas dan tulus, bukan ibadah yang dilakukan dengan terpaksa karena adanya suatu ancaman. Allah sebagai penguasa tunggal dialam semesta tidak butuh untuk disembah oleh manusia. Allah memerintahkan manusia beribadah dan menyembahNya adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri, bukan untuk kepentingan Allah. Manusia butuh kekuatan Ilahi yang dapat menyelamatkan dirinya dari berbagai bahaya dan ancaman. Keyakinan pada Allah dapat memberi ketentaraman dan rasa nyaman bagi orang yang ber-Iman.

Bagaimana umat Islam mensikapi orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya dan tidak menjadikan Allah sebagai tuhan yang disembah ? Allah telah memberi tuntunan dalam surat Al Kafiruun sebagai berikut ini

alkafirun

1- Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, 2- aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3- Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. 4- Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. 5- Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6- Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (Al Kafiruun 1-6)

Umat Islam tetap bisa hidup berdampingan dengan umat lain yang tidak menyembah Allah, dengan prinsip saling menghargai dan menghormati. Tidak perlu memaksakan keyakinan dan kepercayaannya kepada pihak lain. Kewajiban umat Islam hanya menyampaikan kebenaran dengan jelas. Islam hanya melakukan kekerasan terhadap orang yang menyerang dan memaksanya untuk merubah keyakinan yang telah dimiliknya.

Kewajiban menjaga iman dan ketakwaan diri

Pada kenyataannya orang yang ber-Iman dan bertakwa kepada Allah adalah umat minoritas didunia ini, namun ia bisa saja menjadi kelompok mayoritas ditengah suatu kelompok, suku atau bangsa. Sebagai contoh di India , China , Jepang, Amerika dan Belanda mungkin saja umat Islam sebagai kelompok minoritas, namun di Indonesia, Arab Saudi, Pakistan, Mesir umat Islam adalah kelompok mayoritas. Sebagai kelompok minoritas ditengah orang kafir kita harus tetap berusaha menjaga Iman dan Takwa kita, berdakwahlah dengan cara hikmah dan bijaksana menghadapi kelompok mayoritas yang kafir itu.

Bagi umat Islam yang menjadi kelompok mayoritas di negaranya , jangan berbangga dan menyombongkan diri. Kita juga harus menjaga kemurnian iman dan keyakinan kita. Keyakinan umat Islam yang mayoritas ini juga banyak digerogoti oleh aliran yang sesat dan keliru, tetaplah waspada dan selalu berpedoman pada 2 pusaka yang ditinggalkan Rasulullah yaitu Al-Qur’an dan Al Hadist. Jagalah diri dan keluarga dari aliran atau ajaran yang keliru, mohon bimbingan dan petujuk Allah agar tetap berada pada jalan-Nya yang lurus.

Mengapa sebagian besar manusia tidak menyembah Allah?

Naluri ketuhanan didalam diri manusia berusaha mencari kekuatan diluar diri mereka yang mereka yakini sebagai Tuhan yang akan melindungi dan memenuhi semua hajat keinginan mereka. Namun didalam pencarian ini mengapa mereka memilih Tuhan yang bermacam macam, bukan memilih Allah sebagai Tuhan mereka? Allah telah melengkapi manusia dengan akal, fikiran dan hati. Allah telah melengkapi pula dengan penglihatan dan pendengaran. Kekeliruan ini terjadi karena mereka tidak menggunakan akal, fikiran, hati , penglihatan dan pendengaran mereka dengan benar. Mereka lebih memperturutkan keinginan hawa nafsu dan bisikan syetan yang selalu menghampiri hati dan fikiran mereka. Allah telah mengingatkan ini dalam surat Al A’raaf 179:

al-araaf-179

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Al-A’raaf 179)

Kebanyakan mereka kukuh dengan keyakinan yang mereka dapatkan turun temurun dari nenek moyang mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh Azhar ayahanda nabi Ibrahim beserta pengikutnya yang menyembah patung yang mereka buat sendiri dengan tangan mereka. Demikian pula halnya dengan kaum Quraisy yang menyembah patung (berhala) Latta, Uzza, Ball dan Manna. Hal serupa dialami pula oleh pengikut Nasrani, Budha, Hindu dan lain lain, mereka kukuh dengan agama yang telah mereka warisi secara turun temurun. Mata, telinga, hati dan fikiran mereka tertutup untuk menerima kebenaran Qur’an yang mengajak mereka untuk bertauhid pada Allah.

Masing masing mereka kukuh dengan keyakinan mereka yang telah mereka warisi secara turun temurun. Mereka sudah merasa nyaman dan mapan dengan keyakinan yang mereka anut. Secara umum mereka merasa puas dengan berbagai kenikmatan yang mereka dapatkan didunia ini, mereka memandang rendah kepada umat Islam yang mereka anggap lebih rendah tarap kehidupannya dari mereka. Itulah tipu daya syetan kepada manusia yang memperlihatkan baik semua perbuatan buruknya dan memperlihatakan buruk semua kebaikan yang ditawarkan kepada mereka. Dihari berbangkit kelak semua hijab yang menutup hati mereka akan terbuka, dan mereka akan bertengkar dengan syetan yang telah menyesatkan mereka sehingga memilih Tuhan selain Allah sebagai sembahan mereka, sebagaimana disebutkan dalam surat Qaff ayat 20-29 berikut ini:

20- Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman. 21- Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi. 22- Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. 23- Dan yang menyertai dia berkata: “Inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku”.24- Allah berfirman: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, 25- yang sangat enggan melakukan kebaikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, 26- yang menyembah sembahan yang lain beserta Allah, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat”.27-Yang menyertai dia berkata (pula): “Ya Tuhan kami, aku tidak menyesatkannya tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh”. 28- Allah berfirman: “Janganlah kamu bertengkar di hadapan-Ku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberikan ancaman kepadamu”.29- Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku. (Qaaf 20-29)

Kelak ketika Neraka Jahanam diperlihatkan kepada orang yang kafir, mereka bersama berhala dan apa yang mereka sembah selain Allah akan dijungkir balikan masuk kedalam Neraka jahanam . Mereka akan bertengkar saling menyalahkan atas kekeliruan yang telah mereka lakukan, dan mereka berharap agar dapat kembali kedunia untuk memperbaiki kekeliruan yang telah mereka lakukan selama ini. Keadaan tersebut dikisahkan Allah dalam surat As Syu’ara ayat 91 -104 sebagai berikut ini :

91- dan diperlihatkan dengan jelas neraka Jahim kepada orang-orang yang sesat”,92- dan dikatakan kepada mereka: “Di manakah berhala-berhala yang dahulu kamu selalu menyembah (nya) 93- selain Allah? Dapatkah mereka menolong kamu atau menolong diri mereka sendiri?” 94- Maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkirkan ke dalam neraka bersama-sama orang-orang yang sesat, 95- dan bala tentara iblis semuanya. 96- Mereka berkata sedang mereka bertengkar di dalam neraka: 97- “demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, 98- karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam”.99- Dan tiadalah yang menyesatkan kami kecuali orang-orang yang berdosa. 100- Maka kami tidak mempunyai pemberi syafaat seorang pun, 101- dan tidak pula mempunyai teman yang akrab, 102- maka sekiranya kita dapat kembali sekali lagi (ke dunia) niscaya kami menjadi orang-orang yang beriman”.103- Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman. 104- Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. (As syu’ara 91-104)

Kita memang tidak bisa berbuat banyak kepada orang yang mengambil sembahan selain Allah, kewajiban kita hanya menyampaikan kebenaran bukan memberi petunjuk. Hidayah dan petunjuk sepenuhnya kewenangan Allah. Islam tidak dikembangkan dengan kekerasan tapi dengan pemahaman dan pengertian. Bagaimana dengan penduduk bumi yang sebagian besar belum ber-Iman? Kita serahkan semua itu pada Allah, dalam surat As Syu’ara ayat 104 diatas Allah telah menyebutkan “ tetapi kebanyakan mereka tidak ber-Iman” .

Bagi yang telah mendapat hidayah dengan memeluk Islam dan menyembah Allah sebagai Tuhan yang disembahnya, pertahankanlah Iman dan keyakinan yang telah dimiliki itu, karena Allah akan menguji iman dan keyakinan tersebut dengan berbagai kejadian baik dan buruk silih berganti. Banyak orang yang tidak tahan menghadapi ujian pada akhir nya murtad keluar dari Islam dan menganut agama lain bahkan ada yang menjadi penganut paham Atheis. Allah tidak akan membiarka seseorang menyatakan dirinya telah beriman sedang Allah belum mengujinya.

2- Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? 3- Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al Ankabut 2-3)

Pondok Tadabur islam

Kamis, Maret 18

Mutu Pelayanan Kesehatan Ambivalensi Antara Kewajiban dan Keinginan (antara penyelenggara dan pemilik)


Mutu pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh ada tidaknya kritikan dan keluhan dari pasiennya, lembaga sosial atau swadaya masyarakat dan bahkan pemerintah sekalipun. Mutu akan didiwujudkan jika telah ada dan berakhirnya interaksi antara penerima pelayanan dan pemberi pelayanan. Jika pemerintah yang menyampaikan kritikan ini dapat berarti bahwa masyarakat mendapatkan legalitas bahwa memang benar mutu pelayanan kesehatan harus diperbaiki.
Dari definisi, rumahsakit adalah: Rumahsakit menurut WHO Expert Committee On Organization Of Medical Care: “is an integral part of social and medical organization, the function of which is to provide for the population complete health care, both curative and preventive and whose outpatient service reach out to the family and its home environment; the hospital is also a centre for the training of health workers and for biosocial research”, yang dalam bahasa Indonesianya jika diterjemahkan secara bebas dapat berarti: suatu bahagian menyeluruh dari organisasi dan medis, berfungsi memberikan pelayanan kesehatan lengkap kepada masyarakat baik kuratif maupun rehabilitatif, dimana output layanannya menjangkau pelayanan keluarga dan lingkungan, rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan tenaga kesehatan serta untuk penelitian biososial.
Definisi rumah sakit menurut Keputusan Menteri Republik Indonesia nomor 983.MENKES/SK/1992 mengenai pedoman rumah sakit umum dinyatakan bahwa: ”Rumah Sakit Umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik dan pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan”.
Sementara itu menurut Siregar (2003) menyatakan bahwa rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semuanya terikat bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik.
Definisi rumah sakit ini di setiap peraturan daerah pada umumnya sama, hanya saja terdapat perbedaan pada tugas pokoknya, yang diantaranya adalah:
Berikut merupakan tugas sekaligus fungsi dari rumah sakit, yaitu:
• Melaksanakan pelayanan medis, pelayanan penunjang medis,
• Melaksanakan pelayanan medis tambahan, pelayanan penunjang medis tambahan,
• Melaksanakan pelayanan kedokteran kehakiman,
• Melaksanakan pelayanan medis khusus,
• Melaksanakan pelayanan rujukan kesehatan,
• Melaksanakan pelayanan kedokteran gigi,
• Melaksanakan pelayanan kedokteran sosial,
• Melaksanakan pelayanan penyuluhan kesehatan,
• Melaksanakan pelayanan rawat jalan atau rawat darurat dan rawat tinggal (observasi),
• Melaksanakan pelayanan rawat inap,
• Melaksanakan pelayanan administratif,
• Melaksanakan pendidikan para medis,
• Membantu pendidikan tenaga medis umum,
• Membantu pendidikan tenaga medis spesialis,
• Membantu penelitian dan pengembangan kesehatan,
• Membantu kegiatan penyelidikan epidemiologi,
Tugas dan fungsi ini berhubungan dengan kelas dan type rumah sakit yang di Indonesia terdiri dari rumah sakit umum dan rumah sakit khusus, kelas “a, b, c, d”. berbentuk badan dan sebagai unit pelaksana teknis daerah. Perubahan kelas rumah sakit dapat saja terjadii sehubungan dengan turunnya kinerja rumahsakit yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Indonesia melalui keputusan dirjen yan medik.
Dari Sumberdaya Kesehatan yang ada di rumahsakit:
(1) Tenaga kesehatan terdiri dari :
a. tenaga medis;
b. tenaga kepcrawatan;
c. tenaga kefarmasian;
d. tenaga kesehatan masyarakat;
e. tenaga gizi;
f. tenaga keterapian fisik;
g. tenaga keteknisian medis.
(2) Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.
(3) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
(4) Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
(5) Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
(6) Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.
(7) Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.
(8) Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.
Sebagai unsur manajemen, sumber daya manusia kesehatan yang dimiliki oleh rumahsakit akan mempengaruhi diferensiasi dan kualitas pelayanan kesehatan, keterbatasan keanekaragaman jenis tenaga kesehatan akan menghasilkan kinerja rumahsakit dalam pencapaian indikator mutu pelayanan rumahsakit.
Dari Struktur Organisasi Daerah: rumahsakit dapat berdiri dengan legalitas dan ilegal karena ada rumahsakit dengan ijin penyelenggaraan dan tidak ada ijin, rumahsakit dapat merupakan unit pelaksana teknis dinas dan atau sebagai institusi yang bertanggungjawab kepada bupati dan atau rumahsakit vertikal yang ada di daerah. Kondisi ini akan berhubungan dengan kemapanan dukungan kebijakan dan dukungan anggaran yang pada akhirnya berdampak pada kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Pada kebanyakan daerah di Indonesia, rumahsakit daerah dijadikan sumber pendapatan daerah dan dalam laporan pertangggungjawaban pemerintah daerah keberhasilan capaian indikator pelayanan kesehatan rumahsakit jarang dan bahkan tidak pernah dijadikan data atau informasi dalam penyusunan perencanaan dan penyusunan kebijakan, biasanya hanya dilaporkan sebagai hasil dari akumulasi seluruh indikator, yang sebenarnya satu indikator gagal dapat menyebabkan perubahan penilaian kinerja. Hal ini dikarenakan adanya indikator vital dalam proses dan atau dalam output sistem pelayanan kesehatan. Sebagai contoh: peningkatan penerimaan daerah dari retribusi pelayanan kesehatan akan tidak ada artinya apa-apa jika cakupan angka rujukan ke rumahsakit vertikal atau ke kabupaten lain lebih tinggi dari angka kunjungan UGD rumahsakit yang bersangkutan atau angka pasien rawat inap kelas III.
Rumahsakit dengan angka rujukan yang jumlahnya mendekati setengah dari jumlah kunjungan patut dipertanyakan, jawabannya akan berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya manusia kesehatan dan kualitasnya. Ada apa dengan kompetensi mereka dalam memberikan pelayanan, bagaimana komunikasi dan manajemennya dilakukan di rumahsakit tersebut.
Dapat ditambahkan lagi dengan adanya permasalahan kelembagaan, dimana ada kotak kelompok tenaga fungsional dalam bagan struktur organisasi tidak ada isinya dan tidak ada koordinasinya. Jika kelompok ini ada maka tenaga fungsional tersebut dapak dijadikan media informasi guna penyusunan kebijakan yang ajeg dan mumpuni secara keilmuan. Keberadaan resident tanpa pengawasan satuan pengawas internal rumahsakit dapat dipersepsikan berbagai rupa oleh masyarakat dengan latar belakang pengalaman dan pengetahuan yang berbeda-beda, kanapa tidak, karena merekakan sedang dalam pendalaman ilmu kedokteran, tetapi jika tak ada rotan maka akarpun jadilah sehingga kualitas yang diharapkan belum tentu dapat dinikmati sebagai akhir dari pelayanan yang bermutu.
Dari Manajemen Lintas Program dan Lintas Sektor
Rumahsakit sebagai pintu gerbang dan unsur vital dalam penilaian adipura, di banyak daerah rumahsakit daerah sebagai penghasil pendapatan asli daerah terbesar. Sesuatu yang riskan jika PAD dijadikan ukuran keberhasilan pelayanan kesehatan karena nominal PAD adalah rupiah yang dibayarkan pasien, rasionalitasnya jika makin banyak penerimaan berarti makin banyak masyarakat yang menggunakan fasilitas sumberdaya di rumah sakit, makin banyak masyarakat yang menggunakan berarti masih ada masyarakat yang sakit, masih adanya masyarakat yang sakit berarti derajat kesehatan masyarakat belum optimal, untuk pembuktiannya diperlukan analisa lebih lanjut, tentang bagaimana dan seterusnya masyarakat di rumahsakit tersebut. Ada item rupiah yang bisa dirinci jumlahnya dari pola tarif yang ada. Apa yang mereka bayar dari pelayanan yang mereka terima dapat mencerminkan tingkatan kesehatan masyarakat tersebut. Epidemiolog dapat menyampaikan laporan ini jika dibutuhkan. Hanya tinggal lagi epidemiolognya berpihak kepada siapa.
Ada beberapa instansi yang memiliki keterkaitan dengan rumahsakit daerah, dan itu dalam penyusunan program kegiatan dan anggaran rasanya belum pernah ada yang duduk bersama menyatukan pernyataan dan kesimpulan. Sesuatu yang aneh memang. Sebagai contoh: Kebijakan berobat gratis, daftar nama keluarga dan anggotanya bersumber dari BKKBN, bukan dari RT-RW dan Lingkungan, bersumber dari oknum pegawai di tingkatan tersebut, dan dalam data base saat perjalanannya rumahsakit harus memberikan pelayanan seperti yang diharapkan mereka, bukan berdasarkan kemampuan yang dapat diberikan oleh rumahsakit, mengapa karena ada pasien yang berobat dari keluarga miskin yang benar-benar miskin dengan nama yang tak ada dalam data base yang diberikan oleh pemerintah, bermuncullanlah pahlawan dengan pamrih disini, dan mereka yang berobat dengan fasilitas kartu miskin saat akan dirawat minta dirawat dengan fasilitas VIP. Dunia pelayanan kesehatan semakin hitam jadinya.
Dari Akreditasi Rumahsakit, rumahsakit terkareditasi 5 (lima) pelayanan, 8 (delapan) pelayanan dan 13 (tiga belas) pelayanan. Rumahsakit dengan standar ISO 14000 dan ISO 2000, dan kelompok rumahsakit yang belum terakreditasi dan atau yang belum terstandar. Departemen kesehatan dengan Komite Akreditasi Rumahsakit terus berupaya agar semua rumah sakit daerah harus terakreditasi minimal 5 (lima) pelayanan, yaitu:
(1) Pelayanan Gawat Darurat,
(2) Pelayanan Medik,
(3) Pelayanan Administrasi,
(4) Pelayanan Keperawatan dan
(5) Pelayanan Rekam Medik
Tujuan pemerintah dengan akreditasi ini adalah untuk: agar kualitas pelayanan diintegrasikan dan dibudayakan ke dalam sistem pelayanan di rumah sakit. RSD Kol Abundjani didukung anggaran belum juga mampu menyelesaikan proyek ini, karena apa, jawabnya dapat bersumber dari kualitas dan kuantitas sumber daya yang ada di rumahsakit tersebut, Pernyataan jelasnya adalah sumberdaya kesehatan yang ada di rumahsakit tersebut.
Proses akreditasi telah berlangsung hampir lebih dari 5 (lima) tahun, tetapi nyatanya budaya akreditasi belum sama sekali mendarah daging di institusi RSD Kol Abundjani ini. Ada apa,…? Pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan lintas sektor dan lintas program, bukan hanya oleh masyarakat rumahsakit, tetapi bagaimanapun juga sdm rumahsakit daerah harus terlebih dahulu menjawabnya dengan pernyataan yang diikuti oleh sikap yang terakreditasi.
Dari Dukungan Kebijakan
Nah ini yang lebih perlu mendapat perhatian, begitu banyak peraturan daerah disusun dengan cara studi banding, dicopi dan dipastekan kemudian diedit agar menjadi sesuai dengan keadaan riel daerah. Masih belum terlihat jiwa pemiliknya dalam peraturan ini. Pedoman umum mengenai persentase anggaran kesehatan dari total anggaran daerah masih perlu dipertanyakan lebih lanjut lagi, masih perlu dianalisa dan disikapi dengan jalinan koordinasi dan pengawasan yang komprehensif. Menurut Rusli, anggaran efektif jika rasio antara pembiayaan dan penerimaan berkisar 0,1%, sebenarnya tidak berlaku di institusi pelayanan rumahsakit, karena rumahsakit bukan badan profit, tetapi lembaga non profit.
Kemajuan pertumbuhan dan pengembangan rumahsakit menjadikan rumahsakit sebagai lembaga profit tetapi tidak meninggalkan unsur sosialnya telah mengubah persepsi sumber daya manusia kesehatan dari non material menjadi sangat material, karena disini setiap pekerjaan yang dikerjakan dan yang seharusnya dikerjakan bukan lagi berdasarkan panggilan hati nurani, bukan lagi panggilan profesi, tetapi telah bergeser menjadi panggilan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Jika ini berlanjut dapat dibayangkan bagaimana pemenuhan hak pokok masyarakat sebagai pasien jika mereka tidak mampu membayar.
Peruntukan anggaran tentu membutuhkan kebijakan paripurna yang proporsional, kalau seperempat anggaran hanya untuk fisik, kapan sdm kesehatannya mau manggung dalam ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
Dari mutu pelayanan kesehatan.
Mutu Pelayanan Kesehatan yang mengemuka sebagai panglima program unggulan Depkes dengan nama Quality Assurance (QA, jaminan mutu) pada tahun 1996, pihak Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit sebagai (lagi-lagi) pihak pelaksana, dibuat terperangah oleh program tersebut. Sebagai suatu pernyataan akhir dari sebuat proses pelayanan kesehatan. Sebagai sebuah proses, pelayanan kesehatan dapat berbentuk makro dan berbentuk mikro. Kedua bentuk ini saling bersimbiose mutalisme dalam sebuah sistem.
Berbagai definisi mutu yang dikaitkan dengan patient safety selanjutnya diajukan, dan salah satu definisi yang umum digunakan antara lain menyebutkan bahwa mutu pelayanan kesehatan adalah “tingkat di mana pelayanan kesehatan untuk individu maupun populasi mampu menghasilkan outcome pelayanan sesuai dengan yang diharapkan dan konsisten dengan pengetahuan profesional terkini” (IOM, 2001). Namun demikian mengingat definisi tersebut dianggap terlalu luas, berbagai peneliti telah mencoba mengembangkannya untuk menjamin agar pengukuran mutu pelayanan kesehatan lebih spesifik. Salah satunya adalah yang diajukan oleh Donabedian (1980), yaitu berpedoman pada struktur, proses, dan outcome. Sementara itu the IOM (1999) dan National Health Service menggunakan konsep mutu pelayanan kesehatan dalam 6 aspek, yaitu safety, effectiveness, timeliness, efficiency, equity, dan patient awareness.
Chassin mengusulkan metode lain yang menekankan pada 3 area utama, yaitu under use, over use, dan misuse of health care services. Under use didefinisikan sebagai kegagalan untuk memberikan pelayanan yang efektif padahal jika dilakukan dapat menghasilkan outcome yang diharapkan (misalnya tidak memberikan imunisasi atau gagal untuk melakukan bedah katarak). Disebut overuse apabila pelayanan kesehatan yang dilakukan ternyata memberi dampak risiko yang lebih besar daripada potensi manfaat yang dapat ditimbulkan (misalnya memberikan antibiotika untuk kasus-kasus common cold). Sedangkan misuse didefinisikan sebagai komplikasi yang sebenarnya dapat dihindari jika pelayanan kesehatan dilakukan secara seksama.
Dari beberapa konsep tersebut kemudian dikembangkan sejumlah indikator untuk mengkuantifikasikan mutu pelayanan kesehatan. Salah satunya adalah indikator mutu pelayanan yang disusun oleh ACHS yang merupakan instrumen untuk mengidentifikasi area pelayanan kesehatan yang masih memerlukan perbaikan secara fundamental. Dengan metode kuantifikasi ini selanjutnya dapat dilakukan analisis statistik untuk menilai area-area pelayanan yang dianggap memiliki defisiensi dalam menghasilkan outcome yang diharapkan.
Upaya yang sama juga dilakukan oleh The Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) yang mengembangkan beberapa indikator yaitu Prevention Quality Indicators, Inpatient Quality Indicators, dan Patient Safety Indicators (PSIs).
Tetapi sebagai institusi bawahan Depkes, lagi-lagi Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit berada di posisi tak berdaya dan lagi-lagi hanyalah sebagai terminal akhir pembuangan dan berposisi layaknya sandal jepit. Mungkin Depkes lupa bahwa para dokter yang ada di Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit adalah seorang sarjana juga seperti halnya para petinggi Depkes. Lupa mungkin karena tampilan dokter institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit yang tak pernah berdasi dan naik kendaraan dinas apa adanya kala tugas, tidak seperti teman-temannya di Depkes yang sebagian diantaranya berdasi dan naik mobil dinas mulus-mulus dan baru-baru.
Peningkatan mutu pelayanan kesehatan mengandung arti bahwa sarana pelayanan kesehatan dan tenaga profesi kesehatan harus mampu menunjukkan akuntabilitas sosial untuk memberikan pelayanan prima kepada konsumen, yakni pelayanan yang sesuai dengan standar yang diakui sehingga dapat memenuhi atau bahkan melebihi harapan konsumen.
Untuk itu perlu dikembangkan suatu sistem dan mekanisme yang efektif guna tercapainya pelayanan prima tersebut.
Hal lain adalah Pelaksanaan Program kendali mutu harus berdasarkan falsafah bersama untuk mempertahankan dan meningkatkan pelayanan yang diberikan oleh tim pelayanan dari berbagai disiplin ilmu.

Falsafah yang mendasari program kendali mutu antara lain:
• Masing-masing disiplin telah mengidentifikasi dan menyetujui falsafah dasar untuk dikembangkan menjadi tujuan masing-masing pelayanan.
• Masing -masing disiplin menyepakati untuk mengkaji pelayanan yang diberikan oleh anggotanya.
• Semua staf memberikan perhatian untuk mencapai tujuan institusi yang dalam hal ini memberikan efek terhadap pelayanan pada klien.
• Praktek perawatan tidak akan mungkin meningkatkan kecuali masalah dapat diidentifikasi dan dipecahkan.
• Staf mempunyai pengetahuan yang cukup dan memiliki ide-ide yang kreatif untuk memecahkan masalah-masalah dalam pekerjaannya
• Staf dapat memecahkan masalah jika cukup informasi-informasi yang diperlukan .
Pekerja pada umumnya merasakan kepuasan kerja dan lebih produktif bila mereka dibantu dengan menciptakan lingkungan kerja yang baik dengan mengurangi hambatan dalam pekerjaannya. Program kendali mutu perlu dilaksanakan dan dibuat secara teratur dan terus menerus untuk meningkatkan mutu pelayanan.
Dengan melakukan pendekatan konkuren maupun retrospektif terhadap lingkup struktur, proses dan hasil maka semua aspek-aspekantara lain: Tenaga keperawatan, asuhan keperawatan dan kepuasan klien harus dinilai dengan menggunakan standar-standar yang tepat, walaupun demikian baiknya program kendali mutu ini dilakukan secara terpadu tetapi tetap ada kendala kendala yang perlu diperhatikan.
Dengan melibatkan semua staf keperawatan untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan program pengendalian mutu ini, maka tujuan akhir dari program pengendalian mutu yaitu meningkatnya mutu pelayanan keperawatan berdasarkan standar akan dapat dicapai dengan baik.

Dari UU Perlindungan Konsumen rumahsakit adalah: salah satu institusi pemberi pelayanan dibidang kesehatan, hubungan yang jelas adalah pelayanan jasa kesehatan. Kesehatan adalah hak azazi manusia. Maka manusia sebagai konsumen rumahsakit berhak sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, seperti:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Bila menyimak surat pembaca di media cetak, banyak sekali keluhan dari konsumen yang merasa dirugikan. Misalnya soal layanan listrik PLN, PDAM, delay pesawat, layanan barang/jasa yang buruk, mutu barang yang tidak bagus, tindak kriminal di kereta api, pelayanan rumahsakit dan bahkan pelayanan pajak dan lain sebagainya. Semua itu adalah persoalan yang kerap kali muncul di Indonesia. Maka inilah realitas ketertindasan konsumen dalam menghadapi pilihan-pilihan barang/jasa harus mereka konsumsi.
Ironisnya, keluhan yang disampaikan kebanyakan hanya lewat surat pembaca di media massa. Cara ini terlalu sederhana dan tidak menyelesaikan masalah. Cara lain yang lebih kreatif adalah langsung mengadu ke pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) atau lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
Memang pada kenyataannya konsumen kerap berada dalam posisi yang tidak berimbang dibanding dengan posisi produsen. Maka untuk mengurangi kesewang-wenangan para produsen barang dan jasa, sebagai konsumen kita perlu mengetahui faktor-faktor yang melemahkan konsumen, antara lain:
1. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya.
2. Belum terkondisikannya "masyarakat konsumen" karena memang sebagian masyarakat ada yang belum mengetahui tentang apa saja hak-haknya dan ke mana hak-haknya dapoat disalurkan jika mendapat kesulitan atau kekurangan dari standar barang atau jasa yang sewajarnya.
3. Masyarakat belum memiliki kemauan untuk menuntut hak-haknya.
4. Proses peradilan yang ruwet dan memakan waktu yang berkepanjangan.
5. Posisi konsumen yang selalu lemah.

Padahal bisa jadi kala sekolah dahulu, yang di Depkes tidak lebih pandai dari yang di institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit. Pun demikian pula setelahnya, lebih-lebih kala berbicara kepekaan keperluan masyarakat terhadap layanan kesehatan, dijamin dokter di institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit lebih peka dibanding dokter di Depkes walau sepanjang apapun gelarnya. Yang membedakan hanyalah kekuasaan. Itulah kira-kira gambaran umum, mengapa hingga kini institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit ibarat tempat uji coba, trial and error aneka macam program dari depkes.
Jaminan mutu produk tahun 1996 yang lalupun, konon hasil pemikiran grusa-grusu karena ada “jajan” berupa pinjaman IMF (maksudnya hutang yang harus dibayar), yang mana depkes tidak mau kalah dengan departemen lain untuk ikut mencicipi jajan IMF. Dan supaya dapat dana segar nan besar, nama programnya pun dibuat “greng”, maka bim salabim lahirlah Quality Assurance atau Jaminan Mutu. Parameterpun disiapkan, demikian pula pelatihan, panduan, monitor dan evaluasinya, baik terhadap item kegiatan ataupun terhadap program besarnya.
Menyimak produk Depkes tahun 1988, yang mana dalam Pedoman Kerja Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit sudah sangat jelas dan rinci berisi panduan tatalaksana setiap kegiatan di Institusi pelayanankesehatan/rumahsakit yang mengacu kepada UPK, termasuk panduan pengobatan, maka program QA adalah sebuah langkah kebimbangan dan ambivalensi. Artinya mengulang program mapan yang sudah terintegrasi dengan keseharian para petugas Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit dengan mengganti nama QA yang justru lebih sempit tapi tidak lebih mendalam. Bedanya hanya di segi dana yang luar biasa besar dan pelatihan berulang yang justru buang-buang waktu.
Untuk meningkatkan mutu layanan, tidak cukup dengan kajian monopoli petinggi Depkes, lebih dari itu ada ukuran non teknis yakni keinginan dan harapan warga. Sayangnya yang ini tidak pernah tersentuh, artinya pengguna jasa pelayanan Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit tak lebih hanyalah obyek semata yang tak punya hak suara. Siklus demikian mestinya tidak boleh terulang.
Akreditasi rumahsakit dicanangkan sejak tahun xxxx dan sampai tahun 2009 ini capaiannya sangat menyedihkan, dari ratus rsd dan puluh rsp serta ratus rss, hanya xx% yang sudah terakreditasi, jiwanya masih nol saya rasa, karena prosesnya sendiri tidak terakreditasi. RSD Kol Abundjani saat ini sedang dalam proses akreditasi yang pelaksanaannya setengah isi dan setengah kosong.
Pelayanan rumah sakit diera sekarang tidak terlepas dari perkembangan ekonomi masyarakat . Hal ini tercermin pada perubahan fungsi klasik rumah sakit yang pada awalnya hanya memberi pelayanan yang bersifat kuratif (penyembuhan) saja terhadap pasien melalui rawat inap dan rawat jalan bergeser ke pelayanan yang lebih komprehensif meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Pengaruh perubahan dinamika lingkungan usaha rumah sakit yang terjadi tidak saja di Indonesia tetapi hampir diberbagai penjuru dunia. Hal ini menuntut para manajer untuk lebih memperhatikan secara saksama dinamika lingkungan yang ada yang kemungkinan besar akan merubah system manajemen yang dipergunakan. Sistem manajemen yang berlaku global mempengaruhi pola berfikir manajer rumah sakit, dengan menekankan pada aspek efisiensi, efektif dan produktifitas serta memperhatikan pemerataan pelayanan. Gambaran lain adalah tehnologi kedokteran dan obat-obatan yang berkembang pesat disisi lain rumah sakit adalah lembaga pemberi jasa pelayanan kesehatan yang tergantung pada perkembangan tehnologi kedokteran.
Tehnologi kedokteran mempengaruhi biaya pelayanan rumah sakit. Menurut Trisnantoro (2005) saat ini sektor kesehatan berbeda jauh dengan keadaan 50 tahun lalu. Tehnologi yang digunakan saat ini sangat canggih, sebagi contoh operasi dengan menggunakan peralatan mikro merupakan suatu tindakan yang sama canggihnya dengan tehnologi program ruang angkasa dan militer yang tentu saja memerlukan SDM yang berkompetensi untuk mengelolanya.
Salah satu tehnologi tinggi adalah obat yang dihasilkan oleh industri farmasi. Obat merupakan barang yang sangat dibutuhkan oleh rumah sakit. Kebutuhan akan obat ini sering disertai dengan biaya yang besar. Besarnya omset untuk obat-obatan mencapai 50-60% dari seluruh anggaran rumah sakit. Rumah sakit dapat meningkatkan pendapatan dengan memperbesar omset penjualan obat.
Hal inilah menjadikan rumah sakit menjadii lembaga yang bersifat padat modal, padat karya dan padat tehnologi Ketiga sifat tersebut menuntut pengelolaan keuangan rumah sakit yang lebih professional, berdasarkan hitungan-hitungan ekonomi. Cost recovery rate (CRR) rumah sakit menjadi hal yang sangat penting, penentuan tarif lebih rasional, disertai peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan serta mampu berkembang (growth) dan survive.
Pengertian rumah sakit menurut WHO adalah suatu bagian penyeluruh dari organisasi sosial dan medis berfungsi memberikan pelayanan Kesehatan yang lengkap kepada masyarakat, baik kuratif maupun rehabilitatif, dimana pelayanan keluarga menjangkau pelayanan keluarga dan lingkungan, rumah sakit juga merupakan pusat latihan tenaga kesehatan, serta untuk penelitian biososial.
Dari definisi diatas bahwa rumah sakit disamping memberikan pelayanan kesehatan secara komprehensif kepada masyarakat juga sebagai pusat pendidikan calon tenaga kesehatan. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa rumah sakit juga harus menjalankan fungsi sosialnya. Untuk menjalankan fungsi sosialnya ini sebaiknya anggaran untuk pos sosial tersebut tersedia dalam APBD dan diatur dengan kemudahan-kemudahan pengelolaannya tetapi tetap dengan pengawasan yang ketat. Kita pelajari
Dalam perkembangannya rumah sakit swasta yang dikelola oleh yayasan keagamaan seperti rumah sakit Islam sangat kesulitan dalam memenuhi fungsi sosialnya oleh karena kesulitan dalam hal pendanaan. Hal ini membuat banyak rumah sakit swasta bahkan yang dikelola oleh yayasan keagamaanpun berubah menjadi lembaga for profit sebagai jawaban terhadap perubahan lingkungan yang terjadi diluar rumah sakit akibat pengaruh globalisasi.
Walaupun demikian masih banyak rumah sakit keagamaan masih melihat perubahan yang ada tanpa strategi pengembangan yang jelas (Trisnantoro, 2005). Hal ini dapat membawa suatu resiko yaitu rumah sakit keagamaan akan menjadi lembaga usaha yang praktis untuk mencari keuntungan atau menghidupi SDM, akibat hilangnya subsidi dan semakin mahalnya alat dan tenaga kesehatan yang pada akhirnya menuntut pendapatan yang tinggi.
Subsidi yang mengecil atau bahkan tidak ada sama sekali menyebabkan rumah sakit keagamaan kesulitan mencari sumber dana bagi orang miskin yang sakit, sementara penggalian dana-dana kemanusiaan sama sekali tidak dikelola secara sistematis. Penerapan subsidi silang dari kelas atas (VIP) ke kelas bawah (III) tidak rasional.
Penelitian Abeng dan Trisnantoro (1997) disebuah rumah sakit swasta menunjukkan bahwa tarif kamar VIP berada dibawah unit cost. Hal yang dikhawatirkan adalah pasien dikelas bawah justru mensubsidi pasien kelas atas. Kenyataan menunjukkan bahwa konsep sibsidi silang sebenarnya tidak ada ataupun jika ada subsidi silang akan menggerogoti aset dan kemampuan investasi rumah sakit.
Hal yang penting adalah masalah biaya operasional dan pemeliharaan yang tidak semudah biaya investasi untuk memperolehnya. Akibatnya banyak rumah sakit swasta keagamaan yang mempunyai fasilitas fisik dan peralatan yang memadai tetapi kesulitan dalam mencari dana operasional, sehingga menaikan tarif akan menjadi pilihan, disamping itu belum ada standar sumber pendanaan termasuk pembagian sumber pendapatan (keuntungan) apakah untuk pemilik atau untuk pengembangan.
Berdasarkan kenyataan diatas maka rumah sakit mulai berubah menjadi lembaga usaha yang membutuhkan berbagai konsep ekonomi dalam manajemen yang mungkin asing bagi para dokter atau pemilik rumah sakit. Rumah sakit tidak lagi harus dipandang sebagai suatu lembaga yang harus bersandar pada norma-norma dan etika profesi dokter, tetapi lebih mengarah pada suatu lembaga yang harus hidup dan bermutu, berkembang dan mempunyai dasar etika berbagai profesi dan mempunyai etika bisnis. Dengan demikian rumah sakit bukanlah lembaga yang hanya menggunakan prinsip kedokteran dan kesehatan. Rumah sakit merupakan lembaga multiprofesional yang menghasilkan berbagai produk pelayanan kesehatan yang bermutu dengan tetap memperhatikan aspek sosialnya. Impementasinya adalah penerapan ekonomi dalam pelayanan kesehatan harus dilakukan diantaranya dengan melakukan analisis biaya di rumah sakit.
http://rusliakatili.blogspot.com/2007/10/wajah-perumahsakitan-saat-ini.html
Berikut nasehat khusus buat para dokter rumahsakit,....
Memulai secara internal
Sesungguhnya, upaya meningkatkan mutu layanan tidaklah sulit, terpulang pada nurani pelaku kesehatan sebagai niat hakiki untuk memberikan yang terbaik kepada pengguna jasa pelayanan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Rasanya hal ini belum dilakukan secara masif. Kata singkatnya adalah memulai dari internal jajaran kesehatan di semua tingkatan.
Sebagai contoh, ketika pengadaan alat medis masih melakukan mark-up, semisal harga alat kedokteran resminya 500 juta tapi dalam SPJ ditulis 800 juta, maka jangan harap ada peningkatan mutu, karena diawali dengan perilaku yang tidak bermutu bahkan tercela. Bagaimana mungkin mendapatkan buah yang baik ketika menanam benihnya sudah salah? Kasus anggaran dan Kegiatan Anggaran pelayanan kesehatan wilayah timur Indonesia yang dibongkar saat ini. Mari kita renungkan.
Maksud saya jangan hanya direnungkan tetapi mutlak harus diperbaiki dari dalam. Hal yang sama berlaku dalam pelayanan yang bersifat teknis medis. Ketika seorang dokter Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit tidak pernah lagi membaca dan belajar untuk meng-update ilmunya, (karena tidak ada dalam APBD) maka jangan harap ada transfer of knowledge kepada team worknya apalagi kepada masyarakat. (Apalagi jika di intenal rumahsakit sendiri atau struktur di dinas kesehatannya untuk masing-masing bidang atau bagian hanya sibuk memperebutkan porsi anggaran yang sedikit besar dan meminimalkan kegiatan) Artinya pelayanan dan ilmu jalan di tempat alias stagnan. Bila hal ini terjadi maka dalam evaluasi program tidak boleh lagi ada kata “kesadaran masyarakat kurang” dalam bab hambatan dan kendala. Bagaimana mungkin kesadaran masyarakat terhadap kesehatan membaik bila yang berkompeten di bidang kesehatan sendiri tidak pernah belajar, dan hanya mengandalkan ilmu semasa di bangku sekolah semata, atau mereka yang jadi pejabatnya hanya bisa menjawab ”berdasarkan pengalaman ......”, ”atau dulu-dulunya seperti itulah ...........”
Yang herannya peningkatan pendapatan asli daerah dari unit pelayanan kesehatan dijadikan indikator keberhasilan daerah, tingginya angka kunjungan pasien dan rujukan pasien juga demikian. Logikanya adalah semakin bertambah orang yang sakit maka semakin tipis manfaat pelayanan kesehatan yang diterima oleh masyarakat, dan dari sini akan muncul bagaimana pemanfaatan anggaran,.....?
Padahal mempelajari, mengembangkan dan mengamalkan ilmu adalah kewajiban sebagai bentuk tanggung jawab intelektual dan bentuk ungkapan syukur akan ilmu yang dianugerahkan kepada kita. Karenanya, mutu pelayanan kesehatan sekali lagi haruslah dimulai dari internal kesehatan, dilandasi totalitas dan niat untuk dapat memberi manfaat kepada sesama.
Menata Niat
Pertama tak pelak memunculkan pertanyaan: “darimana mulainya?” Menurut pendapat saya, keinginan memberikan layanan kesehatan bermutu diawali dengan niat, maksudnya menata niat dari sanubari untuk memberikan layanan dengan totalitas dan ikhlas.
Mengapa sih, hal ini menjadi penting? Di titik inilah salah satu bagian dari sebuah mata rantai bermula. Mengawali sesuatu memang seringkali sulit, demikian pula layanan kesehatan nan kompleks dan melibatkan banyak hal, mulai yang teknis hingga non teknis. Kata kuncinya adalah mengalahkan diri sendiri…lho koq gitu … ilustrasinya begini: di instituasi layanan kesehatan, kompetensi tertinggi teknis medis adalah seorang dokter, ingat yang dimaksud adalah kompetensi teknis medis bukan manajerial. Di sisi lain layanan yang bermutu dan komprehensif memerlukan juga banyak hal non medis atau penunjangnya, termasuk manajerial, namun tetaplah berangkat dari teknis medis. Untuk itu seorang dokter di institusi layanan kesehatan harus yakin bahwa memberi layanan terbaik di tempat kerja tidak akan mengurangi jumlah kunjungan pasien ketika praktek sore atau malam harinya, justru yang terjadi sebaliknya, bila memberi layanan terbaik di tempat kerja, niscaya akan dicari orang di tempat prakteknya, tanpa menyebar kartu nama, tanpa harus menyuruh kontrol ke praktek, penderita akan datang dengan sendirinya. Nggak percaya, silahkan para sejawat membuktikannya …
Mengapa saya ungkit yang beginian, jujur saja masih ada sejawat yang punya pola pikir keliru, melayani ala kadarnya di tempat kerja (ogah memperjuangkan perbaikan layanan) dengan harapan para pasien datang ke tempat praktek. Pola pikir demikian tak ayal juga diikuti kebanyakan paramedis. Budaya demikian harus dirubah total.
Setelah yakin berniat ikhlas, langkah selanjutnya adalah membuat planning matang dengan mengedepankan kepentingan khalayak, artinya kebiasaan mark-up atau istilah apapun namanya harus dihilangkan. Mulai pengadaan, operasional, berbagai belanja barang dan jasa, keperluan rutin, serta segala item program dalam perencanaan mutlak harus realisized. Contoh paling gamblang, jangan lagi beli barang seharga 2 juta minta ditulis 3 juta dalam spj, rapat kerja 3 hari dipertanggung jawabkan 6 hari, nasi kotak diganti nasi bungkus, perjalanan 2 hari dipertanggung jawabkan 4 hari, dll … dll. Pendeknya sejak awal harus melangkah dengan benar. Bayangkan ketika dari awal sudah membuat kesalahan yang dibuat seakan-akan benar dengan membolak balik bahasa dan memanfaatkan lemahnya sistem, niscaya perbaikan mutu layanan kesehatan hanyalah ungkapan kosong tanpa makna. Dampaknya, masyarakat tidak mendapatkan manfaat optimal dari program kesehatan apapun bentuk dan namanya.
Sebuah pengalaman menarik perlu saya ungkapkan di media ini. Ketika tahun 2001 lalu saya diberi tugas mempersiapkan pembangunan Rawat Inap di Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit, perintahnya sangat sederhana namun maknanya luas, Ka Dinkes ketika itu hanya berfatwa pendek: “siapkan dan kelola dengan optimal”. Namun ketika draft pembangunan gedung hingga SOP dan Perda usai tersusun, hambatan pertama justru datang dari internal kesehatan. Lontaran argumen macam-macam, yang Kepmenkes lah, yang Permenkes lah dll, padahal UUD 1945 dan Renstra Nasional Bidang Kesehatan jelas-jelas mengamanatkan perbaikan mutu layanan dilengkapi dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM). So ngga usah kaget, penyebabnya mungkin ego sektoral atau jangan-jangan setengah hati meneriakkan Pelayanan Optimal, atau mungkin juga tidak mengerti seluk beluk layanan medis dan harapan khalayak … Untungnya Ka Dinkes saat itu tetap support.
Jalan berliku, bermuara pada hearing di DPRD, alhasil gol…
Tanpa bermaksud menggurui, tulisan singkat ini anggap aja sebagai ajakan sharing tip dan trik mengelola layanan kesehatan ke arah yang berkualitas, dengan harapan memberi manfaat bagi sesama dan mudah-mudahan mendapatkan ridho-Nya.
Inti segmen tulisan ini adalah perlunya memotivasi diri sendiri sebagai dokter, sebagai paramedis dan sebagai apasaja secara fungsional dan struktural bahwa yang utama dan pertama dalam layanan kesehatan adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya, ramah dan sabar, niscaya yang lain datang kemudian, dalam bentuk dan waktu yang kita sendiri tidak menyadarinya.
Menyusun Protap
Ilustrasi:
Tak jarang kita menyaksikan gambaran layanan medis di instalasi gawat darurat milik pemerintah mulai tataran primer hingga tersier, dari institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit hingga rumah sakit tipe A, sebagai berikut:
Tengah malam, penderita datang dengan status asmatikus, kecelakaan, ibu mau melahirkan, kolik abdomen, anak kejang, diare dan lain-lain … Apa yang kita lihat? Ada yang bagus, petugas dengan terampil melakukan tindakan medik secepatnya atas instruksi dokter jaga. Atau tindakan medik segera dilakukan oleh paramedis, lalu menghubungi dokter dimanapun berada, setelah dilakukan pertolongan pertama, untuk mendapatkan pemeriksaan dan instruksi lanjutan dari dokter yang berkompeten saat itu.
Sayangnya tidak semua seperti yang bagus di atas, justru yang kita saksikan adalah sebaliknya, yakni drama “penantian” tanpa ujung yang jelas. Kebanyakan: nunggu, nunggu dan menunggu. Jujur saja, kalau kita berani nanya kepada penderita atau keluarganya yang mendapatkan perlakuan demikian, atau kita sendiri mengalami hal yang sama, tentu kecewa. Apa sih yang diharapkan oleh penderita ketika datang di instalasi gawat darurat?
Pertama, tentu layanan yang cepat, ramah dan support. Maksudnya, ketika penderita datang, bila ternyata tidak perlu opname, mereka segera diperiksa lalu mendapatkan obat dan secepatnya bisa segera pulang, tentu dengan beberapa advis berkenaan dengan penyakitnya.
Kedua, bila ternyata harus opname, mereka segera diperiksa dan mendapatkan tindakan medis awal semisal infus, oksigen dan sejenisnya untuk kemudian dilakukan tindakan lanjutan sesuai penyakitnya. Itulah kira-kira logika sederhana harapan penderita yang rata-rata awam tentang medis.
Apakah harapan penderita sudah nyambung? Jujur aja, kayaknya belum tuh dan entah kapan mau dperbaiki, maaf deh kalau dianggap pedas, … hitung-hitung otokritik untuk sejawat. Yang udah bagus mungkin bisa sharing
Sebenarnya tidaklah sulit memperbaikinya, sungguh … Mungkin para sejawat ada yang bertanya: bagaimana bila ketika itu tidak ada dokter jaga, atau mungkin pas dokter jaganya sedang menangani penderita lain di ruang perawatan hingga tidak bisa menangani penderita di instalasi gawat darurat pada saat bersamaan? Jawabnya adalah prosedur tetap (sop) dan pendelegasian wewenang.
Artinya, ada ngga ada dokter di instalasi gawat darurat, paramedis mampu memberikan tindakan medis awal sebagai pertolongan pertama, berdasarkan prosedur tetap (sop) yang sudah baku dan delegasi dari dokter yang berkompeten saat itu tentunya. Itupun masih dipermudah dengan komunikasi tilpon atau hp antara paramedis dengan dokter, sehingga drama “penantian” penderita di instalasi gawat darurat bisa diminimalisir bahkan dihilangkan.
Memang ada UU No. 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan, yang mengatur kewenangan paramedis, namun di sisi lain toh paramedis juga yang akhirnya masang infus, nyuntik dan sejenisnya atas instruksi dokter. Langkah layanan cepat di atas sesungguhnya hanyalah penyederhanaan waktu, karenanya tindakan medis sebagai langkah awal oleh paramedis dan pendelegasian wewenang, menurut saya bukan pelanggaran, atau masih bisa diperdebatkan.
Sebagai contoh, ketika tengah malam ada penderita dengan status asmatikus datang ke instalasi gawat darurat, dan saat itu dokter jaga sedang menolong penderita lain di ruangan atau tidak ada di tempat, tentu akan sangat menolong bila paramedis mampu melakukan tindakan medis secara cepat dengan segera memberikan oksigen, injeksi subkutan ataupun intravena, pasang infus, nebulizer dan tindakan lain yang diperlukan sesuai prosedur tetap. Lima sampai limabelas menit sungguh amat menolong daripada nunggu menghubungi dokter jaga. Setelahnya masih bisa menghubungi dokter jaga via hp.
Persoalannya adalah: sudahkah semua institusi layanan kesehatan mulai institusi pelayanankesehatan/rumahsakit perawatan hingga rumah sakit di dati II memiliki prosedur tetap tertulis? Dari beberapa sejawat yang saya temui, sayangnya kebanyakan belum memiliki SOP. Padahal SOP seberapapun sederhananya, adalah salah satu bentuk perlindungan terhadap profesi maupun penderita.
Bagi yang sudah punya SOP pun masih menyisakan tanya: apakah SOP sudah dipatuhi oleh semua komponen institusi layanan kesehatan? Apakah dokter rutin mengadakan medical review dan transfer ilmu kepada paramedis? Apakah dokter rajin meng-up date ilmu nya?
Pertanyaan akhir: apakah layanan bermutu sesuai harapan khalayak bisa diwujudkan? Jawabnya lagi-lagi bisa dan tidak sulit. Kuncinya hanyalah niat, kesungguhan dan sedikit perjuangan.

Mungkin ini jalan keluar?

Hidup sehat merupakan kebutuhan utama (primer) setiap orang. Oleh karenanya, hak atas pelayanan kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM). Dalam hal ini, pemerintah dan praktisi kesehatan masyarakat bertanggung jawab untuk berupaya merealisasikan adanya kebijakan yang lebih baik, sistem yang berkualitas, dana yang cukup, fasilitas dan tenaga medis yang memadai guna menjamin terlaksananya program kesehatan masyarakat.
Pelayanan yang baik dan memuaskan bisa diwujudkan secara bersama antara pengguna jasa pelayanan dan petugas kesehatan. Artinya, kritik, complain maupun keluhan konsumen semestinya tidak diartikan sebagai serangan, tetapi diterima sebagai koreksi terhadap cara berpikir dan cara melayani konsumen. Dari keluhan konsumen, petugas kesehatan dapat mengetahui keinginan konsumen dan kekurangan yang dimilikinya. Namun, kondisi ini harus disertai pula dengan perbaikan pada aspek kebijakan dan manajemen. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa kondisi yang tampak dalam pelayanan kesehatan.
1. Fasilitas kesehatan (formal) yang tersedia masih relatif baru, dan belum mengakar atau belum dirasakan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, tetapi tidak tersedia standar quality of care yang berbasis konsumen. Sebaliknya, masyarakat memiliki sistem pengobatan atau pengetahuan mengenai perawatan kesehatan (biomedis), yang relatif berakar dari tradisi dan kebudayaan mereka. Kondisi budaya ini di satu sisi menjadi kendala dalam pelayanan medis, di sisi lain mampu memenuhi kebutuhan masyarakat secara murah dan mudah.
2. Kecenderungan perilaku para praktisi medis yang tidak mempertimbangkan proses-proses komunikasi atau pertukaran informasi, dan interaksi sosial yang saling menguntungkan. Rosalia Sciortino dalam “Menuju Kesehatan Madani” (1999:78) menyebut adanya “konstruksi rahasia” yang dipertahankan petugas kesehatan.
3. Pada umumnya konsumen sebagai pengguna jasa kesehatan seperti pasien, klien tidak menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang memuaskan. Artinya, seorang pasien berhak untuk mempertanyakan pelayanan dokter yang dirasakannya tidak jelas, bahkan memberatkan konsumen itu sendiri.
Memahami Hak dan Kewajiban Konsumen

Dalam berbagai kesempatan diskusi dengan kelompok konsumen, pertanyaan yang sering muncul adalah apa saja hak-hak konsumen dalam pelayanan kesehatan, bagaimana sebaiknya pelayanan yang berkualitas?
Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa istilah konsumen dalam pelayanan kesehatan mencakup pengertian mereka yang menerima pelayanan jasa maupun obat-obatan dari petugas kesehatan (paramedis, bidan, dokter), yang secara khusus disebut klien, pasien. Sedangkan yang dimaksud pelayanan yang berkualitas biasanya mengacu pada pengertian Quality of Care atau standar pelayanan yang berkualitas, yakni pelayanan yang menghormati hak-hak konsumen. Setiap konsumen memiliki hak yang dilindungi undang-undang. Sebagai pasien, konsumen berhak:
1. Mendapatkan informasi yang dapat dipahaminya mengenai penyakit yang diderita, cara pengobatan, prosedur perawatan, efek samping pengobatan, kelebihan maupun kekurangan pengobatan, biaya, pendapat dari petugas kesehatan lainnya, hal-hal dirahasiakan, catatan medis petugas kesehatan, dan izin persetujuan pasien bila ingin akan dioperasi.
2. Memperoleh rasa aman dari semua proses pelayanan, dan jaminan keamanan/keselamatannya.
3. Mendapatkan ganti rugi apabila terjadi malpraktek yang dilakukan petugas kesehatan. Contoh aktual adalah bayi yang dilahirkan cacat (tanpa tangan) di RSUD Bayu Asih Purwakarta (Kompas, 26 Juni 1997). Orang tua bayi itu menuduh pihak RS, dalam hal ini bidan, karena kecerobohan dalam pelayanannya, telah menyebabkan anak mereka cacat seumur hidup. Kasus ini kemudian dibawa ke pengadilan dengan tuntutan 1 milyar rupiah, meskipun akhirnya ditempuh jalan damai dengan ganti rugi 25 juta rupiah.
4. Memilih tempat pelayanan yang diinginkannya, membatalkan persetujuan sewaktu-waktu, dan jika dianggap perlu, ia menolak suatu metode pengobatan atau tindakan medis tertentu.
Sebagai pasien, konsumen memiliki kewajiban, yaitu:
1. Mengetahui sejarah atau riwayat pengobatannya;
2. Menepati janji dengan petugas kesehatan;
3. Bersedia bekerja sama dan mematuhi perawatan yang diberikan;
4. Memberitahu petugas kesehatan jika ia menerima perawatan dari dokter yang lain;
5. Jika menggunakan jasa asuransi, ia berkewajiban mengetahui apa yang dapat atau tidak dapat diatasi oleh perusahaan asuransi.
Kebanyakan konsumen juga petugas kesehatan tidak mengetahui hak-hak dan kewajiban konsumen. Hanya sebagian kecil konsumen menyadari hak-haknya, tetapi tidak merasa percaya diri untuk mengemukakannya di tenpat pemeriksaan. Sebaliknya, petugas kesehatan yang mengerti hak-hak konsumen tidak mau peduli. Banyak alasan yang seringkali dikemukakan, misalnya keterbatasan petugas dan fasilitas tidak memadai, yang tidak seimbang dengan banyaknya pasien yang berkunjung setiap hari kerja. Bahkan petugas kesehatan menyadari bahwa masyarakat tidak mengerti cara hidup sehat, tidak disiplin, dan seterusnya. Padahal masyarakat tidak pernah belajar di sekolah kesehatan.
Dari persoalan ini sebenarnya tuntutan akan pelayanan kesehatan yang memuaskan (berkualitas) semakin kompleks. Namun harus diyakini bahwa ukuran kepuasan tidak bisa bertolak dari kepentingan individu saja karena kepuasan individual tidak ada batasnya. Ukuran standar yang bisa dijadikan pedoman adalah kebutuhan orang banyak yang selama ini sudah dibakukan, misalnya oleh IPPF (International Planned Parenthood Federation), organisasi KB dunia, yang merumuskan 10 hak-hak klien KB antara lain: hak atas informasi, menentukan pilihan, mendapatkan pelayanan kapan dan di mana saja (akses), hak atas keamanan, kenyamanan, kerahasiaan, hak mengajukan protes (berpendapat), dan kemudian ditambahkan oleh YLKI dan PKBI; hak ganti rugi. Oleh sebab itu, proses pencapaian pelayanan yang memuaskan tidak bisa tidak melibatkan orang banyak. Konsumen dan pengelola pelayanan kesehatan bisa bersama-sama merumuskan standar pelayanan yang berkualitas (quality of care), di tingkat desa sekalipun.

Bertolak dari “Quality of Care”
Konsep quality of care adalah istilah yang digunakan secara luas dalam pelayanan kesehatan, yang dapat dipandang dari provider (penyedia jasa) dan klien (konsumen). Dari sisi provider, standar quality of care di Indonesia belum jelas. Konsep ini biasanya dirujuk pada prinsip-prinsip manajemen pengawasan kualitas terhadap fasilitas pelayanan kesehatan umum, yakni penyediaan pelayanan kesehatan yang terus menerus memperbaiki diri dengan memperhatikan kebutuhan dan tuntutan pasien, dokter, petugas, dan komunitas setempat. Dasarnya adalah “problem solving”, yaitu pemantauan masalah dan mencari jalan keluar dengan memperbaiki akar masalah secara berkelanjutan (The Population Council, 1994).
Dari sisi klien, ukuran standar pelayanan cukup jelas, yakni mengacu pada pemenuhan hak-hak pasien, atau hak-hak klien kesehatan reproduksi, atau pun hak-hak konsumen sebagaimana yang diatur dalam UUPK No. 8 No. 1999, Pasal 4.
Ukuran pencapaian pelayanan kesehatan selama ini lebih berorientasi pada pencapaian target sarana pelayanan dan penerima layanannya. Gejala seperti ini terutama terjadi di tingkat pelayanan kesehatan dasar di pedesaan, dan pinggiran kota. Aspek pemenuhan kualitas kesehatan, tanggung jawab sosial, dan pembelajaran kesehatan bagi pengguna (konsumen) terabaikan. Konsumen tidak memperoleh manfaat yang optimal dari pelayanan kesehatan.
Pada tahun 1990, Judith Bruce dari Population Council menempatkan enam elemen dasar yang kemudian dikenal dengan “Bruce Framework” dan menjadi sumber utama bagi penelitian mengenai kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi dari sisi tenaga kesehatan.
1. Pilihan terhadap Metode Layanan. Setiap metode layanan (KB) tersedia bagi perempuan dan laki-laki yang ingin merencanakan keluarganya.
2. Informasi untuk Klien. Informasi yang berkualitas dapat berdampak pada bagaimana klien menggunakan metode kontrasepsi. Informasi yang diberikan harus berisi pula informasi mengenai tiap metode, cara penggunaan metode, dan efek sampingnya.
3. Keterampilan Teknis. Mempertahankan kondisi aseptic, menjalankan protokol (aturan) dan staf yang kompeten melakukan teknis klinik.
4. Hubungan Antarpribadi. Bagaimana klien berinteraksi dengan tenaga kesehatan, apakah cukup simpatik dan cukup waktu untuk bertemu dengan kliennya.
5. Mekanisme untuk Mendorong Keberlanjutan. Klien dapat didorong meneruskan penggunaan kontrasepsi yang efektif melalui berbagai cara, termasuk kartu untuk mengingatkan dan kunjungan rumah.
6. Pelayanan yang Terpadu. Klien memerlukan pelayanan yang nyaman dan terpadu. Misalnya, pelayanan KB terpadu dengan pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan pasca persalinan, dan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya.
Jadi, strategi dasar yang penting dilakukan aktifis organisasi konsumen yang melakukan pendampingan konsumen kesehatan adalah dengan memperkuat pengorganisasian dan pendidikan kritis bagi kelompok-kelompok konsumen yang rentan seperti petani, perempuan, buruh dan kaum miskin kota. Pendamping atau organizer bersama kelompok konsumen merumuskan:
1. Masalah dan akar masalah,
2. Bentuk-bentuk kasus yang dialami konsumen,
3. Instansi dan orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab,
4. Inisiatif konsumen sendiri dalam mengatasi masalahnya,
5. Usaha (aksi-aksi) bersama menggugat petugas kesehatan di tempat pelayanan,
6. Usulan, konsep, cara pandang konsumen terhadap pelayanan yang diinginkan atau pelayanan yang berkualitas (quality of care versi konsumen),
7. Penyebarluasan informasi terus-menerus kepada konsumen yang lain.
Mengingat gerakan konsumen saat ini didukung oleh kebijakan yang relatif jelas dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), maka organisasi konsumen dapat mengambil peran dengan melakukan advokasi kebijakan dan pembelaan hukum. Bukan hal yang mustahil, bila suatu waktu konsumen dapat mengadili provider pelayanan kesehatan atas dasar pelanggaran terhadap hak-hak konsumen secara perorangan atau pun berkelompok (class-action).
Akhirnya, mutu pelayanan rumahsakit diciptakan dari persepsi yag sama dari pilar-pilar mutu pelayanan dan pilar-pilar aksessability pelayanan rumahsakit.

Jonirasmanto, SKM, MKES
Penulis adalah magister manajemen rumahsakit UGM dan seorang calon widyaiswara dari kabupaten Merangin, sedang mempersiapkan diri untuk Stratifikasi Khusus Widyaiswara secara mandiri.

Sumber:

  1. http://rusliakatili.blogspot.com/2007/10/wajah-perumahsakitan-saat-ini.html
  2. Catatan Kuliah Manajemen Rumah Sakit
  3. Tesis Evaluasi Mutu Pelayanan Kesehatan Rawat Inap melalui Audit Kematian
  4. BMJ Journal
  5. Wikipedia Indonesia
  6. Pedoman Pelayanan Kesehatan Depkes RI
Powered By Blogger