Jumat, Februari 11

Manipulasi Ayat Gaya Zuhairi Misrawi

assalaamu’alaikum wr. wb.

Zuhairi Misrawi menuliskan opininya pada surat kabar Republika edisi Jum’at, 8 Desember 2006, dengan judul “Pluralisme Berbasis Alquran”. Tepat di bawah nama Zuhairi terpampang predikat “Sarjana Akidah Islam, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir”. Predikat ini semestinya menjadi jaminan mutu bagi artikel yang ditulisnya, karena Universitas Al-Azhar sudah kadung dikenal sebagai salah satu perguruan tinggi Islam terbesar di dunia.

Meski demikian, memang tidak semestinya kita bersikap tidak kritis pada seorang manusia yang jelas-jelas tidak ma’shum, apalagi menerima semua kata-katanya tanpa kritis sama sekali hanya karena titel yang disandangnya. Setelah membaca artikelnya, saya dipaksa untuk kecewa bukan kepalang kepada Al-Azhar. Saya akan jelaskan sebabnya.

Seperti yang dapat Anda lihat pada judul artikel Zuhairi Misrawi ini, sang penulis jelas-jelas sedang mempromosikan paham pluralisme. Saya berusaha berbaik sangka, karena pengertian pluralisme sendiri hingga kini tidak pernah bulat. Ada yang menganggap pluralisme adalah konsep ‘persamaan agama’, ada pula yang menganggap pluralisme hanya sebagai acuan untuk sikap toleransi antarumat beragama.

Kekecewaan saya bermula pada bagian akhir paragraf ketiga dan berlanjut pada keseluruhan paragraf keempat dari artikel tersebut. Berikut ini adalah kutipannya :

…kita dapat mengambil kesimpulan teologis, bahwa Alquran merupakan kitab suci yang menghargai, bahkan menjunjung tinggi kitab suci agama-agama terdahulu.

Hasil riset saya, Surat Al-Ma’idah merupakan surat yang amat pluralis, karena menyebutkan Injil sebagai petunjuk dan cahaya (Q.S. Al-Ma’idah [5] : 46) dan Taurat sebagai petunjuk dan cahaya (Q.S. Al-Ma’idah [5] : 44). Kendatipun sebagian Muslim menolak Injil dan Taurat, tetapi Allah SWT justru menjunjung keduanya.

Kesalahan mendasar Zuhairi Misrawi – yang menyandang gelar sarjana dari Universitas Al-Azhar itu – adalah ketika ia menganggap Taurat dan Injil sebagai kitab suci agama-agama selain Islam. Pernyataan ini saya maknai sebagai bentuk penistaan Kitab Suci. Jika Taurat dan Injil dianggap bukan sebagai Kitab Suci umat Islam, maka itu artinya Zuhairi telah mengklaim bahwa ajaran yang dikandung di dalamnya adalah ajaran yang kufur. Saya kurang paham sekomprehensif apa ‘riset’ yang dikatakannya pada paragraf keempat dari artikelnya itu, tapi nampaknya ia hanya membaca ayat-ayat yang sesuai dengan keinginannya saja.

Zuhairi nampaknya melakukan dua kekeliruan sekaligus, yaitu :

1. Gagal membedakan antara ‘kitab-kitab suci terdahulu’ dengan ‘kitab suci agama-agama terdahulu’.

2. Jika kitab-kitab suci terdahulu dianggap berasal dari agama lain, maka para Nabi penerimanya pun (dalam hal ini Nabi Musa as. dan Nabi ‘Isa as) juga tidak dianggapnya sebagai Muslim. Ini pun sebuah kesalahan yang amat besar.

Al-Qur’an memuji Taurat dan Injil, karena memang kehadirannya bukan untuk menafikan keberadaan kedua kitab suci tersebut, melainkan untuk membenarkan dan menyempurnakannya. Masalah besar yang terjadi pada umat Yahudi dan Nasrani adalah karena mereka telah mengubah-ubah isi Taurat dan Injil. Jika mereka tidak melakukan hal itu, tentu mereka tidak akan tersesat.

Barangkali ‘riset’ Zuhairi tidak mencakup penyimakan atas Q.S. Al-An’aam [6] : 91 yang mengungkap dengan jelas kegiatan mencerai-beraikan kitabnya Nabi Musa as. ini (kitab yang mana lagi kalau bukan Taurat?) :

Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya di kala mereka berkata: "Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia". Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui (nya)?" Katakanlah: "Allah-lah (yang menurunkannya)", kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Qur'an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya. (Q.S. Al-An’aam [6] : 91)

Ada baiknya juga sekiranya Zuhairi mau membuka mushaf di rumahnya untuk membaca uraian pada Q.S. An-Nisaa [4] : 44-47, karena di sana juga dijelaskan mengenai tindakan bejat kaum Yahudi yang mengubah-ubah petunjuk yang didapatnya sesuka hatinya. Amat disayangkan jika ayat-ayat ini luput begitu saja dari ‘riset’ Zuhairi mengenai ‘pluralitas Al-Qur’an’.

Nabi ‘Isa as. dan Kitab Injil pun mengalami nasib yang kurang lebih sama. Q.S. Al-Baqarah [2] : 87 menjelaskan perihal pengkhianatan kaumnya Nabi Musa as. dan Nabi ‘Isa as. terhadap ajaran yang lurus yang didakwahkan oleh para Nabi yang mulia dengan retorika berikut :

Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada `Isa putra Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul-Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh; maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh? (Q.S. Al-Baqarah [2] : 87)

Ucapan Zuhairi yang menuduh sebagian besar Muslim telah menolak Injil dan Taurat adalah tuduhan tak berdasar sama sekali, karena Al-Qur’an jelas-jelas datang untuk membenarkan kedua Kitab Suci tersebut. Masalahnya bukan meragukan kebenaran Injil dan Taurat, melainkan karena Injil dan Taurat yang asli sudah hilang entah kemana. Yang tersisa kini hanyalah kitab-kitab yang tak bisa dijamin kebenarannya.

Menganggap Injil sama dengan Bibel adalah sebuah kecerobohan luar biasa. Ahmad Deedat pernah mendemonstrasikan bukti mengapa Bibel tidak bisa dijamin keasliannya. Beliau pernah mendemonstrasikan di hadapan ribuan orang bagaimana menyelipkan beberapa kata ke dalam sebuah ayat yang berasal dari Bibel, dan tak ada seorang pun yang menyadari penambahan kata tersebut. Jika demikian, apa jaminannya kitab tersebut adalah kitab asli yang diperoleh Nabi ‘Isa as. dari Tuhan dua milenium yang lalu, sementara Ahmad Deedat mampu memanipulasi satu ayatnya dalam hitungan detik saja? Hal ini berbeda dengan Al-Qur’an, dimana perubahan satu huruf atau satu harakat saja akan menemui teguran dari sekian banyak hafizh Qur’an.

Umat Yahudi juga dikenal sangat tidak konsisten dengan Taurat. Rasulullah saw. meneruskan ajaran Taurat dengan mempraktekkan hukum rajam bagi pezina, sementara kaum Yahudi sendiri (yang mengaku sebagai pewaris sejati Nabi Musa as.) justru tidak melaksanakannya. Ini karena Rasulullah saw. meyakini kebenaran risalah Nabi Musa as. sebagai pendahulunya, sedangkan kaum Bani Israil hanya menjalankan apa-apa yang disukainya dari Taurat dan meninggalkan apa-apa yang tidak sesuai dengan keinginannya. Tidak jauh beda dengan sikap Zuhairi Misrawi dengan ‘riset’-nya ini.

Apa jaminannya umat Yahudi yang dikenal dengan sifatnya yang gemar berkhianat tidak pernah mengubah Taurat sejak ribuan tahun yang lalu? Apa jaminannya kitab yang mereka pegang sekarang adalah Taurat yang dahulu diwariskan oleh Nabi Musa as.? Inilah masalah yang mengharuskan seorang Muslim untuk menolak Bibel dan ‘Taurat’ yang kini dipegang oleh umat Yahudi. Tidak ada yang akan menolak Taurat dan Injil sekiranya kedua kitab tersebut masih ada dalam bentuk aslinya.

Jika Zuhairi menganggap bahwa Taurat dan Injil adalah Kitab Suci dari agama-agama selain Islam, maka otomatis ia pun telah mengkafirkan Nabi Musa as. dan Nabi ‘Isa as. sebagai penerima kedua kitab tersebut. Na’uudzubillaah! Saya tidak akan membicarakan lebih jauh mengenai penistaan kedua Rasul yang mulia ini, namun saya akan menunjukkan dengan jelas letak kesalahannya.Sekali lagi, saya amat menyayangkan ‘riset’ Zuhairi nampaknya memang tidak pernah menyentuh ayat di bawah ini :

Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan ‘Isa serta apa yang diberikan kepada Nabi-Nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya". (Q.S. Al-Baqarah [2] : 136)

Q.S. Ali Imraan [3] : 84 berbicara mengenai hal yang kurang lebih sama, yaitu bahwa para Nabi adalah sama-sama utusan Allah dan tidak dibeda-bedakan oleh umat Islam. Semuanya adalah hamba Allah yang taat. Hanya umatnya sajalah yang memanipulasi ajaran yang lurus sehingga menjadi bengkok tak keruan.

Dengan membaca ayat di atas, barangkali masih ada juga yang ngeyel dan berpendapat bahwa Allah memang tidak membeda-bedakan para Nabi, namun risalah mereka tetaplah berbeda.Dengan kata lain, agamanya pun beda! Tentu saja, karena para penganut paham pluralisme menganggap semua agama menuju kepada satu sumber, yaitu Tuhan yang sejati. Terhadap argumen semacam ini, perlu saya jelaskan terlebih dahulu kesalahan fatal umat Yahudi dan Nasrani sebagaimana yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an :

Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putra Allah" dan orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putra Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?(Q.S. At-Taubah [9] : 30)

Pernahkah Nabi Musa as. menyebut Uzair sebagai putra Allah? Pernahkah Nabi ‘Isa as. mengaku-ngaku sebagai putra Allah? Jika memang benar demikian, tentu urusan sebesar ini tidak akan luput dari Al-Qur’an. Kenyataannya, Al-Qur’an tak pernah sekalipun menceritakan mengenai hal ini.Setiap kali Nabi Musa as. berdoa, tujuannya hanya kepada Allah, tidak pernah kepada Uzair.Demikian juga Nabi ‘Isa as. tidak pernah mengaku sebagai putra Allah, melainkan sebagai putranya Maryam yang tak berayah.

Dari sini jelaslah bahwa Nabi Musa as. bukanlah seorang Yahudi, demikian pula Nabi ‘Isa as. bukanlah seorang Nasrani, karena kedua manusia mulia ini tidak pernah mengakui hal-hal seperti yang di atas. Kedua Nabi yang mulia ini adalah Muslim tulen yang ajaran tauhid-nya persis sama dengan tauhid yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Saya anjurkan setiap orang untuk mengadakan ‘riset pribadi’ dan meneliti ajaran tauhid yang dibawa oleh Nabi Musa as. dan Nabi ‘Isa as. – sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an, Kitab Suci umat Islam yang amat dipercaya keasliannya – dan memperbandingkannya dengan ajaran tauhid dari Rasulullah saw. Adakah bedanya?

Terus terang saya kecewa pada Universitas Al-Azhar yang punya nama sangat besar itu, karena telah melahirkan seorang sarjana bidang aqidah Islam yang tidak mampu melihat persamaan antara aqidah warisan Rasulullah saw. dengan aqidah-nya Nabi Musa as. dan Nabi ‘Isa as. Saya juga kecewa sekali karena Zuhairi tidak mampu melaksanakan riset secara komprehensif. Jika memang membuka lembaran-lembaran mushaf dianggapnya terlalu merepotkan, saya sarankan kepada Zuhairi untuk menggunakan software Al-Qur’an seperti yang saya gunakan. Saya menggunakan software Digital Al-Qur’an versi 3.2 produksi Sgm Soft yang saya beli di Bandung dengan harga sangat terjangkau tahun 2005 silam. Saya yakin Zuhairi sanggup membeli softwaresemacam yang saya miliki ini.

Tapi kalau memang sejak awal sudah berniat mengambil ayat-ayat yang dianggap mendukung pendapatnya sendiri dan menyembunyikan yang lainnya, maka itu sudah lain soal. Jika memang demikian yang terjadi, maka Zuhairi sudah terjangkit penyakit sebagaimana yang telah dialami oleh umat Yahudi dan Nasrani, yaitu sifat gemar menukar ayat-ayat Allah sesuka hati. Atas penyakit semacam ini, saya hanya bisa mengingatkan dengan sebuah ayat Allah yang mudah-mudahan bisa menyentuh hati terdalam setiap orang yang di hatinya masih ada iman meski sebesar dzarrah:

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah tobat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima tobatnya dan Akulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Baqarah [2] : 160-161)

Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya, dustalah semua yang menyelisihi-Nya!

wassalaamu’alaikum wr. wb.

http://akmal.multiply.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger