Minggu, Desember 27

Hidup Untuk Orang Lain


Lahir, hidup, berketurunan dan meninggal. Mayoritas seperti itulah yang dialami penduduk dunia. Mereka muncul ke dunia, hidup dan pada akhirnya, hanya meninggalkan batu nisan bertuliskan nama dan tanggal wafatnya, tanpa meninggalkan sesuatu yang berharga untuk generasi sesudahnya.

Hal itu sungguh jauh dari ajaran Islam yang paripurna. Islam mengajarkan kepada semua umat, agar takut ketika meninggalkan generasi lemah tanpa daya, (QS. An-Nisa’ [4]: 9). Artinya adalah, hendaklah setiap generasi mampu memberdayakan generasi selanjutnya untuk melahirkan generasi madani yang mampu menyebarkan kalimah Allah di muka bumi, menjadi khalifatullah fil Ardh.

Semua orang ber-ijma, bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk jamaah, makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia harus berinteraksi (silaturahim) dengan makhluk lainnya untuk menjaga eksistensinya. Oleh karena itu, sikap egois haruslah dikikis. Dan yang harus ditanamkan dalam diri kita adalah prinsip ‘hidup untuk orang lain’.

Orang yang hidup untuk orang lain akan berjaya sepanjang masa, nama mereka dikenang sepanjang sejarah sebagai pengukir di arca peradaban. Rasulullah SAW adalah bukti terdekat yang bisa kita contoh, kehidupan beliau didedikasikan sepenuhnya untuk Islam dan umat tercintanya, bahkan yang terucap dari bibir beliau menjelang wafat adalah panggilan kepada umatnya, ‘ummatii, ummatii’, bukan harta, tahta apalagi wanita.

Orang-orang yang dikenang jasanya pada masa kini bahkan masa depan adalah orang-orang yang mencurahkan hidunya untuk orang lain, mereka berkarya meninggalkan warisan untuk generasi sesudahnya, mereka hidup bukan untuk dirinya tapi hidup untuk orang lain, memberikan manfaat untuk orang lain. Karena mereka berkeyakinan bahwa, “Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” (HR Bukhari).

Dengan berprinsip pada ‘hidup untuk orang lain’, mereka sungguh merasakan nikmatnya panjang umur. Nama mereka harum di buku-buku sejarah. Karena hakikat panjang umur bukanlah banyaknya kuantitas umur yang kita miliki, tapi seberapa besar dan banyaknya karya yang kita hasilkan untuk generasi sesudah kehidupan kita.

Untuk bisa hidup untuk orang lain, dibutuhkan kerja yang tidak ringan dan sembarangan. Imam Bukhari menulis Shahih Bukhari selama 16 tahun. Imam Muslim menyusun Shahih Muslim selama 15 tahun. Ibnu Hajar Ats Qalany menulis Fathul Bari selama 32 tahun. Ibnu Abd al Bar menulis at Tamhid selama 30 tahun. Abu Ubaid menulis kitab Gharib al Hadits selama 40 tahun. Dan masih banyak lagi.

Mereka menulis dengan tangan, alat tulis serba sederhana dan tanpa cahaya, tidak ada royalti yang mereka terima. SEMANGAT dan KEIKHLASAN untuk orang lainlah yang menjadi modal utama yang mereka imani, bagaimana dengan kita yang hidup di abad modern ini? Apa ilmu yang sudah kita print-kan dari Hp deskjet3535 dengan komputer pentium lima untuk peradaban? Tidakkah kita malu?

Apa yang dilakukan ulama salafushalih itu sungguh sangat berkesesuaian dengan ayat yang tercantum dalam QS al-Mulk: 2, agar kita menghasilkan karya dengan kualitas terbaik. “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya….” (QS. Al-Mulk [67]: 2).

Namun, sebagai umat yang taat, apapun yang kita lakukan akan bernilai ibadah dan penuh berkah jika kita niatkan untuk menggapai mardhatillah. Demikianlah, semoga kita bisa mewariskan sesuatu yang berharga untuk generasi selanjutnya.

Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger