Kamis, Desember 24

Obat-obat Yang Berpengaruh Pada Kehamilan

Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Berbagai pilihan obat saat ini tersedia, sehingga diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang cermat dalam memilih obat untuk suatu penyakit. Tidak kalah penting, obat harus selalu digunakan secara benar agar memberikan manfaat klinik yang optimal

Pada hampir semua bahan obat harus diperhitungkan efek sampingnya, yaitu kerja yang berpengaruh selain kerja utamanya. Ini dapat berupa hal-hal yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, tidak merugikan atau parah, dapat diperkirakan sebelumnya atau tidak, tergantung kepada dosis atau tidak, bergantung kepada jenis efek samping dan kondisi khusus2.
Kehamilan merupakan proses alamiah dalam kehidupan biologik wanita. Seperti halnya individu-individu lain dalam populasi, maka seorang wanita hamil suatu saat dalam masa kehamilannya memerlukan terapi obat oleh karena gangguan kesehatan yang diderita, baik yang berkaitan maupun yang tidak berkaitan dengan proses kehamilan3. Kemungkinan seorang ibu yang sedang hamil akan memerlukan atau memakai obat lebih besar dibandingkan dengan populasi pada umumnya atau ibu yang tidak hamil, hal ini karena seorang ibu hamil kemungkinan akan menderita berbagai keluhan atau gangguan kesehatan seperti pada populasi pada umumnya, tetapi disamping itu juga dapat menderita berbagai keluhan atau gangguan pada kehamilannya, seringkali diperlukan farmakoterapi. Kenyataan ini mendorong untuk menekan serendah mungkin pemakaian obat selama kehamilan dengan menghidari pemakaian obat secara sembarangan (tidak rasional) untuk kondisi-kondisi yang tidak mutlak memerlukan obat, meskipun pada individu-individu yang tidak hamil untuk kondisi yang sama kemungkinan akan selalu diberikan obat-obatan, sebagai contoh adalah pemakaian aspirin sebagai antipiretik dan analgesik pada kondisi-kondisi dengan demam atau nyeri. Untuk individu yang tidak hamil asalkan tidak ada kontra indikasi, maka pemakaian aspirin mungkin merupakan alternatif pilihan utama . Tetapi pada individu yang sedang hamil hal ini justru harus dihindari karena kemungkinan pengaruh buruknya terhadap janin, yang berupa penutupan ductus arteriousus Botalli terlalu dini dalam kandungan sehingga terjadi hipertensi pulmonal pada neonatus. Kenyataan menunjukkan bahwa 60-90% ibu hamil selalu menggunakan berbagai macam obat dan umumnya pemakaian lebih banyak pada trimester pertama kehamilan. Hai ini memprihatinkan karena terjadinya organogensis pada trimester pertama kehamilan sehingga terjadinya cacat anotomik juga lebih besar. Karena kemungkinan pengaruh buruk obat selama kehamilan terutama terhadap janin umumnya menetap, maka pemakaian obat selama kehamilan harus dengan pertimbangan manfaat dan resiko yang ketat. Masalah pemakaian obat pada kehamilan merupakan masalah farmakoterapi yang cukup rumit dalam praktek kedokteran3.
Setiap pemakaian obat, selain manfaat klinik yang akan diperoleh, akan selalu disertai dengan kemungkinan terjadinya efek samping dalam berbagai derajat3. Upaya-upaya menghindari atau menekan kemungkinan terjadinya efek buruk obat terhadap janin , kehamilan atau ibu hanya dapat dicapai dengan seseksama mungkin mengikuti prinsip-prinsip farmakoterapi yang rasional dalam kehamilan, meliputi keputusan indikasi (alasan pemakaian obat), pemilihan jenis obat, cara pemberian dan penentuan dosis obat. Indikasi farmakoterapi harus jelas, manfaat yang diperoleh harus melebihi kemungkinan resiko dan pemilihan jenis obat harus tepat dengan memakai obat-obat yang diketahui secara pasti paling aman dalam kehamilan3.
Dampak efek samping obat pada seorang ibu yang hamil sangat berlainan dengan orang yang tidak hamil. Efek samping obat pada orang tidak hamil umumnya reversibel, sedangkan efek samping obat pada pada kehamilan dapat bersifat irreversibel bila terjadi pada janin dalam kandungan3. Bersifat irreversibel dalam bentuk cacat bawaan, apakah cacat anatomik, fisiologik, atau biokemik. Walaupun mungkin agak sulit dibayangkan secara langsung, tetapi jelas bahwa upaya untuk menghindari senyawa-senyawa (termasuk obat) yang dapat menimbulkan cacat janin dalam kandungan selama masa kehamilan, akan menentukan mutu generasi yang akan lahir di masa datang. Kebiasaan pemakaian obat secara sembarangan dapat merupakan faktor risiko meningkatnya cacat bawaan pada populasi3.
Umumnya obat-obat yang digunakan wanita hamil dapat melintasi plasenta serta memberikan pemaparan pada embrio dan janin yang tumbuh terhadap efek farmakologik dan teratogeniknya. Pemaparan tunggal suatu obat selama kehamilan dapat mempengaruhi struktur tubuh janin yang tumbuh pesat pada waktu tersebut. Mekanisme terjadinya efek teratogenik akibat obat-obat sulit diketahui dan mungkin mengandung pelbagai faktor. Pemaparan terus menerus terhadap teratogen dapat menimbulkan efek kumulatif atau mempengaruhi beberapa organ yang mengalamai berbagai tahap perkembangan4.
Efek farmakologik dan efek toksik pada janin merupakan suatu proses yang kompleks. Kehamilan wanita normal disertai dengan perubahan fisiologi dimana disposisi dan efek obat dapat berbeda dengan wanita yang tidak hamil. Perbedaaan tersebut penting tidak hanya untuk terapi maternal tetapi juga untuk memahami efek paparan obat terhadap janin5 .

B. Tujuan Penulisan
Menambah ilmu pengetahuan tentang obat-obat yang berpengaruh pada kehamilan, dan diharapkan dapat diterapan pada praktek klinik.

PEMBAHASAN

a. Pengaruh Obat Pada Janin
Pengaruh buruk bahan-bahan asing, termasuk obat, terhadap janin didalam kandungan dapat terjadi melalui mekanisme langsung atau tidak langsung melalui terjadinya gangguan fungsi pada plasenta, uterus atau perubahan-perubahan sistemik seperti keseimbangan hormon dan biokimiawi ibu. Tergantung pada sifat masing-masing senyawa asing dan umur kehamilannya, maka pengaruh buruk terhadap janin dalam kandungan dapat berupa pengaruh fetal, teratogenik dan toksik. Pengaruh letal yakni terjadinya kematian embrio dalam kandungan. Pengaruh teratogenik terjadi pada dosis sub-letal yakni terjadinya malformasi anatomik pada pertumbuhan organ janin. Pengaruh toksik adalah terjadinya kelainan atau gangguan fisiologik atau biokimiawi dalam berbagai derajat pada janin tanpa disertai malformasi anatomik3.
Terjadinya pengaruh buruk senyawa asing, termasuk obat terhadap janin dalam kandungan sangat bergantung pada umur kehamilan atau fase pertumbuhan janin itu sendiri. Pengaruh buruk yang terjadi dapat beragam sesuai dengan masing-masing fase3.
1.Fase implantasi, yakni pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu. Pengaruh buruk yang mungkin timbul menganut pola ”all or none”, yakni terjadi atau tidak terjadi sama sekali. Bila timbul pengaruh buruk akan mengakibatkan kematian embrio sehingga terjadi abortus3.
2.Fase embrional atau organogenesis, yakni pada umur kehamilan antara 3 -8 minggu. Pada fase ini terjadi diferensisi pertumbuhan untuk pembentukan organ-organ tubuh, sehingga merupakan fase yang paling peka untuk terjadinya malformasi anatomik (pengaruh teratogenik). Selama embriogenesis kerusakan bergantung pada saat kerusakan terjadi, karena selama waktu itu organ-organ dibentuk dan blastula mengalami deferensiasi pada waktu yang berbeda-beda. Jika blastula yang dipengaruhi masih belum berdeferensiasi dan kerusakan tidak letal maka terdapat kemungkinan untuk restitutio ad integrum. Sebaliknya jika bahan yang merugikan mencapai blastula yang sedang dalam fase deferensiasi maka terjadi cacat (pembentukan salah)2. Pengaruh buruk yang dapat timbul pada fase ini ada beberapa kemungkinan:
a. Pengaruh letal, dimana terjadinya kematian janin dan abortus
b. Pengaruh subletal, dimana tidak terjadi kematian janin tetapi terjadi malformasi anatomik (struktur) pertumbuhan organ atau pengaruh teratogenik. Kata teratogenik sendiri berasal dari bahasa yunani yang berarti monster3.
c. Gangguan fungsional atau metabolik yang permanen yang baru nampak kemudian, artinya tidak langsung nampak atau timbul pada saat kelahiran3.
3.Fase letal, yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan dimana pada fase ini terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari janin. Pengaruh buruk senyawa asing terhadap janin pada fase ini tidak berupa malformasi anatomik lagi. Tetapi masing mungkin masih dapat terjadi gangguan pertumbuhan baik terhadap fungsi-fungsi fisiologik atau biokemik organ-organ. Juga pengaruh senyawa asing yang dapat terjadi pada induk, dapat pula terjadi pada janin dalam derajat yang berbeda3.
Umumnya obat-obat yang digunakan wanita hamil dapat melintasi plasenta serta memberikan pemaparan pada embrio dan janin yang tumbuh terhadap efek farmakologik dan teratogeniknya . Faktor kritis yang mempengaruhi transfer obat melalui plasenta dan dan efek obat pada janin antara lain4:
1.Sifat fisikokimia obat
2.Kecepatan obat melintasi plasenta dan jumlah obat yang sampai pada janin.
3.Lama pemaparan obat
4.Distribusi khas dalam jaringan janin yang berbeda
5.Tahapan perkembangan plasenta dan janin pada waktu pemaparan obat
6.Efek kombinasi obat
Obat yang melintasi plasenta bergantung pada kelarutan lipid dan derajat ionisasi obat. Obat lipofilik cenderung berdifusi dengan mudah melintasi plasenta dan masuk sirkulasi janin. Misalnya, tiopental obat yang sering digunakan untuk seksiosesarea, melintasi plasenta agak cepat dan menimbulkan sedasi atau apne pada bayi baru lahir. Obat yang terionisasi banyak seperti suksinilkolin dan tubokurarin yang juga digunakan untuk seksiosesarea melintasi plasenta secara lambat dan mencapai konsentrasi sangat rendah pada janin. Impermeabilitas plasenta terhadap senyawa polar lebih bersifat relatif daripada absolut. Jika gradien konsentrasi antara ibu-janin yang dicapai cukup tinggi, maka senyawa polar melintas plasenta dalam jumlah yang dapat diukur. Salisilat yang hampir seluruhnya terionisasi pada PH fisiologik melintasi plasenta dengan cepat. Hal ini terjadi karena sejumlah kecil salisilat yang tidak terionisasi merupakan lipid yang kelarutannya tinggi4.
Berat molekul obat juga mempengaruhi kecepatan transfer dan jumlah obat yang ditransfer melalui plasenta. Obat-obat dengan berat molekul 250-500 dapat melintasi plasenta dengan mudah, bergantung pada kelarutan lipidnya dan derajat ionisasi. Obat dengan berat molekul 500-1000 lebih sulit melintasi plasenta dan obat dengan berat molekul lebih dari 1000 sangat sulit melintasi plasenta. Dalam klinik sifat yang demikian digunakan untuk memilih heparin sebagai antikoagulan pada wanita hamil . Karena obat ini memiliki molekul sangat besar dan polar, heparin tidak dapat melalui plasenta. Berbeda dengan warfarin yang bersifat teratogenik dan harus dihindari selama trimester pertama, heparin dapat digunakan secara aman pada wanita hamil yang memerlukan anti koagulan 4.
Derajat ikatan obat dengan protein plasma (albumin) dapat pula mempengaruhi laju transfer dan jumlah obat yang dipindahkan. Namun jika obat sangat mudah larut dalam lipid (misal beberapa anastetik gas), tidak akan banyak dipengaruhi ikatan protein . Transfer obat yang mudah larut dalam lipid ini dan laju keseimbangan keseluruhan lebih bergantung pada aliran darah plasenta. Hal ini karena obat yang sangat larut dalam lipid mudah berdifusi melewati membran plasma dengan cepat sehingga laju keseimbangan keseluruhan tidak bergantung pada konsentrasi obat bebas yang sama pada kedua sisi. Jika suatu obat kelarutan lipidnya kurang dan diionisasi , transfernya lambat dan mungkin terhambat oleh ikatannya pada protein plasma maternal . Perbedaan ikatan protein juga penting karena beberapa obat memperlihatkan ikatan protein pada plasma maternal yang lebih besar daripada pada plasma janin karena afinitas ikatan protein janin menurun. Hal ini terlihat pada sulfonamid, barbiturat, fenitoin dan obat anastetik lokal 4.
Terdapat dua mekanisme yang memberikan perlindungan janin dari obat dalam sirkulasi darah maternal
1.Plasenta sendiri berperan baik sebagai sawar semipermeabel dan sebagai tempat metabolisme beberapa obat yang melaluinya. Beberapa jenis reaksi oksidasi aromatik yang berbeda (misal hidroksilasi, N-dealkilasi, demetilasi) telah terjadi dalam jaringan plasenta. Etanol dan fenobarbital teroksidasi dengan cara ini. Sebaliknya mungkin bahwa kapasitas metabolik plasenta dapat menyebabkan pembentukan metabolit yang toksik dan karena itu plasenta meningkatkan toksisitas (misal etanol, benzipiren) 4.
2.Obat yang telah melewati plasenta masuk dalam sirkulasi janin melalui vena umbilikalis. Kira-kira 40-60% aliran darah vena umbilikalis masuk ke dalam hati janin sisanya tidak lewat hati dan dan masuk dalam sirkulasi umum janin. Obat yag masuk hati sebagian dapat dimetabolisir sebelum masuk sirkulasi janin. Sebagai tambahan, sebagian besar obat yang berada dalam arteri umbilikalis (kembali ke plasenta) dapat masuk melalui plasenta kembali ke vena umbilikasi dan kembali ke hati lagi. Perlu diketahui bahwa metabolit beberapa obat dapat lebih aktif daripada senyawa asli dan memberikan pengaruh jelek pada janin4.
Efek obat pada jaringan reproduksi wanita hamil (payudara, uterus dan lin-lain), kadang-kadang diubah oleh lingkungan endokrin yang sesuai dengan tahap lingkungan. Efek-efek obat pada jaringan maternal (hati, paru, ginjal, Sistem Saraf Pusat dan lain-lain) dan memerlukan obat yang sebenarnya tidak diperlukan wanita hamil pada saat tidak hamil. Misalnya glikosida jantung dan diuretik mungkin diperlukan untuk gagal ginjal kongestif yang diperberat dengan peningkatan kerja jantung pada kehamilan atau insulin diperlukan untuk mengontrol glukosa darah pada diabetes akibat kehamilan 4.

b. Kelainan pada janin karena Pemakaian Obat Selama Kehamilan
Beberapa contoh kelainan yang terjadi pada fase janin karena pemakaian obat pada ibu selama kehamilan antara lain sebagai berikut :
1.Sindrom warfarin. Kurang lebih 25 % janin yang terpapar (exposed) dengan warfarin selama trimester pertama kehamilan akan menderita berbagai malformasi congenital yang meliputi hipoplasia tulang hidung, tulang-tulang falanges yang pendek, berbagai abnormalitas tulang3, kelainan-kelainan oftalmologik seperti atropi optik , katarak dan kelainan-kelainan lain sampai kematian janin dalam kandungan. Warfarin tidak dapat dipakai selama kehamila. Antikoagulan yang relative lebih aman dan dianjurkan adalah heparin3.
2.Sindrom hidantoin. Pemakaian hidantoinuntuk epilepsy pada kehamilan dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan intra-uterin, defisiensi mental, gangguan pertumbuhan muka terutama hidung tertekan (“pesek”), ptosis, bibir dan atau langit-langit sumbing (cleft lips & cleft palate), gangguan fungsi jantung dan abnormalitas genitalia. Sering juga disertai tidak tumbuhnya kuku pada jari tangan dan kaki. Sindrom hidantoin terjadi kurang lebih pada 10 % kasus yang terpapar dengan hidantoin3.
3.Sindrom alkohol . Bayi-bayi yang lahir dari ibu-ibu peminum alkohol mempunyai ciri muka yang khas, dahi rendah, pangkal hidung tenggelam, hidung kecil dan tegak ke atas, retraksi bibir dan deformitas telinga. Gangguan fungsi jantung dan keterlambatan pertumbuhan sangat umum dijumpai. Kelainan ini terjadi pada kurang lebih 30 % dari bayi-bayi yang lahir dari ibu-ibu peminum alkohol. Kebiasaan minum alkohol harus dihindari selama kehamilan3.
4.Sindrom dietilstilbestrol (DES). Pemakaian dietilstilbestrol pada trimester pertama kehamilan ternyata diketahui berkaitan dengan terjadinya berbagai anomali pada organ-organ reproduksi . Pada jenis kelamin wanita dapat terjadi adenosis sampai kemudian adenokarsinoma vagina atau serviks uterus. Pada jenis kelamin laki-laki dapat timbul abnormalitas testes, kista epididimis dan infertilitas. Keganasan pada vagina mungkin baru timbul kemudian. Pemakaian stilbestrolataupun senyawa-senyawa estrogen selama kehamilan tidak dianjurkan3.
5.Sindrom VACTERL ( Vertebral, Anal, Cardiac, Tracheal, Esophageal and Limbs ). Yakni terjadinya abnormalitas pada organ-organ tersebut karena pemakaian hormone steroid kelamin selama kehamilan. Pemakaian kontrasepsi oral sesudah terjadi kehamilan sangat riskan untuk terjadinya pengaruh-pengaruh buruk pada janin. Juga pemakaian hormone kelamin steroid untuk diagnosis kehamilan tidak lagi dapat dibenarkan karena resiko diatas. Pemakaian senyawa progestin untuk mencegah abortus sebenarnya juga diragukan manfaat dan keamanannya3.
6.Embriopati talidomida. Talidomida yang pada mulanya digunakan untuk antiemetik dan hipnotik ternyata kemudian terbukti mempunyai pengaruh teratogenik yang kuat. Pengaruh teratogenik yang utama adalah terjadinya berbagai abnormalitas pertumbuhan anggota tubuh. Sebelum obat ini ditarik dari peredaran kurang lebih telah tercatat 10.000 bayi lahir cacat3.

C. Klasifikasi Obat Berdasarkan Resiko Pemakaian Selama Kehamilan
Pembagian berbagai jenis obat dalam kaitannya dengan kemungkinan resiko untuk pemakaian selama kehamilan telah dikembangkan oleh berbagai badan kebijaksanaan obat, misalnya Food and Drug Administration ( USA ) atau Australian Drug Evaluation Committee. Sebagai contoh adalah kategorisasi yang dibuat oleh Australian Drug Evaluation Committee (1999), yang secara garis besar obat-obat masuk dalam 5 kategori6:
1.Kategori A : Obat yang telah dipakai oleh sejumlah wanita hamil dan wanita mampu hamil tanpa disertai kenaikan frekuensi malformasi janin atau pengaruh buruk, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap janin. Contoh obat yang masuk kategori ini misalnya antipiretik parasetamol, antibiotika penisilin, isoniazid, glikosida jantung, eritromisin , bahan-bahan hemopoetik seperti besi dan asam folat, dan lain-lain.
2.Kategori B : Obat-obat dimana pengalaman pemakaian oleh wanita hamil atau mampu hamil masih terbatas tetapi tidak ada kenaikan frekuensi malformasi janin atau pengaruh buruk secara langsung maupun tidak langsung terhadap janin. Karena riwayat pengalaman pemakaian pada manusia terbatas, maka kelompok ini terbagi-bagi berdasarkan penemuan-penemuan studi toksikologi pada binatang. a. B1 : Penelitian pada binatang tidak menunjukkan adanya kenaikan kejadian kerusakan janin ( fetal damage ). Misalnya obat-obat simetidin, dipiridamol, spektinomisin.
b. B2 : penelitian pada binatang tidak memadai dan masih kurang, tetapi data yang ada juga tidak menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan janin. Sebagai contoh adalah amfoterisin, dopamine, asetil kistein, alkaloid beladona, dan lain-lain.
c. B3 : penelitian pada binatang menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan janin , tetspi belum tentu bermakna pada manusia. Contoh karbamasepin, pirimetamin, griseofulvin, trimetoprim, dan mebendazol.
3. Kategori C : obat-obat yang karena efek farmakologiknya dapat menyebabkan pengaruh buruk pada janin tanpa disertai malformasi anatomik. Pengaruk ini kemungkinan dapat membaik kembali ( reversible ). Misalnya fenotiazin, analgetika narkotika, antiinflamasi non steroid, aspirin, rifampisin, antiaritmia, Ca-channel blocker, diuretika dan lain-lain.
4. Kategori D : Obat-obat yang telah menyebabkan kenaikan kejadian malformasi janin pada manusia atau menyebabkan menyebabkan kerusakan pada janin yang tidak dapat membaik lagi. ( ireversibel ). Obat-obat ini juga mempunyai efek farmakologik yang merugikan terhadap janin . Contoh : Fenitoin, pirimidon, fenobarbiton, valproat, klonasepam, kinine, kaptopril, obat-obat sitotoksik, antikoagulan, androgen, dan steroid anabolic dan lain-lain. Pemakaian pada kehamilan harus dihindari sedapat mungkin.
5. Kategori X : obat-obat yang telah terbukti mempunyai resiko tinggi untuk dipakai pada kehamilan karena pengaruh yang menetap ( ireversibel ) terhadap janin. Kontraindikasi mutlak pada kehamilan atau kemungkinan hamil. Termasuk disini misalnya isotretionin, dan dietilstilbestrol.

D. Daftar Obat-Obat Yang Berpengaruh Pada Kehamilan6
1. OBAT SALURAN PENCERNAAN
a. Hiperasiditas, refluks, ulkus
1.Alginat/ antasid A
2.Bismuth subsitrat B2
3.Simetidin, cisaprid, famotidin, ranitidin, sucralfat B1
4.Lansprazol, nizatidin, omeprazol, pantoprazol B3
5.Misoprostol X
Misoprostol merupakan suatu analog prostaglandin E1 yang diminum secara oral untuk mencegah dan mengobati ulkus gaster yang disebabkan penggunaan obat anti inflamasi non steroid (AINS). Mobius sydrome (faralisis fasial kongenital) dan defek limb terjadi pada infant dimana ibunya meminum misoprostol pada timester pertama. Pada suatu penelitian dari 4673 bayi malformasi dan bayi kontrol 4980. The Latin American Collaborative Study of Congenital Malformations mencatat terjadi peningkatan frekuensi defek limb transversa, ring shaped contrictios of the extrremitas, arthogryposis, hidrocephalus, hoprosencephaly dan ekstrophy og bladder tapi tidak syndrom Mobius pada bayi yang terpapar miroprostol in utero7.

b. Antisapamodik
1.Atropin A
2.Glycopyrrolate, hyoscine-N-butylbromide, mebeverine, propantheline B2

c. Laksatif
1. Bisacodyl, cascara, docusate sodium, senna A
2. Dicyclomine hydrochloride B1
3. Phenolphthalein B2

d. Anti Diare
1.Diphenoxylate C
Obat ini secara struktur kimia berhubungan dengan petidin, dapat menyebabkan depresi respirasi pada neonatus6.
2.Hyoscyamine B2
3.Loperamid B3
4.Mesalazine, olsalazine C
Termasuk NSAID (Non Steroid Anti inflamantory drug), menghambat sintesis prostaglandin dapat menyebabkan penutupan dini ductus arteriousus janin, gangguan ginjal, menghambat agregasi trombosit dan tertundanya persalinan dan kelahiran6.
5.Sulfasalazin A
Trimester 3 . Kemungkinan hemolisis dan kern ikterus pada neonatus3.
6.Budesonid sistemik B3

e. Kolelithiasis
1.Asam Chenodeoxycholic B3

2. OBAT SISTEM KARDIOVASKULAR
A. Anti hipertensi
1. Clonidine, doxazosin B3
Obat ini cukup aman bagi ibu maupun janin. Pada dosis besar terjadi efek samping seperti sedasi, mulut kering serta gairah menurun10.
2. Diazoxide C
Obat ini menyebabkan bradikardi pada janin. Hiperglikemi pada neonatus. Diazoxide adalah relaksan otot uterus sehingga mengahambat kontraksi uterus jika diberikan selama persalinan6.
3. Guanethidine, methyldopa A
Metildopa : efek samping seperti tinnitus, kurang gairah, kelelahan dan pusing kepala. Obat ini mampu melintasi barier plasenta dengan kadar yang hampir sama tinggi dengan kadar maternal dan umbilical. Juga terdeteksi dalam jumlah kecil dalam air susu ibu10.
4. Hydralazine C
Diberikan secara IV, berhubungan dengan fetal distress dan aritmia janin pada trimester akhir kehamilan6.
5. Minoxidil C
Obat ini berhubungan dengan hipertirokosis pada neonatus6.
6. Prazosin, terazosin B2
7. Sodium nitroprusside C
Pemakaian jangka pendek untuk mengendalikan hipertensi aman selama pH dan konsentrasi sianida di darah ibu di monitor6.

B. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) Inhibitors
(Captopril, cilazapril, enalapril, fosinapril, lisinopril, perindopril, quinapril, ramipril, trandalapril) D
Pada trimester dua dan tiga, ACE inhibitor dapat menyebabkan disfungsi renal dan olighidramion sehingga menyebabkan janin meninggal dalam kandungan4. Wanita hamil yang meminum ACE inhibitor untuk mengendalikan hipertensinya harus berganti ke obat hipertensi dari golongan lain . Disarankan agar tidak menggunakan ACE inhibitor untuk mengobati hipertensi pada wanita hamil6.


C. Angiotensin II Receptor Antagonists (ARAS)
(Candesartan cilexetil, eprosartan, irbesartan, losartan, valsartan) D
Pada trimester dua dan tiga, obat-obat yang bereaksi langsung terhadap sistem renin-angiotensin dapat menyebabkan janin cedera atau bahkan meninggal. Meskipun tidak ada efek samping pada trimester pertama, tetapi jumlah paparan terhadap obat golongan ini terlalu sedikit untuk menyimpulkan bahwa ARAs aman pada trimester pertama. Wanita hamil yang menjalani pengobatan dengan ARAs harus diubah secepat mungkin dengan obat anti hipertensi lainnya untuk menjaga tekanan darahnya6.

D. Calcium Channel Blockers
(Amlodipine, diltiazem, felodipine, isradipine, nicardipine, nifedipine, nimodipine, nisoldipine, verapamil) C
Verapamil, nifedipin, dan diltiazem : menunjukkan kecenderungan hipoksia fetal yang dihubungkan dengan hipotensi maternal. Pada percobaan binatang, nifedipin pada trimester pertama menunjukkan sifat teratogenik10.

E. Beta-Adrenergic Blocking Agents
(Alprenolol, atenolol, betaxolol, bevantolol, carvedilol, esmolol, labetalol, levobunolol, metoprolol, oxprenolol, pindolol, propranolol, sotalol, timolol) C
Obat-obat tersebut menyebabkan efek farmakologik bradikardi pada janin6 . Atenolol cukup efektif untuk mengendalikan hipertensi ringan maupun sedang pada kehamilan. Dilaporkan tak ada efek samping yang nyata hanya sebagian neonatus mengalami bradikardi temporer. Metoprolol dan Labetalol mempunyai efek serupa dengan kedua obat tersebut diatas. Pemakaian obat penyekat adrenoseptor beta pada kehamilan trimester III dengan hipertensi dilaporkan menyebabkan hipoglikemi dan bradikardi pada neonatal dan risiko ini dipertinggi pada hipertensi berat10.

F. Diuretics
Perlu dihindari pemakaiannya pada hipertensi dengan kehamilan, oleh karena disamping mengurangi volume plasma juga mengakibatkan berkurangnya perfusi plasenta. Tiazida dilaporkan menimbulkan trombositopeni dan perdarahan paad neonatal10.
1. Carbonic anhydrase inhibitor
Acetazolamide B3
2. Thiazides, related diuretics and loop diuretics
(Bendrofluazide, bumetanide, chlorothiazide, chlorthalidone, clopamide, cyclopenthiazide, ethacrynic acid, frusemide, hydrochlorothiazide, indapamide, mefruside, methychlothiazide, metolazone, quinethazone) C
Obat-obat tersebut menyebabkan gangguan elektrolit janin. Trombositopenia neonatus telah dilaporkan dengan tiazid dan diuretik yang berhubungan. Loop diuretik seperti furosemid dan bumetanid berhubungan dengan resiko ini. Selama kehamilan obat-obat ini diberikan sesuai dengan indikasi dan dosis efektif terendah6.

3. Diuretik Hemat Potassium
a. Amiloride, triamterene C
Obat ini menyebabkan gangguan elektrolit janin.
b. Spironolactone B3
Obat ini karier potensial menyebabkan feminisasi pada janin laki-laki dan sebaiknya dihindari selama kehamilan6.

G. Anti Aritmia
1. Adenosine, disopyramide, procainamide B2
2. Amiodarone C
Karena waktu paruhnya lama dan potensial menyebabkan abnormalitas fungsi tiroid dan bradikardi janin, amiodarona dan metabolitnya dihindari tiga bulan sebelum dan selama durasi kehamilan. Pada saat tidak bisa dihindarkan, fungsi tyroid (termasuk TSH) harus dinilai saat neonatus6.
3. Bretylium tosylate C
Obat ini berpotensi menyebabkan hipoksia janin berhubungan dengan hipotensi pada ibu6.
4. Flecainide B3
5. Lignocaine A
6. Mexiletine B1
7. Quinidine C
Struktur obat ini sama dengan kuinin yang dalam dosis tinggi menyebabkan kerusakan janin6.

H. Obat Anti Angina
1. Glyceryl trinitrate, isosorbide mononitrate, perhexilene B2
2. Isosorbide dinitrate, tirofiban hydrochloride B1
3. Nicorandil B3

I. Obat Hypolipidaemic
Hiperlipidemia fisiologi pada kehamilan tidak memerlukan terapi.
1. Atorvastatin, cerivastatin, fluvastatin, pravastatin, simvastatin C
Kolesterol dan produk biosentesis kolesterol merupakan komponen penting untuk perkembangan janin, termasuk sintesis steroid dan membran sel. Karena ketersedian inhibitor HMG-CoA reductase menurunkan sintesis kolesterol dan mungkin produk lainnya, obat-obat tersebut berbahaya bagi janin ketika diberikan pada wanita hamil6.
2. Cholestyramine, colestipol, nicotinic acid B2
3. Clofibrate, probucol B1
4. Gemfibrozil B3

J. Obat Cardiac Inotropic
1. Digoxin and other cardiac glycosides A
2. Milrinone B3

K. Adrenergic Stimulants
1. Adrenaline, ephedrine, fenoterol, isoprenaline, orciprenaline, rimiterol, salbutamol, terbutaline A
Salbutamol pada kehamilan aterm akan menghambat jalannya persalinan. Hal ini disebabkan salbutamol disamping berefek bronkodilatasi juga berakibat relaksasi uterus10.
2. Dobutamine, phenylephrine, phenylpropanolamine, pseudoephedrine B2
3. Dopamine B3
4. Metaraminol C
Obat ini menyebabkan hipoksia janin disebabkan kontraksi pembuluh darah uterus sehingga mengurangi perfusi plasenta6.

L. Vasodilator
1. Betahistine, glyceryl trinitrate, nicotinic acid B2
2. Dipyridamole, isosorbide dinitrate, nicotinyl alcohol, oxpentifylline, phentolamine, sildenafil citrate B1
3. Isoxsuprine C
Pemberian isoxsuprine pada ibu untuk mencegah persalinan prematur berhubungan denan takikardi, hipoglikemi, hipokalsemi, ileus dan hipotensi pada neonatus6.
4. Papaverine A
5. Phenoxybenzamine B2
Obat ini telah diketahui mutagenik dan karsinogenik pada mencit6.

M. Antimigraine
1. Dihydroergotamine, ergotamine, methyser C
Regimen dosis standar untuk migrain pada kehamilan tidak menampakkan pengaruh pada janin. Ergotamin memacu kontraksi uterus dan kemudian menyebabkan partus prematur atau hypertonic labour6.
2. Naratriptan, sumatriptan, zolmitriptan B3
3. Pizotifen B1

N. Obat Anticoagulants and Thrombolytic
Semua obat golongan ini menyebabkan perdarahan plasenta dan akhirnya menyebabkan janin prematur dan meninggal6.
1. Abciximab C
2. Dalteparin, danaparoid, enoxaparin, nadroparin C
3. Desirudin B3
4. Heparin C
Pemakaian dalam jangka lama pada trimester I,II, dan III dapat mengakibatkan osteoporosis10.
5. Phenindione D
Obat ini menyebabkan defek pada janin apabila di gunakan pada trimester satu6.
6. Ticlopidine B1
7. Warfarin D
Warfarin berhubungan denga perkembangan embriopathy saat paparan 6 – 9 minggu post konsepsi. Paparan pada trimester satu menyebabkan perdarahan janin sehingga bisa terjadi kerusakan sistem saraf pusat. Resiko terjadi peningkatan aborsi spontasn dan perdarahan perinatal. Tidak boleh digunakan pada minggu-minggu terakhir kehamilan6.

O. Obat Haemostatik
1. Aprotinin, eptacog alfa, asam tranexamic B1
2. Human coagulation factor IX C
Keamanan obat ini selama kehamilan belum bisa ditetapkan pada randomized controlled trial6.
3. Kogenate, protamine B2
4. Aminocaproic acid, ornipressin B3

P. Obat Fibrinolytic
1. Alteplase, urokinase B1
2. Reteplase C
3. Streptokinase C
Hanya sejumlah kecil streptokinasi melintasi plasenta, antibodi spesifik streptokinase ditemukan dalam darah janin6. Streptokinase menyebabkan prematuritas karena separasi plasenta pada 18 minggu I, hemoragi fetal10.


Q. Obat Kardiovaskular Lain
1. Oxpentifylline B1
2. Tirilazad B2

3. ZAT BESI DAN OBAT HEMOPOETIK
1. Erythropoietin, filgrastim, lenograstim, molgramostim B3
2. Folic acid A
3. Folinic acid A
4. Sedian zat besi (dengan atau tanpa asam folat, zat besi parenteral A

4. OBAT YANG BERPENGARUH PADA SISTEM SARAF PUSAT
A. Analgesik antipiretik
1. Analgesik opiat C
Analgesik opiat menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus. Withdrawal symptoms pada neonatus telah dilaporkan pada pemakaian jangka panjang jenis obat ini. Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah alfentanil, buprenorphin, dekstromoramid, dextroproroxyphen, fentanyl, hydromorrphone, metadon, morfin, oksikodon, papaveratum, pentazosin pethidin, phenopheridin, remifantamil, tramadol. Obat-obat analgetika narkotik (narcotic/opioid-analgesics) adalah obat-obat yang dipakai untuk mengurangi rasa nyeri terutama dengan derajat sedang sampai berat dengan melalui pengaruhnya pada reseptor opioid di otak. Obat ini mengurangi nyeri dengan mengubah persepsi rasa nyeri, menimbulkan sedasi dan megurangi ketegangan emosi yang berkaitan dengan terjadinya rasa nyeri. Pemakaian obat-obatan analgetika narkotik pada kelahiran kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya depresi respirasi pada janin yang manifest sebagai asfiksia pada waktu lahir. Namun demikian ternyata berdasar penelitian, morfin sendiri tanpa disertai dengan faktor-faktor pendorong lain, baik yang berasal dari ibu atau janin, tidak secara langsung menyebabkan asfiksia. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa obat-obat opiate dapat dipakai begitu saja.dalam proses kelahiran. Risiko terjadinya depresi kardiorespirasi harus selalu diperhitungkan pada pemakaian obat-obat analgetika narkotik paada kelahiran. Kemungkinan lain juga dapat terjadi bradikardi pada neonatus8.
Petidin merupakan analgetika narkotika yang dianggap paling aman untuk pemakaian selama proses persalinan (obstetric-analgesics). Tetapi kenyataannya bayi-bayi yang lahir dari ibu yang mendapatkan petidin selama proses kelahiran menunjukkan skala neuropsikologik lebih rendah dibanding bayi-bayi yang ibunya tidak mendapatkan obat apapun atau yang mendapatkan anestesi lokal. Sehingga karena alasan ini maka pemakaian petidin pada persalinan hanya dibenarkan apabila anestesi epidural memang tidak memungkinkan8.
Pemakaian analgetika narkotik selama kehamilan atau persalinan dapat mengurangi kontraktilitas uterus sehingga memperlambat proses kelahiran. Terhadap ibu, karena depresi fungsi otot polos dapat terjadi penurunan motilitas usus dan stasis lambung dengan segala konsekuensinya8.
Penyalahgunaan obat-obat analgetika narkotik oleh ibu hamil dapat menyebabkan ketergantungan pada janin dalam kandungan. Hal ini akan manifest dengan munculnya gejala –gejala withdrawl pada bayi yang baru lahir. Gejala-gejala tersebut meliputi muntah, diare, tremor, mudah terangsang sampai kejang8.
2. Aspirin C
Aspirin menghambat sintesis prostaglandin. Ketika diberikan kepada wanita hamil dapat menyebabkan penutupan prematur ductus arteriousus janin, persalinan dan kelahiran tertunda. Aspirin meningkatkan waktu perdarahan pada janin maupun ibu karena efek anti plateletnya. Aspirin sebaiknya dihindari pada trimester tiga. Aspirin dosis rendah (100 mg/hari) tidak mempengaruhi waktu perdarahan6.
3. Kodein, dihidrokodein A
Pemakaian dosis tinggi secara jangka panjang sebelum persalinan dapat menyebabkan codein withdrawal pada neonatus6.
4. Parasetamol A
5. Non steroid anti infamantory Drug (NSAIDS) C
Obat-obat tersebut menghambat sintesis prostaglandin dan ketika diberikan pada wanita hamil dapat menyebabkan penutupan ductus arteriousus, gangguan pembentukan ginjal janin, menghambat agregasi trombosit dan tertundanya persalinan dan kelhiran. Pengobatan NSAID selama trimester akhir kehamilan diberikan sesuai dengan indikasi. Selama beberapa hari sebelum hari perkiraan lahir, obat-obat ini sebaiknya dihindari. Yang termasuk golongan ini adalah diklofenac, diffunisal, ibuprofen, indomethasin, ketoprofen, ketorolac, asam mefenamat, nabumeton, naproxen, phenylbutazon, piroksikam, sodium salisilat, sulindac, tenoksikam, asam tioprofenic6.

B. Hipnosis dan Sedatif
1. Barbiturat C
Obat golongan ini dapat menyebabkan hipotensi, depresi pernapasan, hipotermi pada neonatus. Pemakaian terus pada kehamilan tidak dianjurkan, dapat mengakibatkan ketergantungan obat pada neonatus4. Termasuk obat golongan ini adalah amylobarbiton, pentobarbiton6.
2. Kloral hydrat, Chlormethiazole A
3. Meprobamate C
Menyebabkan hypotensi, depresi pernapasan dan hipotermi pada neonatus6.
4. Zolpidem tartrate B3
5. Zopiclone C
Obat ini mendepresi sistem saraf pusat neonatus ketika diberikan pada waktu persalinan6.
6. Hypnosis dan sedatif lainnya
1. Chloral hydrate, chlormethiazole A
2. Meprobamate C
Obat ini menyebabkan hipotensi, depresi pernapasan dan hipotermi janin6.
3. Zolpidem tartrate B3
4. Zopiclone C
Obat ini sepertinya mendepresi sistem saraf pusat neonatus ketika diberikan selama persalinan6.

C. Obat Anti Anxietas
1. Buspirone B1
2. Benzodiazepines C
(alprazolam, bromazepam, chlordiazepoxide, clobazam, clonazepam, clorazepate, diazepam, flunitrazepam, flurazepam, lorazepam, midazolam, nitrazepam, oxazepam, temazepam, triazolam)
Benzodiazepin menyebabkan hypotonia, depresi pernapasan dan hipotermi neonatus jika digunakan dengan dosis tinggi pada persalianan. Withdrawal symptom pada neonatus berhubungan dengan pemakaian jangka panjang6.


D. Obat Anti Psycotic
1. Phenothiazines C
(Chlorpromazine, fluphenazine, pericyazine, perphenazine, promazine, thiopropazate, thioridazine, trifluoperazine)
Ketika diberikan dengan dosis tinggi selama akhir kehamilan, phenothiazin menyebabkang angguan neurologis pada neonatus6.
2. Butyrophenones C
(Droperidol, haloperidol)
Pemberian butyropheno menyebabkan pemanjangan gangguan neurologis neonatus6.
3. Obat Anti psychotic Lainnya
a. Clozapine C
Efek farmakologik dan toksik pada dewasa juga terjadi pada janin6.
b. Flupenthixol C
Pemberian dosis tinggi pada akhir kehamilan berhubungan dengan pemanjangan gangguan neurologis pada neonatus6.
c. Lithium salts D
Resiko defek bada bayi meningkat dengan digunakannya litium pada trimester pertama. Trimester kedua pemeriksaan USG dan echocardiography dipertimbangkan bagi wanita yang menjalani terapi dengan litium selama trimester pertama. Neonatus memperlihatkan tanda-tanda toksisitas neonatus6.
d. Olanzapine, risperidone B3
e. Pimozide, thiothixene B1
f. Zuclopenthixol C
Pemberian dosis tinggi pada akhir kehamilan berhubungan dengan pemanjangan gangguan neurologis pada neonatus6.

E. Antidepressants
1. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)
(Citalopram, fluoxetine, fluvoxamine, paroxetine, sertraline) C
SSRIs digunakan secara terbatas pada kehamilan tanpa laporan terjadi defek pada janin. Penggunaan SSRIs pada trimester ketiga menyebabkan keadaan withdrawal pada neonatus6.
2. Tricyclic antidepressants
(Amitriptyline, clomipramine, desipramine, dothiepin, doxepin, imipramine, nortriptyline, protriptyline, trimipramine) C
Withdrawal symptoms pada neonatus berhubungan dengan penggunaan jangka panjang golongan obat ini oleh ibu6.
3. Tetracyclic antidepressants
Mianserin B2
4. Monoamine oxidase inhibitors
a. Phenelzine B3
b. Tranylcypromine B2
5. Antidepressant lainnya
a. Mirtazapine, moclobemide, nefazodone B3
b. Venlafaxine B2
c. Caffeine A
d. Dextroamphetamine B3
e. Methylphenidate B2

F. Obat Antiparkinson
1. Amantadine, apomorphine, benserazide, carbidopa, entacapone, levodopa, ropinirole B3
2. Benztropine, biperiden, selegiline B2
3. Benzhexol B1
4. Pergolide C
Penelitian pada mencit tidak terbukti berbahaya bagi janin. Tidak ada penelitian yang adekuat pada wanita hamil. Penggunaan obat ini pada wanita hamil jika benar-benar dibutuhkan6.
5. Procyclidine A
G. Anticonvulsants / antiepileptics
Resiko memiliki anak abnormal sebagai akibat dari terapi epilepsi lebih ringan daripada bahaya terhadap ibu dan janin dari epilepsi yang tidak terkendalikan6.
Disarankan:
Wanita yang menjalani terapi obat antiepilepsi menerima konseling sebelum kehamilan tentang abnormalitas janin yang akan dilahirkan6.
AEDs sebaiknya dilanjutkan selama hamil dan mono terapi dipakai jika resiko abnormalitas lebih rendah dari pada terapi kombinasi.
Suplementasi asam folat (5mg) selama 4 minggu sebelum dan sesedah usia konsepsi 12 minggu.
Diagnosis prenatal termasuk USG mid trisemester diberikan
1. Carbamazepine D
Spina bifida terjadi 1% dari kehamilan dimana carbamazepin digunakan sebagai monoterapi. Carbamazepin juga berhubungan dengan defek craniofacial minor, fingernail hipoplasia dan kecacatan. Carbamazepin menyebabkan defek koagulasi sehingga beresiki terjadi perdarahan janin dan neonatus, di cegah dengan pemberian vitamin K ke ibu sebelum persalinan6.
2. Phenytoin sodium D
Obat ini berhubungan dengan terjadinya defek craniofacial, finger nail hypolplasiy, kecacatan, retardasi dan sedikit oral cleft dan anomali jantung. Gejala klinis kadang disebut fetal hydantoin syndrom. Phenytoin juga menyebabkan defek koagulasi sehingga menyebabkan terjadinya perdarahan yang dapat dicegah dengan pemberian vitamin K sebelum persalinan6.
3. Methylphenobarbitone, phenobarbitone, primidone D
Penggunaan primidone, phenobarbitone atau methylphenobarbitone pada kehamilan berhubungan dengan defek craniofacial minor, fingernail hypoplasia, kecacatan. Penggunaan obat tunggal atau kombinasi dengan antikonveulsan lainnya, dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang dapat dicegah dengan pemberian vitamin K sebelum persalinan6.
4. Sodium valproate (valproic acid) D
Apabila digunakan pada trimester pertama kehamilan, sodium valproate (Asam valproic) berhubungan dengan defek neural tube khususnya spina bifida pada janin6.
4. Anticonvulsants / antiepileptics lainnya
Dibandingkan dengan antikonvulsan konvensional, resiko antikonvulsan golongan ini tidak diketahui.
a. Clonazepam C
Clonazepam merupakan benzodiazepine. Obat-obat tersebut dapat menyebabkane hypotonia, depresi respirasi dan hipotermia pada janin jika diberikan dengan dosis tinggi selama persalinan, withdrawal symptom paa neonatus telah dilaporkan6.
b. Ethosuximide, methsuximide, phensuximide, sulthiame, vigabatrin D
c. Gabapentin B1
d. Lamotrigine, tiagabine, topiramate B3

H. Antiemetics, Antinausea
Phenothiazines
(Prochlorperazine, promethazine, thiethylperazine) C
Jika diberikan dengan dosis tinggi selama akhir kehamilan, phenothiazine menyebabkan pemanjangan gangguan neurologis pada bayi6.

I. Obat Lainnya
1. Dimenhydrinate, diphenhydramine, metoclopramide A
2. Dolasetron, granisetron, ondansetron B1
3. Domperidone, hyoscine, hyoscine hydrobromide B2
4. Tropisetron B3
5.Tetrabenazine B2
5. OBAT SISTEM MUSKULO SKELETAL
A. Obat Anti rematik
1. Aurothioglucose, sodium aurothiomalate B2
2. Auranofin B3
3. Hydroxychloroquine D
Apabila digunakan dengan dosis tinggi, khloroquin dan substansi lainya dapat menyebabkan gangguan neurologis disertai gangguan pendengaran,keseimbangan dan penglihaan6.
4. Penicillamine D
Dapat menyebabkan cutis laxa pada janin..

B. Muscle Relaxants
1. Baclofen, botulinum type A B3
2. Dantrolene, methocarbamol, orphenadrine B2
3. Physostigime C
4. Quinine D
Pada dosis standar, quinin tidak berhubungan dengam kerusakan janin. Pada dosis toksik, quinin menyebabkan kerusakan janin termasuk ketulian. Quinin dapat menginduksi kontraksi uterus sehingga beresiko bisa terjadi aborsi6.

C. Obat-Obat yang Dipakai Pada Gout dan Hiperurisemia
Allopurinol, colchicine, probenecid, sulfinpyrazone B2

6. OBAT SISTEM ENDOKRIN
A. Estrogens
1.Dienoestrol X
2.Ethinyloestradiol, mestranol B3
3.Oestradiol, oestriol, oestrone, piperazine oestrone sulfate B1
4.Oestrogens konjugasi D
B. Progestogens
Jika diminum oleh ibu setelah usia konsepsi 8 minggu, dapat menyebabkan virilisasi janin perempuan. Efek ini tergantung dosis. Sebelum usia 8 minggu tidak ada efek virilisasi tersebut6.
1. Dydrogesterone, hydroxyprogesterone, megestrol, norethisterone D
2. Medroxyprogesterone (oral high dose, 30-50mg daily) D
C. Antiandrogens
Dapat menyebabkan feminisasi janin laki-laki setelah 8 minggu konsepsi dan harus dihindari selama kehamilan6.
Cyproterone acetate, spironolactone B3
D. Androgens dan Steroids Anabolik
(Fluoxymesterone, methenolone, nandrolone, oxandrolone, oxymetholone, testosterone) D
Steroid anabolik dan substansi lainnya yang berefek androgen memiliki efek maskulanisasi terhadap janin perempuan dan sebaiknya dihindari selama kehamilan5.
E. Korticosteroid
Dalam percobaan hewan telah ditemukan kortikosteroid menyebabkan malformasi dalam berbagai bentuk misalnya celah palatum dan malformasi skeletal. Namun hal ini tidak ada relevansi pada manusia. Pada pengobatan lama menunjukkan pengurangan beratlahir maupun berat plasenta pada binatang maupun manusia. Sementara terjadi juga penekanan korteks adrenal. Oleh karenanya perlu mempertimbangkan antara kebutuhan si ibu dengan risiko fetal. Namun kortikosteroid digunakan dalam waktu pendek sebagai prevensi respiratory distress syndrome10.
1. Systemik
Betamethasone, cortisone, dexamethasone, fludrocortisone, hydrocortisone, methylprednisolone, prednisolone, prednisone, triamcinolone A
2. Topical
a. Betamethasone, fludrocortisone, flumethasone, fluocinolone, fluocortolone, halcinonide, triamcinolone A
b. Methylprednisolone aceponate C
c. Mometasone B3
3. Inhalasi /Intranasal
Keuntungan pengendalian asma lebih baik daripada efek samping yang ditimbulkan pada kehamilan.
a. Beclomethasone, flunisolide, fluticasone, triamcinolone B3
b. Budesonide A

F. Hormon Hipofisis
1. Corticotrophin A
2. Nafarelin, goserelin D
Terdapat resiko aborsi atau abnormalitas janin jika agonis GnRH dipakai selama kehamilan6.
3. Somatropin, thyrotrophin B2

G. Antidiuretik
Desmopressin, lypressin, vasopressin B2

H. Obat hypoglykemik (ORAL)
Merupakan hal penting untuk mencapai normo glikemi selama kehamilan, yang dapat dicapai dengan terapi insulin6.
1. Acarbose, miglitol B3
2. Chlorpropamide, glibenclamide, gliclazide, glimepiride, glipizide, metformin, tolazamide, tolbutamide C
Sulphonylureas dapat masuk sirkuasi janin dan dapat menyebabkan hypoglikemi neonatus6.

I. Hormon Thyroid
Liothyronine, thyroxine A

J. Obat Antithyroid
Obat-obat golongan ini dapat menyebabkan kongenital goiter dengan menghambat sintesis tiroksin pada janin6.
Carbimazole, propylthiouracil C

K. Obat yang Mempengaruhi Metabolisme Kalsium dan Tulang
1. Alendronate, clodronate, pamidronate B3
2. Calcitonin, salcatonin, tiludronate disodium B2
3. Calcitriol, dihydrotachysterol B3
4. Raloxifene X
Obat ini menyebabkan abnormalitas pada perkembangan sistem reproduksi jika diberikan kepada kelinci hamul dan mungkin mempunyai efek yang sama pada manusia6.
L. Obat Hormonal Lainnya
1. Aminoglutethimide D
Obat ini dapat menyebabkan pseudohermaphrodism
2. Octreotide C
Obat ini dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan janin, diakibatkan oleh supresi horman pertumbuhan6.

M. Inhibitor Hipofisis
1. Bromocriptine (oral) A
2. Bromocriptine (injection) B2
3. Cabergoline B1
4. Danazol D
Jika digunakan 8 minggu setelah konsepsi, danazol dapat menyebabkan virilisasi pada janin perempuan. Sebelum sampai dengan 8 minggu post konsepsi tidak ada efek virilisasi tersebut. Danazol tidak menghambat ovulasi pada wanita6.
5. Gestrinone D
Obat ini mempengaruhi kehamilan pada binatang tes menyebabkan maskulaniasisi janin perempuan. Gestrinoe tidak menghambat ovulasi pada wanita6.
5. Quinagolide B3
N. Obat induksi Ovulasi
Gonadotrophins
1. Human chorionic gonadotrophin A
2. Human menopausal gonadotrophin, urofollitrophin B2
3. Recombinant follicle stimulating hormone (FSH) B3
4. Clomiphene B3

7. OBAT-OBAT SISTEM GENITOURINARIUS
A. Antiseptik Urinarius
Hexamine A
B. Gangguan Fungsi Vesika Urinaria
1. Bethanechol B2
Bethanechol mempunyai efek terhadap otot polos dan dihindari selama kehamilan6.
2. Finasteride X
Finasteride menyebabkan abnormalitas genetalia externa pada janin laki-laki6.
3. Oxybutynin, pentosan polysulfate sodium B1
4. Terazosin B2
C. Obat Yang Bereaksi Terhadap Uterus
1. Ergometrine C
Obat ini menginduksi kontrasi uterus dan menyebabkan persalinan prematur atau hipertonik. Obat-obat yang mengandung ergometrin seharusnya dihindari selama kehamilan6.
2. Gemeprost B3
3. Oxytocin A
Terdapat sensitivitas idiosyncratic uterys mengakibatkan anoksia janin6.
4. Prostaglandin E2/Dinoprostone C
Terdapat sensitivitas idiosyncratic uterys mengakibatkan anoksia janin6.
5. Salbutamol A

D. TOPICAL VAGINAL MEDICATION
1. Clindamycin, clotrimazole, econazole, miconazole, nystatin A
2. Dienosliterol B1
3. Soconazole B2

8. OBAT ANTIBIOTIKA
Antibiotika atau antimikroba dikenal sebagai golongan obat-obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi. Sebagaimana kita ketahui, hampir semua obat antibiotika dapat melintasi plasenta dan memasuki sirkulasi darah janin, dengan kadar yang mungkin lebih rendah, sama atau bahkan lebih tinggi dari ibu. Hal ini tentu memberi konsekwensi yang berbeda tergantung dari jenis obat, potensi, lama pemberian hingga tingkat toksisitas obat baik terhadap ibu ataupun janin8.

A. Cephalosporin
Cephalsoforin meskipun relatif aman, sebaiknya hanya diberikan jika alternatif pemakaian antibiotika yang lain yang jauh lebih aman, tidak efektif lagi terhadap infeksi bersangkutan8.
1. Cefaclor, cefotaxime, cefotetan, cefoxitin, cefpodoxime, ceftazidime, ceftriaxone, cephamandole, cephazolin B1
2. Cefodizime, cefpirome B2
3. Cephalexin, cephalothin A

B. Penicillin
Penisilin ralatif aman jika diberikan pada masa kehamilan, meskipun dapat melintasi plasenta dan mencapai kadar terapetik, baik pada janin maupun pada cairan amnion. Kadarnya dalam cairan amnion sedikit lebih rendah jika diberikan pada trimester pertama kehamilan8. Tidak pernah dilaporkan menyebabkan kelainan pada janin, hanya kadang-kadang ditemukan reaksi alergi pada ibu9.
1. Amoxycillin, ampicillin, benzathine penicillin, benzylpenicillin, phenoxymethylpenicillin, procaine penicillin A
2. Amoxycillin with clavulanic acid, flucloxacillin, mezlocillin,
piperacillin, piperacillin with tazobactam B1
3. Azlocillin B3
4. Dicloxacillin, ticarcillin sodium with potassium clavulanate B2

C. Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan prototipe antibiotika spektrum luas yang terutama bersifat bakteriostatik untuk beberapa bakteri gram positif dan negatif. Tetrasiklin mampu menembus mikroorganisme dengan cara difusi pasif maupun transpor aktif. Hanya sebagian yang diabsorpsi, sedang sebagian lagi tetap berada disaluran pencernaan dan mampu mengubah flora normal usus, meningkatkan resiko terjadinya gangguan pada saluran pencernaan seperti misalnya kolitis pseudomembranosa8.
Tetrasiklin dapat dengan mudah melintasi plasenta dan mencapai kadar terapetik pada sirkulasi fetal. Jika diberikan pada trimester pertama kehamilan, tetrasiklin menyebabkan deposisi tulang in utero, yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan pertumbuhan tulang , terutama pada bayi prematur. Meskipun hal ini bersifat tidak menetap (reversibel) dan dapat pulih kembali setelah proses remodelling, tetapi sebaiknya tidak diberikan pada periode tersebut8.
Pada trimester kedua dan ketiga kehamilan, pemberian tetrasilin akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada warna gigi (menjadi kekuning-kuningan) yang bersifat menetap disertai hipoplasia enamel. Ada pula bukti yang menunjukkan bahwa terjadinya katarak kongenital kemungkinan besar berkaitan dengan pemberian tetrasiklin pada ibu yang mendapat tetrasiklin pada umur kehamilan 8-12 minggu8.
Demeclocycline, doxycycline, minocycline, tetracycline D

D. Aminoglycosida
Obat-obat golongan aminoglikosida pada umumnya mempunyai sifat bakterisida dengan aksi kerja yang hampir sama, yaitu menghambat sintesis protein pada sel bakteri. Efektif untuk pengobatan infeksi yang terutama disebabkan terutama oleh bakteri gram negatif. Absorpsinya melalui saluran pencernaan sangat jelek, oleh sebab itu pada umumnya diberikan parenteral8.
Obat-obat yang tergolong aminoglikosida antara lain kanamisin, gentamisin, tobramisin, sisomisin, netilmisin, amikasin, framisetin, neomisin dan paramomisin dikenal bersifat nefrotoksis dan ototoksis, sehingga pemakiannya dalam klinik terbatas untuk infeksi-infeksi berat. Obat-obat ini dapat melintasi plasenta dan masuk kesirkulasi janin pada kadar terapetik8.
Oleh karena efek nefrotoksik dan ototoksiknya, aminoglikosida tidak dianjurkan selama kehamilan. Banyak penelitian membuktikan bahwa obat-obat golongan aminoglikosida dapat menimbulkan kerusakan ginjal tingkat seluler pada janin terutama jika diberikan pada periode organogenesis. Kerusakan saraf kranial kedelapan juga banyak terjadi pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat aminoglikosida pada saat kehamilan8. Streptomycin, kanamycin dapat menimbulkan komplikasi otostatik dan nefrotoksik. Timbul bila diberi dalam waktu yang lama dan dosis yang besar9.
Amikacin, gentamicin, kanamycin, neomycin, netilmicin, tobramycin D

E. Quinolon
Alatrofloxacin, ciprofloxacin, enoxacin, fleroxacin, norfloxacin, ofloxacin B3

F. Macrolid
1. Azithromycin, roxithromycin B1
2. Clarithromycin B3
3. Erythromycin A

G. Antibiotika Jenis Lainnya
1. Atovaquone, colistin IV , meropenem, metronidazole, vancomycin B2
Metronidazol telah dikenal lama sebagai antiprotozoa, yang umumnya digunakan untuk mengobati trikhomoniasis, giardiasis dan amubiasis serta infeksi yang disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini pemakaiannya dalam klinik meningkat, baik digunakan secara tunggal maupun kombinasi dengan antibiotika lain, khususnya untuk infeksi-infeksi gastriinstastinal, dimana sering melibatkan kuman anaerob. Kadar metronidazol dalam serum dan waktu paruh eliminasi pada wanita hamil tidak berbeda dengan kadarnya pada wanita tidak hamil8.
Banyak peneliti menyatakan bahwa metronidazol bersifat mutagen dan karsinogen. Metronidazol dapat meningkatkan kecepatan mutasi spontan beberapa bakteri aerob in vitro. Telah pula dilaporkan pula pemakaian pada binatang uju dengan dosis sangat tinggi memberikan efek karsinogenik, tetapi hingga saat ini data mengenai efek buruk pada janin belum diketahui. Ini bukan berarti penggunaan metrinidazol pada wanita hamil dapat dianggap aman8.
pemakaian metronidazol tidak dianjurkan pada trimester I, apabila karena terpaksa harus diberikan pada trimester II dan III maka jangan diberikan dalam dosis yang besar dan dalam jangka waktu yang lama. Walaupun tidak terbukti bahwa metronidazol bersifat teratogen pada binatang uji , tetapi sebaiknya dihindari pemberiannya pada wanita hamil karena dikhawatirkan dapat memacu perubahan pada human lymphocites 8.
2. Aztreonam, mupirocin, spectinomycin B1
3. Chloramphenicol, clindamycin, lincomycin, nalidixic acid A
Kloramfenikol merupakan antibiotika yang terutama bersifat bakteriostatik, dengan potensi menghambat sintesis protein bakteri . Selama ini kloramfenikol sangat populer untuk mengobati tifus abdominalis atau boleh dikata sebagai obat pilihan pertama. Jika diberikan pada wania hamil, kadar dalam plasma fetal berkisar antara 33% - 80% dari kadar dalam plasma ibu. Biotransformasi kloramfenikol terutama terjadi melalui glukorinidasi pada hepar dan eiliminasi pada ginjal. Pemberian klormfenikol pada wanita hamil, terutama trimester dua dan tiga dimana hepar belum matur dapat menyebabkan terjadinya sidrioma Grey pada bayi yang ditandai dengan kulit sianotik, sehingga bayi tampak keabu-abuan, hipotermia, muntah, abdomen protuberant dan menunjukkan reaksi menolak menghisap susu disamping pernapasan yang cepat dan tidak teratur serta letargi. Resiko ini meningkat pada bayi-bayi yang prematur8.
4. Clavulanic acid B1
5. Fusidic acid C
6. Imipenem-cilastatin combination, teicoplanin, tinidazole B3
7. Nitrofurantoin (terapi jangka pendek) A
Nitrofurintoin lebih banyak digunakan sebagai antiseptik pada saluran kencing. Karena dimetabolisme dan dieksresi secara cepat, tidak pernah terdeteksi dalam kadar yang cukup (baik di sirkulasi maupun jaringan) untuk menimbulkan efek antibikteri sistemik8.
Jika diberikan pada awal kehamilan, kadar nitrofurantoin pada jaringan fetal lebih tinggi dibanding ibu, tetapi kadarnya dalam plasma sangat rendah. Dengan makin bertambahnya umur kehamilan, kadar nitrofurontoin dalam plasma janin juga meningkat8.
Sejauh ini belum terbukti bahwa nitrofurontoin dapat menimbulkan terjadinya malformasi janin. Namun perhatian harus diberikan, terutama pada kehamilan cukup bulan dimana tidak mustahil pemberian nitrofurintoin harus dihindari terutama oleh karena potensinya untuk menimbulkan anemia hemolitik pada janin, mengingat belum sempurnanya sistem enzim glukose 6 phosfat dehidrogenase (G6PD)8.
8. Pentamidine B3
9. Trimethoprim B3
10. Sulfonamid
Sulfonamid (terutama dalam bentuk kombinasi, misalnya dengan trimetoprim) lebih banyak dikenal untuk mengobati infeksi saluran kemih, bahkan sebagai drug of choice. Sulfonamid dikenal sebagai penghambat kompetitif oleh karena mampu berkompetisi dengan PABA (Para Amino Benzoic Acid) yang sangat diperlukan pada pembentukan asam folat bakteri dengan membentuk analog asam folat non fungsional, sehingga secara tidak langsung menghambat pertumbuhan bakteri8.
Semua obat yang tergolong sulfonamid dapat melintasi plasenta dan masuk sirkulasi janin, meskipun dalam kadar yang lebih rendah atau sama dengan kadar dalam tubuh ibu. Pemakainnya pada wanita hamil harus dihindari, terutama pada akhir masa kehamilan mengingat sulfonamid mampu mendesak bilirubin dari tempat ikatannya oleh protein dan menyebabkan kern ikterus pada bayi yang baru dilahirkan. Keadaan ini mungkinn akan menetap sampai 7 hari setelah bayi lahir8.
Sulfadoxine, sulfadiazine, sulfamethizole, sulfamethoxazole C
11. Trimethoprim-sulfonamide combinations C

9. OBAT ANTI JAMUR
a. Amphotericin B3
b. Fluconazole D
Dosis tunggal (150mg) tidak menimbulakan efek samping pada kehamilan. Dosis ulangan fluconazole (400-800mg/ hari) berhubungan dengan pola konsisten defek kelahiran sama dengan penelitian pada binatang6.
c. Flucytosine, griseofulvin, itraconazole, ketoconazole B3
d. Terbinafine B1
e. Nystatin A

10. OBAT ANTI TUBERKULOSIS DAN ANTI LEPRA
a. Ethambutol, isoniazid A
Etambutol terbukti tidak bersifat teratogenik dan dapat menimbulkan malformasi janin. Pemberiannya pada penderita tuberkulosis cukup aman bersama-sama dengan obat lini pertama lainnya8. Segi keamanan isoniazid relatif cukup terjamin bahkan jika diberikan pada wanita hamil sekalipun, oleh karena tidak menunjukkan efek teratogenik maupun malformasi janin . Obat ini juga direkomendasikan oleh The American Thoracic Society sebagai obat lini pertama tuberkulosis (bersama-sama dengan rifampisin atau etambutol) pada wanita hamil.
b. Clofazimine C
Clofazimine dapat menyebabkan diskolorisasi pada kulit bayi. Efek ini reversibel tetapi dapat tertunda karena clofazimin memiliki waktu paruh dalam serum 70 hari6.
c. Dapsone, pyrazinamide B2
d. Rifabutin C
Perdarahan karena hypoprothrombinaemia telah dilaporkan pada neonatus dan ibu yang memakai rifamputin selama kehamilan. Jika rifabutin dipakai selama minggu-minggu terakhir kehamilan, vitamin K harus diberikan pada ibu dan neonatus6.
e. Rifampisin C
Rifampisin bersama-sama dengan etambutol dan isoniazid saat ini dipakai sebagai obat lini pertama pengobatan antituberkulosis. Pada studi terhadap binatang uji, pemakaian rifampisin dalam dosis besar dapat menimbulkan abnormalitas pada janin. Untuk itu biasanya rifampisin diberikan dengan perhatian khusus selama kehamilan, terutama trimester I. Sejauh ini efek teratogenis rifampisin tidak terbukti, sehingga The American Thoracic Society rifampisin juga direkomendasikan sebagai obat antitiberkulosis bersama isoniazid dan etambutol sekalipun untuk wanita hamil. Perdarahan karena hypoprothrombinaemia telah dilaporkan pada neonatus dan ibu yang memakai rifamputin selama kehamilan. Jika rifampisin dipakai selama minggu-minggu terakhir kehamilan, vitamin K harus diberikan pada ibu dan neonatus8.

11. OBAT ANTI MALARIA
Penggunaan obat-obat malaria dapat diterima karena resiko terhadap janin kecil dibandingkan keuntungan terhadap ibu dan janin.
a. Chloroquine (prophylaxis) A
b. Chloroquine (treatment), hydroksi kloroquine D
Klorokuin dan hidroksi klorokuin terbukti menyebabkan gangguan neurologik pada janin dan terutama berkaitan dengan alat-alat pendengaran keseimbangan dan penglihatan. Pada dosis rendah sebagai profilaksis malaria, kemungkinan manfaat baik pada ibu maupun janin lebih besar dibanding resiko terhadap janin. Namun demikian pemberiannya hendaklah diputuskan dengan pertimbangan yang seksama, mengingat pemberian klorokuin pada wanita hamil ternyata meningkatkan angka kejadian malformasi janin yang bersifat irreversibel8.
Pada saat diberikan dengan dosis tinggi dan waktu yang lama, klorokuin dan substansi lainnya dapat menyebabkan gangguan neurologis pendengaran, keseimbangan dan penglihatan janin6.
c. Doxycycline D
d. Mefloquine, kombinasi pyrimethamine-dapsone B3
e. Primaquine phosphate D
Dihindari pada trimester ketiga karena dapat menyebabkan hemolisis dan methaemoglobinemia pada neonatus6.
f. Proguanil B2
Jika diberikan selama kehamilan, suplemen asam folat harus diberikan. Proguanil telah luas dipakai dengan tanpa efek samping terhadap kehamilan6.
g. Pyrimethamine B3
Obat ini berpengaruh pada metabolisme asam folat dan eksperimen pada binatang menunjukkan bahwa pemberian dosis tinggi pyrimethamin selama pembentukan organ menimbulkan defek pada janin. Jika pyrimethamin diberikan selama kehamilan, suplemen asam folat harus diberikan6.
h. Kombinasi Pyrimethamine-sulfadoxine C
Pyrimethamine berpengaruh pada metabolisme asam folat, jika idiberikan selama kehamilan, suplemen asam folat harus diberikan. Sulfonamid menyebabkan jaundice dan anemia hemolitik pada neonatus6.
i. Kina (terapi) D
Kemanfaatan kina sebagai pengobatan malaria telah diakui secara luas, tetapi pemakaian pada wanita hamil harus dihindari. Ini mengingat selain mampu menginduksi kontraksi uterus (dengan konsekuensi terjadinya abortus), kinin juga menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, ketulian, dan malformasi pada anggota gerak dan tempurung kepala, terutama jika diberikan dalam dosis yang besar8.

12. OBAT ANTI VIRUS
a. Aciclovir , indinavir, ritonavir, valaciclovir B3
b. Cidofovir D
Menyebabkan kehilangan janin dan kecacatan waktu lahir6.
c. Delavirdine, foscarnet, lamivudine, nevirapine, stavudine, zidovudineB3
d. Didanosine B2
e. Famciclovir , saquinavir B1
f. Ganciclovir D
Teratogenik dan embriotoksik pada binatang6.
g. Nelfinavir B2
h. Ribavirin X
Ribavirin teratogenic dan atau r embryolethal pada spesies binatang yang di tes. Malformasi tengkorak, palatum, mata, rahang, dan traktus gastrointestinal6.
i. Zalcitabine D
Teratogenic pada binatang.

13. OBAT ANTI CACING
a. Albendazole D
Albendazole teratogenic pada beberapa spesies
b. Ivermectin, mebendazole, thiabendazole B3
c. Praziquantel B1
d. Pyrantel embonate, diethylcarbamazine B2

14. OBAT ANTI NEOPLASI
Jaringan embrional pada dasarnya mirip dengan jaringan tumor/ kanker, ini berarti bahwa jaringan embrional peka terhadap obat-obat antikanker. Sebagaimana diketahui obat-obat anti kanker bersifat sitotoksik, dengan demikian obat-obat tersebut tidak hanya menyerang sel-sel kanker tetapi juga sel-sel yang mirip dengan sel kanker. Ini berarti bahwa obat antikanker yang manapun, jika diberikan pada seorang wanita yang sedang hamil dapat meningkatkan terjadinya malformasi atau abnormalitas janin8.
Obat antikanker yang pertama kali diketahui menunjukkan efek teratogenik adalah aminopterin, dimana bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang mendapat aminopterin selama periode kehamilan diketahui mangalami cacat lahir, antara lain defek pada lengan dan tungkai, defek pada sistem saraf pusat5 ataupun tidak terbentuknya ginjal dan ureter. Sejak itu beberapa obat antikanker yang diperkenalkan kemudian juga menyebabkan abnormalitas pada janin. Obat-obat tersebut antara lain obat-obat antimetabolit dan bahan-bahan obat alkilasi, termasuk disini siklopospamid, klorambusil, metotreksat, merkapturin dan busulfan8.
Obat Cytotoxic dapat menyebabkan aborsi spontan, kehilangan janin, dan cacat lahir6
a. Obat Alkilasi
Busulfan, carmustine, chlorambucil, cyclophosphamide, estramustine, fotemustine, ifosfamide, lomustine, melphalan, mustine, thiotepa D
b. Anti Metabolit
Cladribine, colaspase, cytarabine, docetaxel, fluorouracil, gemcitabine, hydroxyurea, methotrexate, mercaptopurine, paclitaxel, raltitrexed, thioguanine, topotecan D
c. Vinca Alkaloids
Vinblastine, vincristine, vindesine, vinorelbine tartrate D
d. Obat Antibiotik Sitotoksik
Bleomycin, dactinomycin, daunorubicin, doxorubicin, epirubicin, fludarabine, idarubicin, mitomycin, mitozantrone D
e. Obat Antineoplasma Hormonal
1. Aminoglutethimide D
Obat ini pernah dilaporkan pada kasus pseudohermaphrodism dan pemakaiannya dalam kehamilan6
2. Anastrozole C
Obat ini merusak kadar estrogen yang mempengaruhi metabolisme dan memberikan hasil pada kasus abortus6.
3. Goserelin, letrozole, leuprorelin D
Secara teori menyebabkan abortus atau abnormalitas pada janin bila GnRH agonists digunakan selama kehamilan.6
4. Medroxyprogesterone (oral danIM dosis tinggi) D
Dapat menyebabkan maskulinisasi pada janin jika diberikan 8 minggu setelah konsepsi6.
5. Tamoxifen, toremifene B3

f. Obat Anti Neoplasma Lainnya
1. Altretamine, amsacrine, carboplatin, cisplatin, dacarbazine, etoposide, irinotecan, procarbazine, samarium[153 Sm], teniposide D
2. Tretinoin (Oral) X
Obat-obat ini berpotensi teratogenik jika dipakai teratur selama kehamilan muda, yang menyebabkan kelainan congenital berupa embriopati asam retinoat. Efek teratogenik ini tergantung pada dosis obatnya6.
g. Terapi Suportiv Non Sitotoksik
1. Amifostine B3
2. Mesna B1



h. Obat Penurun Berat Badan dan Anorektal
Penurunan berat badan dengan menggunakan obat penekan nafsu makan tidak boleh dipakai selama kehamilan6.
1. Dexfenfluramine, mazindol, phentermine B3
2. Diethylpropion, fenfluramine B2
i. Obat lain yang digunakan untuk kelainan metabolisme
Alglucerase, cysteamine bitartrate B3

15. OBAT SISTEM RESPIRASI
a. Antitusif
Tergantung pada aksinya, yaitu pada pusat batuk di medulla atau pada tempat iritasi di saluran pernafasan, biasanya antitusiva digolongkan sebagai antitusiva yang beraksi sentral (misal : kodein, hidrokodon, hidromorfon, noskapin, dekstrometorfan) dan yang beraksi perifer (misal :anestetika lokal). Dekstrometorfan merupakan antitusiva yang paling aman bila digunakan pada masa kehamilan11.
Alkaloid opium dan derivatnya: codeine, dextromethorphan, dihydrocodeine, pholcodine A
b. Ekspektoran dan Mukolitik
Seperti ammonium klorida, bromheksin, emetin, guaifenesin, ipekakuanha, saponin, digunakan untuk merangsang alir dahak sedang mukolitika (asetilsisteina) untuk mencairkan atau mengurangi kekentalan dahak. Obat-obat ini relative aman bila digunakan pada masa kehamilan11.
Acetylcysteine (inhalasi) B2
Ammonium chloride, bromhexine, emetine, guaiphenesin, ipecacuanha, saponins A
c. Dekongestan
Phenylephrine, phenylpropanolamine, pseudoephedrine B2
d. Obat Inhalasi
Obat inhalasi yang terdiri dari norfluran seperti propelan jarang digunakan. Norfluran telah terbukti aman pada hewan. Seorang dokter harus tetap melakukan konsul terlebih dahulu untuk mendapatkan informasi lebih lengkap6.
e. Bronchospasm relaxants
1. Eformoterol, salmeterol B3
2. Ephedrine, fenoterol, isoprenaline, orciprenaline, rimiterol, salbutamol, terbutaline, theophylline derivatives A
3. Ipratropium bromide B1
Yakni obat-obat aerosol atau inhalasi untuk mencegah bronkospasme6.
4. Beclomethasone, budesonide, fluticasone, salmeterol B3
Bermanfaat untuk mengontrol asma tetapi merugikan bagi wanita hamil6.
a. Nedocromil B1
b. Sodium cromoglycate A
f. Obat Respirasi yang lain
1. Acetylcysteine B2
2. Dornase alfa, montelukast, zafirlukast B1

16. OBAT SISTEM IMUNOLOGI
a. Antihistamin
1. Azatadine, cetirizine, diphenylpyraline, fexofenadine, methdilazine, terfenadine B2
2. Brompheniramine, chlorpheniramine, clemastine,cyproheptadine, dexchlorpheniramine, diphenhydramine, diphenylamine, doxylamine, pheniramine, triprolidine A
3. Chlorcyclizine, cyclizine, hydroxyzine A
4. Levocabastine B3
Pemakaian jangka pendek obat-obat antihistamin selama kehamilan trimester pertama tidak membahayakan bagi janin tetapi obat-obat ini bersifat teratogenik pada hewan dan beberapa pada manusia berdasarkan data yang tersedia. Hal ini berkemungkinan besar untuk terjadinya efek teratogenik6.
5. Loratadine B1
6. Trimeprazine, promethazine C
Pemakaian dosis tinggi selama kehamilan, seperti phenothiazines dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf dalam jangka panjang pada janin6.

17. VAKSINASI
a. Vaksinasi melemahkan hidup virus
Berdasarkan penelitian yang ada membuktikan bahwa vaksinasi tidak menyebabkan efek teratogenik pada manusia. NHMRC, sebuah lembaga konsultan imunisasi di Australia dapat memberikan informasi lebih jelas6.
1. B.C.G., campak, gondok, rubella, gondok, typhoid (oral), yellow fever B2
2. Poliomyelitis (oral), typhoid (injection) A
3. Rubella B2
Wanita hamil harus dilakukan tes alergi terlebih dahulu sebelum pemberian vaksin rubella. Wanita dengan seronegatif terbukti tidak hamil seharusnya diberikan langsung vaksin rubella. Sebelum diberikan vaksin, diberikan informasi terlebih dahulu pada wanita bahwa sebaiknya mereka tidak hamil dulu sekurang-kurangnya 2 kali siklus menstruasi/ selama 2 bulan karena vaksin rubella menyebabkan infeksi pada janin. Sebab berdasarkan penelitian terakhir, ditemukan tidak ada kelainan pada janin akibat vaksin rubella dari 400 kelahiran pada ibu yang mendapat vaksin rubella sebelum hamil. Berdasarkan pengalaman diatas, pemberian vaksin rubella tidak dibenarkan selama kehamilan6.
b. Killed vaccines
1. Cholera, haemophilus influenzae type B, hepatitis A, hepatitis B, influenza, meningococcal, pneumococcal, poliomyelitis (injection) B2
2. Diphtheria, tetanus A
3. Rabies vaccine B2
Bermanfaat untuk menekan risiko setelah terpapar6.
c. Immunomodifiers
1. Azathioprine D
Obat ini meningkatkan risiko pada malformasi janin, menekan sistem imun neonatus, dan menekan pembentukan sum-sum tulang janin6.
2. Cyclosporin C
Obat ini dapat menyebabkan penekanan sistem imun pada bayi6
3. Interferon alpha-2a, interferon alpha-2b, interferon gamma-1b B3
4. Interferon beta-1a D
Interferon beta-1a mengakibatkan aborsi pada kera6
4. Interferon beta-1b D
Aborsi spontan dilaporkan pada suatu penelitian pada pasein multiple sklerosis6.
5. Levamisole B3
6. Mycophenolate mofetil D
Mycophenolate terbukti teratogen pada 2 jenis hewan yang telah diujikan. Obat ini merusak pembentukkan asam nukleat dan menyebabkan malformasi/ kematian pada janin6.
7. Rituximab C
Kelompok antibodi ini melewati sistem barier plasenta dan menyebabkan deplesi sel B dan/ atau efek yang lain6.
8. Tacrolimus C
Obat ini menyebabkan penekanan sistem imun pada janin. Penggunaannya selama kehamilan bisa mengakibatkan hiperkalemia dan disfungsi ginjal pada neonatus6.
9.Benzydamine (topical oropharyngeal) B2

18. OBAT MATA
a. Acetazolamide, apraclonidine, dorzolamide, latanoprost, levocabastine B3
b. Betaxolol, levobunolol, timolol C
Obat Beta-Adrenergik Bloker dapat menyebabkan efek seperti takikardi pada janin dan bayi baru lahir6.
c. Brimonidine tartrate, lodoxamide trometamol B1
d. Chloramphenicol A
e. Ecothiopate B2
f. Flurbiprofen B2
g. Idoxuridine B3

19. OBAT DERMATOLOGI
A. SISTEMIK
1. Acitretin, etretinate X
Obat ini bersifat teratogenik berdasarkan dosis terapinya. Kerja obat ini yakni mereka tersimpan untuk beberapa bulan setelah selesai pemakaiannya. Obat ini tertimbun dalam lemak dalam jangka panjang, pasien diberi penjelasan untuk tidak mengkonsumsi obat-obatan selama 2 tahun setelah penggunaan obat ini karena dapat menyebabkan kelainan pada janin6.
2. Isotretinoin X
Isotretionin yang dipakai sebagai anti akne ternyata sekarang terbukti secara luas sebagai eratogen yang cukup poten pada manusia dan sama sekali tidak boleh dipakai selama kehamilan. Pemakaian isotretionin selama kehamilan dapat menyebabkan terjadinya kelainan janin berupa hidrosephalus, mikrosefali, mikrotia, agenesis dari lubang telinga, atresia arkus costae, defek septum jantung, dismorfisme muka, mikrooftalmus, mikrognatia, dan langit-langit sumbing4.
B. TOPIKAL
1. Adapalene D
Pemakaian obat ini menyebabkan kelainan pada janin selama kehamilan. Karena berefek mengganggu perkembangan janin. Obat ini sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil atau yang berencana akan hamil selama pengobatan6.
2. Azelaic acid, calcipotriol B1
3. Desonide B3
4. Finasteride X
Finasteride dapat menyebabkan kelainan pada alat genital janin laki-laki.
5. Isotretinoin D
Isotretinoin terbukti berefek teratogenik pada pemberian oral pada manusia. Obat ini mengakibatkan kelainan pada janin dan berisiko ringan pada abortus spontan6.
6. Methoxsalen B2
7. Tretinoin D
Pemakaian tretinoin bentuk cream selama hamil trimester pertama menyebabkan kelainan pada janin. Semua bentuk seharusnya tidak diberikan selama kehamilan. Penggunaan obat ini sudah tidak dibenarkan lagi, beberapa kesamaan terjadi juga pada pemakaian obat retinoat oral. Penelitian cohort secara retrospektif menyatakan penggunaan tretinoin pada kehamilan trimester pertama, tetapi penelitian ini kemungkinan kecil diterima karena mempengaruhi keselamatan janin selama kehamilan6.
9. TOPICAL ANTIFUNGALS, ANTISEPTICS
a. Amorolfine, bifonazole B3
b. Cetylpyridinium, chlorhexidine, chlorquinaldol, clotrimazole, econazole, hydroxyquinoline, miconazole A
10. TOPICAL ANTIPARASITICS
a. Benzyl benzoate, bioallethrin, crotamiton, maldison (malathion), permethrin, pyrethrins B2
b. Lindane B3
Penetrasi lindane pada kulit manusia telah dilaporkan dapat menyebabkan gejala iritasi CNS, karenanya hal ini berpotensial toksik dan perlu dilakukan medikasi selama kehamilan6.
c. Piperonyl butoxide B3
11. TOPICAL ANTIVIRAL
a. Aciclovir B3
b. Idoxuridine, imiquimod, penciclovir B1

20. OBAT ANESTESI
A. Anestesi umum
Pada kehamilan, gas dan cairan mudah menguap digunakan sendiri atau campuran untuk menimbulkan anestesi selama persalinan. Efek anestetika umum pada fungsi fetal sulit dievaluasi karena biasanya digunakan bersama sedative, hipnotika dan penenang. Selain itu perubahan ventilasi maternal, sirkulasi dan perfusi uterus merupakan faktor yang harus ikut dipertimbangkan.
Halotan, kloroform, trikloroetilen dan siklopropan merupakan senyawa yang larut lipid, karenannya mudah masuk sirkulasi janin. Halotan dan kloroform didalam hati termetabolisme menjadi metabolit hepatotoksik. Meskipun demikian, diduga janin lebih tahan terhadap efek toksik senyawa hidrokarbon halogen tersebut.. hal ini dapat dimengerti mengingat kapasitas metabolisme janin belum begitu berkembang.
Yang paling sering digunakan untuk anestesi obstetric meliputi nitrooksida, metoksifluran dan enfluran, tetapi karena potensi analgesinya rendah serta aksi hambatan terhadap kontraksi uterus, maka halotan jarang digunakan11. Enfluran termasuk relatif aman pada janin, tidak mudah terbakar, mula kerja cepat dan induksi berlangsung dengan halus. Hampir semua anestika intravena larut lipid, sehingga mudah melintas sawar darah otak maupun plasenta. Metabolisme hati merupakan jalur utama eliminasi semua anestika intravena, kecuali propanidid yang terhidrolisis oleh pseudokolinesterase plasma dan etomidat oleh esterase plasma dan hati. Bila diberikan pada dosis terapi, ketamin relative aman bagi si janin. Ketamin memiliki efek stimulasi kardiovaskuler, karenanya jangan diberikan pada ibu yang memiliki riwayat hipertensi11. Semua ansestesi umum berpotensi mendepresi sistem saraf pusat pada neonatus6.
a. Enflurane, halothane, ketamine, thiopentone A
b. Desflurane, isoflurane B3
c. Methohexitone, sevoflurane B2
d. Methoxyflurane C
e. Nitrous oxide A
f. Propofol C

B. Anastesi Lokal
Penggunaan anestetika lokal pada praktek obstetric dan ginekologi semakin meningkat. Oleh Australian Drug Evaluation Committee, bupivakaina, sinkokaina, lignokaina, mepivakaina dan prilokaina sampai saat ini dinyatakan relatif aman. Akibat tingginya kadar obat bebas dalam janin, mungkin berkaitan dengan kasus bradikardi dan kematian janin setelah pemberian blok paraservikal anestetika lokal. Bupivakaina relative lebih sering menyebabkan kematian janin. Keseringan bradikardi janin karena prilokaina kurang lebih setengahnya lignokaina dan mepivakaina. Namun prilokaina menunjukkan kontraindikasi dengan persalinan karena risiko methemoglobinemia pada ibu dan bayinya11.
1.Bupivacaine, cinchocaine, lignocaine, mepivacaine, prilocaine A
2.Etidocaine, ropivacaine B1
3.Procaine hydrochloride B2

21. NEUROMUSCULAR BLOCKING AGENT
a. Alcuronium, mivacurium, pancuronium, rocuronium B2
b. Atracurium, gallamine, pipecuronium, tubocurarine, vecuronium C
c. Suxamethonium A

22. OBAT KONTRASEPSI
a. Medroxyprogesterone (IM contraceptive dose) A
b. Kontrasepsi oral
Kombinasi , progestogen B3
c. vaginal spermicides
Nonoxynol 9, octoxinol A
23. OBAT UNTUK KEPERLUAN DIAGNOSIS
A. OBAT RADIOGRAPHIC
1. Ioversol B1
2. Gadodiamide, iomeprol B3
3. Galactose and palmitic acid B2
B. TES RESPON PITUITARY-ADRENAL
1. Metyrapone B2
2. Tetracosactrin D
Ada laporan terjadi aborsi atau malformasi janin pada wanita yang diterapi dengan tetracosactrin6.

24 OBAT DETOKSIFIKASI, ANTIDOTUM
1. Acetylcysteine (intravenous), digoxin immune fab B2
2. Desferrioxamine, flumazenil B3
3. Naloxone B1
4. Penicillamine D
Penicillamine menyebabkan cutis laxa pada janin6.

25. OBAT CHOLINERGIC DAN ANTICHOLINERGIC
a. Atropine, hyoscine methobromide, papaverine A
b. Atropine methonitrate, belladonna, glycopyrrolate, hyoscine, hyoscine-N-butylbromide, hyoscyamine, propantheline B2
c. Bethanechol B2
Obat ini berefek pada otot polos dan sebaiknya dihindari saat hamil6.
d. Donepezil B3
e. Tacrine C
Obat ini menghasilkan efek cholinergic pada janin6.

26. OBAT MYASTHENIA GRAVIS
a. Ambenonium chloride, neostigmine B2
b. Pyridostigmine C
Kebutuhan ibu terhadap terapi ini adalah mutlak. Efek kolinergik pada neonatus jarang6.

27. OBAT PADA KEADAAN KETERGATUNGAN
a. Calcium carbimide A
b. Disulfiram B2
Pada trimester pertama dapat mengakibatkan malformasi anggota bawah dan sindrom VACTERL4.
c. Methadone C
Dapat menyebabkan depresi respirasi dan wihtdrawal symptom pada neonatus6.
d. Naltrexone B3
e. Nicotine — transdermal D
— in chewing gum D
Efek berbahaya dari asa[ rokok pada ibu dan janin sudah jelas6.

28.VITAMIN
Suplementasi multivitamin pada wanita hamil dapat mengurangi resiko terjadinya defek kardiovaskular, bibir terbelah (oral cleft) dan defek traktus urinarius pada bayinya. (Diaz et al, 2000).
1. Nicotinic acid B2
2. Vitamin A D
Kelebihan vitamin A dapat menyebabkan defek pada bayi. Ibu harus mempertimbangkan diet vitamin A nya sebelum memakan suplemen6.

KESIMPULAN

1.Pemakain obat selama kehamilan selalu disertai resiko terjadinya pengaruh buruk baik terhadap janin,ibu maupun proses kehamilannya. Besar kecilnya resiko sangat beragam tergantung pada jenis obat, cara pemakaian maupun berbagai karakteristik biologik individual.
2.Alasan ( indikasi ) pemakaian obat pada kehamilan harus mutlak, dalam arti tidak ada alternative lain selain farmakoterapi yang memberikan manfaat yang sepadan danfarmakoterapi adalah satu-satunya alternative terapi yang kemungkinan paling bermanfaat.
3.Manfaat terapi dari suatu obat harus jelas. Manfaat yang diperoleh harus benar-benar melebihi kemungkinan resiko yang terjadi.
4.Pemilihan obat dari suatu kelas terapi dilakukan dengan mengambil obat yang kemungkinan pengaruh buruknya terhadap janin, ibu dan proses kehamilannya relative paling kecil menurut berbagai sumber yang layak.
5.Penentuan besar dosis, cara dan lama pemberian harus mempertimbangkan perubahan-perubahan farmakokinetika dan farmakodinamika karena proses kehamilannya. Sebagai contoh proses eliminasi obat pada wanita hamil umumnya berlangsung lebih cepat disbanding wanita tidak hamil.
6.Dalam keadaan ragu=ragu untuk memutuskan pemilihan obat , dianjurkan jika mungkin, menunda pemberian obat dan mengacu pada pustaka-pustaka yang ada dan sumber informasi-informasi yang layak.
7.Pemakaian kombinasi obat sedapat mungkin dihindari, terutama kombinasi obat yang kemungkinan memberikan efek aditif atau potensiasi terhadap timbulnya pengaruh buruk.
8.Obat-obat yang jelas diketahui bersifat teratogenik pemakaiannya harus dihindari pada wanita hamil, juga pada wanita usia mampu hamil, kecuali kalau dipastikan bahwa wanita yang bersangkutan tidak sedang dalam proses kehamilan.
9.Efek samping yang terjadi pada janin mungkin tidak berkaitan dengan efek farmakologik obat, dan dapat terjadi kemudian setelah kelahiran.

DAFTAR PUSTAKA

1.IONI
2.(Ernest Mutschler, 1996)
3.(Santoso, 1990).
4.(Koren dkk, 1998).
5.(CD ROM)
6.Australia
7.
8.(Wood, 2001)
Wood, A. J. J, Drug in Pregnancy, 1998, Volume 338 Number 16 1128- 1137
Wood, A. J. J, Misoprostol dan Pregnancy, N Eng J Med Vol 344 No. 1 January 4 2001
Koren, G., Cohen, M.S., 1998, Aspek khusus dari Farmakologi Perinatal dan Pediatrik dalam Farmakologi dasar dan klinik edisi VI
Diaz, S. H., Werler, M. M., Walker, A. M., Mitchell, A. A., 2000, Folic Acid Antagonist During Pregnancy And The Risk Of Birth Defects, November 30, 2000, Volume 343 Numbe 22, 1608 – 1614.nejm
Suryati, S., Dwiprahasto, I., Santoso, B., 1990, Kumpulan makalah seminar pemakaian obat pada kehamilan Yogyakarta, 27 Januari 1990, Laboratorium farmakologik klinik FK UGM
Santoso, B., 1990, Masalah pemakaian oabt pada kehamilan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger