Anestesiologi (Ilmu Pemakaian Obat Bius |
Obat bius lokal Obat bius lokal dapat digunakan untuk injeksi lokal atau regional untuk menyebabkan matirasa selama operasi berlangsung. Injeksi regional dari bius lokal digunakan untuk sebagian besar pengeblokan sistem saraf dan spinal (tulang belakang/subarachnoid) atau pengeblokan epidural. Walaupun bius lokal paling banyak digunakan oleh para agen pengguna obat bius dan mempunyai rekor yang baik untuk keselamatan klinis, tetapi telah muncul beberapa pertanyaan mengenai racun yang terkandung didalamnya. Dikalangan obat bius lokal (lidocaine, mepivacine, dan bupivacine) telah menggantikan ester (seperti procaine) dikarenakan stabilitasnya dan fakta bahwa obat bius lokal tidak menyebabkan reaksi alergi. Karena tingginya kelarutan lemak dan ketinggian affinitas untuk situs pengikatan protein, maka bupivacine mempunyai durasi aksi yang lebih panjang dibanding obat bius lokal lainnya. Walaupun demikian, besarnya kecenderungan pengikatan bupivacine dengan situs ikatan protein kardiak tertentu setelah penginjeksian intravenus yang tidak disengaja mungkin akan menyebabkan depresi miokardial yang mendalam yang menyebabkan penghentian kardiak intractabel. Dengan menggunakan obat bius lokal lain, seperti lidocaine, sistem saraf pusat akan terkena efeknya dikarenakan penggunaan dosis yang berlebih atau penginjeksian intravenus yang tidak disengaja yang terjadi pada level tekanan darah yang rendah (8 atau 10 μg per milimeter) dibanding obat bius lokal yang berpengaruh terhadap efek racun kardiovaskular (20 μg per milimeter). Efek racun terhadap sistem saraf pusat yang disebabkan obat bius lokal dapat dikontrol dengan penggunaan intravenus benzodiazpin (midazolam atau diazepam) atau thiobarbiturate (thiopental) dan perlindungan saluran udara pasien dan manajemen ventilasi. Efek racun dalam sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskular terjadi pada level darah bupivacine yang sama (3 hingga 5 μg per milimeter). Penyadaran yang diperpanjang dan penggunaan epinephrine yang berulang mungkin tidak dapat mengembalikan kembali fungsi kardiak. Report depresi kardiovaskular yang mendalam sebagian besar dihubungkan dengan penggunaan konsentrasi bupivacine yang lebih tinggi (0,75 persen). Akibatnya, konsentrasi ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin. Ropivacine merupakan obat bius lokal dengan durasi aksi yang sama dengan bupivacine. Properti pharmacokineticnya juga sama dengan bupivacine, walaupun ropivacine mempunyai kelarutan lemak yang lebih rendah sehingga mempunyai potensi yang lebih rendah. Stereoisomerisme tidak diberikan dengan ropivacine, tetapi diberikan dengan bupivacine. Isomer R (rektus) bupivacine ada dalam saluran sodium untuk periode yang lama yang memberikan efek terhadap kardiotoksik. Isomer S (sinister) bupivacine ada dalam saluran sodium untuk periode yang pendek. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa ropivacine mempunyai karakteristik pharmalogikal klinis yang sama dengan bupivacine, tetapi tanpa efek kardiotoksik. Hipotesis tersebut didukung oleh sejumlah studi hati kelinci yang diisolasi yang menunjukkan bahwa bupivacine mempunyai cardiodepressant dan efek-efek arrhythmogenic dibanding lidocaine atau ropivacine. Lidocaine dahulu digunakan untuk pembiusan spinal dan epidural selama beberapa dekade dikarenakan kecepatan onset dan durasi aksinya yang dapat diprediksi. Modifikasi terbaru dalam teknik penggunaan pembiusan spinal diyakini mengakibatkan konsentrasi persiapan lidocaine spinal lokal yang tinggi (5 persen lidocaine dalam hyperbaric atau lebih padat dibanding larutan cair cerebrospinal dekstrosa). Konsentrasi solusi obat bius lokal spinal yang tinggi mengakibatkan iritasi radicular temporer, yang ditandai adanya nyeri radicular yang dimulai 24 jam setelah pembiusan spinal dan berakhir tidak lebih dari dua hari. Hampl, dkk. menyatakan bahwa iritasi radicular temporer pada lebih dari sepertiga pasien yang menerima lidocaine untuk pembiusan spinal. Iritasi radicular temporer tidak terjadi ketika bubuk digunakan sebagai pembiusan spinal. Dalam studi ganda yang dilakukan untuk membandingkan isobaric atau hyperbaric lidocaine dengan bupivacine untuk pembiusan spinal, Pollock, dkk. menyatakan bahwa iritasi radicular temporer pada 13 persen pasien yang menerima lidocaine untuk perbaikan hernia dan pada 16 persen pasien yang menerima lidocaine untuk arthroscopy, tetapi tidak satupun dari mereka menerima bupivacine. Penulis mendalilkan bahwa posisi dan manipulasi operasi memberikan efek terhadap pembiusan lokal. Hasil penelitian yang sama mengenai radiculopathy menyebabkan penarikan izin dari FDA untuk penggunaan microcatheter yang menggunakan 5 persen lidocaine untuk pembiusan spinal yang terus menerus. Tidak diketahui secara jelas mengapa hasil penelitian ini baru muncul sekarang, setelah beberapa dekade pengalaman dengan penggunaan lidocaine untuk pembiusan spinal. Dalam studi klinis sebelumnya, iritasi radicular temporer tidak dihubungkan dengan penggunaan ropivacine untuk pembiusan spinal. NYERI Pengontrolan nyeri dalam periode perioperatif memperbaiki hasil operasi, memperpendek rawat inap di rumah sakit, dan menghilangkan kekhawatiran pasien mengenai operasi. Penyembuhan nyeri multimodal berdasarkan pada additif, atau bahkan sinergistik, yang mempunyai efek ketika berbagai medikasi dan teknik dikombinasikan untuk menyembuhkan nyeri dan mengurangi komplikasi. Blokade sensori sebelum “incision operasi”, yang digunakan sebagai istilah untuk penggunaan terlebih dahulu obat bius, yang melindungi sensitisasi reseptor nyeri dan meningkatkan transmisi dalam saluran nyeri neuronal spinal. Obat Bius Multimodal Kemajuan terbesar dalam pengontrolan nyeri pada 20 tahun terakhir dibarengi dengan penggunaan obat bius multimodal dan memperbarui teknik infusi terus menerus. Dengan pendekatan multimodal untuk penghilangan nyeri, berbagai variasi agen, termasuk obat bius lokal, obat-obatan antiinflammatory nonsteroidal, opioid, α2- adrenergic agonist, dan N-metil-D-aspartik asam reseptor inhibitor yang dikombinasikan untuk memaksimalkan penghilangan nyeri. Jenis-jenis obat bius tersebut bersifat aktif pada reseptor nyeri, saraf peripheral, level cord spinal, dan korteks serebral. Aditif dan efek-efek sinergetik tampak ketika morfin intrathecal (spinal) dikombinasikan dengan clonidinc, norephinephrine, carbachol, atau midazolam untuk hewan-hewan yang digunakan untuk percobaan di laboratorium. Obat-obat antiinflamantori nonsteroidal merupakan analgesik yang efektif, tetapi mungkin merupakan kontra indikasi dalam beberapa kondisi tertentu. Ketorolac dan piroxan memberikan penghilangan rasa nyeri yang sangat baik setelah beberapa prosedur, seperti laparoscopy, arthroscopy, dan bahkan arthroplasty pinggul. Walaupun demikian, untuk prosedur-prosedur operasi yang mempunyai hasil yang mungkin dibahayakan oleh formasi hematoma, obat-obat antiinflamantori nonsteroidal tidak diberikan resepnya. Demikian juga ada pertimbangan mengenai resiko kegagalan renal dikarenakan penggunaan obat-obat antiinflamantori nonsteroidal pada pasien yang mempunyai fungsi renal peroperatif yang abnormal. Pada pasien yang menjalani terapi jangka panjang menggunakan obat antiinflamantori nonsteroidal, pemberian obat tersebut haru dihentikan sebelum dilakukan operasi karena aktivitas antiplateletnya. Walaupun dosis penggunaan obat tersebut tepat, obat tersebut mempunyai keunggulan dibanding opioid karena tidak menyebabkan nausea dan muntah. Prosedur pengeblokan saraf peripheral menyebabkan ketidaksadaran penuh dalam area inervasi. Analgesia dapat diperdalam dengan penambahan opioid atau α -adrenoceptor agonist. Sayangnya, cara pengeblokan saluran nyeri saraf peripheral tanpa sensori atau blokade motor tidak dapat dilakukan oleh obat bius lokal. Penemuan reseptor morfin pada ujung dorsal kolom spinal menyebabkan pemberian opioid neurixal (subarachnoid atau epidural) untuk menyebabkan analgesia. Terapi multimodal dengan kombinasi opioid atau obat bius lokal, atau kombinasi keduanya, telah digunakan untuk anesthesia epidural dan spinal dengan analgesia pasca operasi yang panjang. Pemberian neurixal opioid memungkinkan ambulasi awal setelah operasi mayor tanpa rasa nyeri atau instabilitas hemodinamika. Hipotensi orthostatik membatasi ambulasi ketika obat bius lokal terus diberikan setelah operasi untuk menghilangkan nyeri neurixal. Ketika opioid diberikan secara neurixal, distribusi dan kemujaraban opioid tersebut ditentukan berdasarkan kelarutan lemak. Serangkaian opioid fentanyl sangat larut dalam lemak, dan pemberian neurixal berakibat pada kecepatan penyerapan sistemik, level darah yang tinggi, dan distribusi analgesia yang terbatas. Walaupun demikian, morfin lebih rendah kelarutannya dalam lemak dan menyebar dengan lambat dalam ruang-ruang subarachnoid dan epidural, memberikan analgesia yang lebih luas. Sayangnya, pemberian morfin neurixal menyebabkan tingginya komplikasi, termasuk depresi respirator yang tertunda, pruritus, dan penyimpanan urin. Hydromorphone sama dengan morfin dalam menghasilkan analgesia neurixal, tetapi mempunyai efek samping yang lebih sedikit. Pemberian intravenous yang dikontrol oleh pasien atau analgesia epidural termasuk penggunaan pompa kecil terkomputerisasi untuk pemberian larutan analgesia. Larutan tersebut boleh mengandung campuran obat bius lokal dan opioid atau hanya mengandung opioid. Infusi baselinc dapat dilakukan pada dosis bolus pasien. Frekuensi bolus dikontrol untuk mencegah overdosis inadvertent. Kemujaraban obat bius yang dikontrol oleh pasien sering kali dimonitor menggunakan skala visual-analog untuk mencatat persepsi pasien mengenai intensitas nyeri yang bertujuan untuk penghilangan nyeri yang cepat, analgesia yang berkelanjutan, dan meminimalkan intervensi perawatan. Pemberian epidural yang dikontrol oleh pasien lebih efektif dibanding pemberian intravenous yang dikontrol oleh pasien dalam pemeliharaan analgesia setelah operasi, tetapi pasien merasa dua metode tersebut sama-sama memuaskan. Walaupun demikian, teknik-teknik pemberian analgesia yang dikontrol oleh pasien tidak menunjukkan pengurangan masa rawat inap di rumah sakit. α -Adrenoceptor agonist (seperti clonidic dan medetomidine) mengikat reseptor-reseptor prejunctional dan postjunctional dan bekerja secara sinergis dengan opioid agonist untuk menghentikan saraf afferent dan nuclei otak dalam saraf nyeri. Clonidine telah terbukti menyebabkan matirasa, berpotensi dalam penghirupan obat bius, memperbanyak opioid, menghasilkan anxiolysis dan sedasi, dan mengontrol hipertensi. Pemberian epidural clonidine berotensi mempunyai efek fentanyl, mengurangi kebutuhan opioid total, dan mengurangi depresi respiratori. Walaupun demikian, selain penggunaan transdermal untuk mengontrol hipertensi, clonidine tidak diizinkan untuk digunakan di Amerika Serikat. Dexmedetomidine, α -Adrenoceptor agonist yang sangat khusus, mengurangi jumlah total isoflurane yang dibutuhkan untuk anesthesia selama histerektomi abdominal. Penambahan obat bius ini terhadap cairan obat bius lokal untuk epidural atau anesthesia spinal secara signifikan akanmemperpanjang matirasa pasca operasi. Analgesia preemptive Stimuli operasi menyebabkan sensitisasi sentral saraf spinal yang dapat diteliti sebagai tambahan untuk penghentian nyeri afferent peripheral awal. Sensitisasi sentral ini diistilahkan dengan “neurotransmitter” dan neuroeptida. Potensi saraf synaptic yang lambat dihasilkan oleh Aδ dan serat-serat C dalam neuron ujung dorsal. Bagian terakhir dari potensi tersebut menghasilkan depolarisasi persepsi nyeri jangka panjang. Aktivasi mempunyai hubungan yang erat dengan peningkatan permeabilitas kalsium dan aktivasi guanosin trifosfat-ikatan protein dan protein kinase. Relevansi klinis dari perubahan neurofifiologis ini adalah bahwa Nyeri-metil-D-aspartic asam – bagian reseptor dalam manajemen jangka panjang dari nyeri kronis. Analgesia preemptive merupakan pendekatan terapis yang penting yang menggunakan kombinasi obat bius lokal, blokade neurixal, dan inhibisi mediator neuroplastisitas sentral untuk mencegah mekanisme nyeri yang abadi. Kemajuan dalam manajemen nyeri akut, terutama yang dihubungkan dengan penggunaan analgesia epidural, telah menghasilkan hasil yang lebih baik, seperti penghilangan nyeri yang lebih cepat dan kepuasan pasien, penurunan sedasi pasca operasi, ambulasi lebih awal, insiden komplikasi respirator yang lebih rendah dan pemulihan fungsi perut yang lebih cepat. Peningkatan aliran darah terhadap ekstremitas yang rendah meningkatkan fungsi arteri dan mengurangi insiden trombosis nadi yang dalam. Aktivitas sistem saraf simpatetik yang disebabkan oleh stres dan kemungkinan morbiditas kardiak mus berkurang ketika anesthesia dan analgesia epidural digunakan pada pasien yang mempunyai resiko tinggi dalam operasi. Para ahli anesthesia juga telah memperluas teknik analgesia untuk mengatasi nyeri kronis. TEKNIK-TEKNIK BARU Oximetri nadi dan Kapnografi Setelah diumumkan standar-standar monitoring selama anesthesia oleh Sekolah Kedokteran Harvard, Masyarakat Ahli Anesthesia Amerika telah menjadi pemimpin dalam pengadopsian standar perawatan dan pedoman praktek. Akibatnya, oximetri nadi dan kapnografi (analisis karbon dioksida dalam udara yang dikeluarkan ketika bernapas) pada saat ini digunakan secara rutin untuk memonitor anesthesia general yang sebenarnya untuk semua pasien operasi di Amerika Serikat. Berlawanan dengan prediksi optimistik bahwa penggunaan oximetri nadi akan mengurangi insiden luka hypoxic selama anesthesia, dalam sebuah studi pendukung, random mengenai 20.000 pasien pada lima rumah sakit Danish, tidak ada perbedaan signifikan dalam kardiovaskular, respiratori, neurologis, atau komplikasi infeksi antara pasien yang menggunakan oximetri nadi dan pasien yang tidak menggunakannya. Walaupun demikian, bahkan sampel yang berjumlah 20.000 orang mungkin masih terlalu sedikit untuk mengidentifikasi manfaat oximetri nadi karena komplikasi mayor sangatlah jarang terjadi. Tampak jelas bahwa oximetri nadi noninvasi memberikan peringatan awal kepada dokter mengenai hipoxia yang di masa mendatang. Kapnografi infra merah berguna untuk diagnosis dan manajemen intubasi kerongkongan, intubasi endobronchial, penyumbatan saluran udara, bronchopasma, keadaan hipermetabolik, embolisme paru-paru, embolisme udara venus, dan shock karsinogenik. Selain itu, kapnografi infra merah juga berguna untuk mengidentifikasi permasalahan mekanis dalam sirkuit anesthetik. Keuntungan dari penggunaan rutin oximetri nadi dan kapnografi, seperti hasil yang diinginkan dari analisa yang menghemat biaya, telah mengarahkan pada pemastian malpraktik untuk menawarkan pada para praktisi insentif untuk penggunaan oximetri nadi dan kapnografi. Manajemen saluran Udara Saluran udara laring merepresentasikan kemajuan mayor dalam manajemen saluran udara. Alat yang digunakan untuk manajemen tersebut dipasang di hipofaring, dan “cuff gembung” yang dipasang di sekitar glotis. Bagian akhir saluran udara laring yang berselaput sama dengan tabung endotrakea standar dan dapat digunakan untuk menyediakan gas anesthetik baik untuk ventilasi spontan atau terkontrol. Di Inggris, alat tersebut dipasang pada tabung endotrakea untuk manajemen saluran udara pada kurang lebih 50 persen pasien yang menjalani operasi, terutama mereka dalam unit-unit ambulatori. Penggunaan selaput laring menghilangkan kebutuhan untuk laringoskop dan intubasi trakea. Alat tersebut dapat digunakan untuk resustitasi neonatal tanpa intubasi dan dapat juga digunakan untuk menjaga saluran udara yang tetap tanpa memerlukan ventilasi selaput. Di Amerika Serikat, alat selaput laring saluran udara tersebut digunakan sebagai pembantu dalam manajemen saluran udara dan tidak menggantikan tabung endotrakea. Hasil jangka pendek utama dari alat tersebut adalah bahwa alat tersebut tidak melindungi saluran respiratori dari aspirasi kandungan gastrik pada pasien yang mempunyai “reflukx gastrik” sehingga tidak cocok untuk pasien yang menjalani operasi darurat, yaitu mereka yang mempunyai “hernia hiatal symptomatik” atau penyakit ulcer peptic, atau mereka yang kelebihan berat badan atau sedang hamil. Pada pasien yang mengalami pengurangan fungsi paru-paru, pengontrolan ventilasi sulit dilakukan dgg selaput laring saluran udara karena meningkatnya tekanan udara yang dapat menyebabkan udara menyobek “cuff” dan menyebabkan distensil gastric. KOMPLIKASI PASCA OPERASI Komplikasi pasca operasi dihubungkan secara langsung dengan pemberian anesthesia berkisar dari permasalahan yang akut hingga permasalahan pribadi, seperti nausca protacted dan muntah, hingga komplikasi yang lebih serius, seperti aspirasi pneumonitis, kegagalan renal, dan disfungsi hati. Nausea dan muntah Nausea dan muntah memberikan sumbangan untuk komplikasi yang terjadi setelah operasi ambulasi, terutama pada anak-anak. Pada studi multipusat berbagai teknik anesthetik, Forrest, dkk. Melaporkan bahwa insiden nausea pasca operasi dan muntah sebesar 18 hingga 25 persen. Hanya 0,15 persen pasien mengalami muntah yang parah. Insiden nausea dan muntah terbesar dikarenakan pemberian anesthesia dari fentanyl. Studi lainnya menunjukkan bahwa insiden tersebut lebih rendah jika menggunakan propofol dibanding menggunakan thiopental untuk induksi anesthesia. Efek-efek muntah dimodulasi dalam zona yang dipengaruhi chemoreseptor dan pusat muntah dari sistem saraf pusat, yaitu reseptor scrotonergic, histamin, muscarinic, dan dopaminergic. Obat antiemetik (antimuntah) tradisional mencakup promethazine (histamin-reseptor antagonist), atropine (muscarinic-reseptor antagonist), dan droperidol (dopaminergic-reseptor antagonist). Ondansetron, tropisetron, dan granistron (sertonergic-reseptor antagonist) dinyatakan sangat efektif dalam pengontrolan nausea dan muntah pasca operasi. Biaya untuk membeli obat-obat yang baru ini diimbangi dengan pengurangan admisi rumah sakit yang tidak dapat diantisipasi. Aspirasi Pneumonitis Warner, dkk. Dahulu mereview insiden dan konsekuensi aspirasi paru-paru kandungan gastric selama 215.488 prosedur anesthetik yang dilakukan pada tahun 1985 hingga 1991. Aspirasi kandungan gastric terjadi pada i dari 3126 prosedur, tetapi kematian total hanya 1 dibanding 71.829. enam puluh empat persen pasien yang mempunyai aspirasi kandungan gastric tidak mempunyai “sequelac”. Enam pasien memerlukan ventilasi mekanis untuk lebih dari 24 jam; tiga dari enam pasien tersebut tidak bertahan hidup. Tiga pasien yang meninggal mengalami kondisi predisposing parah, seperti hambatan gastrointestinal. Oleh karena itu, perhatian dan manajemen faktor-faktor yang menyebabkan pasien menanggung resiko aspirasi tampaknya semakin mengurangi keseriusan komplikasi ini seperti yang dahulu dideskripsikan oleh Mendelson. Kegagalan Renal Dan Disfungsi Hati Efek hepatotoksik setelah ekspos penghirupan anesthetik dianggap disebabkan oleh sitokrom P-450- oksidativ bermediasi atau metabolisme reduktif dengan produksi metabolit reaktif. Metabolit ini mungkin mengawali respons imun yang menyebabkan necrosis hati. Efek nephrotoksik dihubungkan dengan metabolisme dan durasi level Florida bebas yang sangat tinggi dalam darah. Efek-efek toksik yang relevan secara klinis dibatasi untuk ginjal dan hati. Obat-obat yang telah digunakan dalam organ yang gagal mencakup halothane dan gas klorofom yang saat ini sudah kadaluwarsa, trikloroetilen, dan metoksifluran. Efek yang parah, tetapi jarang terjadi, telah dilaporkan karena penggunaan enfluran dan isofluran. Metabolisme sevofluran juga mempunyai potensi untuk menghasilkan nephrotorik fluoride. Sevofluran dan desfluran belum dinyatakan menyebabkan disfungsi hati. Sebagai tambahan untuk efek-efek metabolit, penghirupan anesthetik menyebabkan disfungsi organ dikarenakan penurunan perfusi. Halothan mengurangi secara signifikan portal venus dan aliran darah pada arteri hati dalam proporsi yang sesuai dengan derajat anesthesia. Pengurangan dalam aliran darah pada arteri hati menyebabkan pengurangan pengiriman oksigen yang menyebabkan organ terluka. Mekanisme ini terutama penting untuk pasien yang mengidap penyakit hati kronik dan hipertensi portal. Fungsi hepatoseluler marginal dapat disesuaikan dengan pengurangan total aliran darah pada arteri hati dan kegagalan hati akut yang diawali pada periode pasca operasi. Walaupun demikian, penurunan pada aliran darah pada arteri hati yang total mungkin dikarenakan penggunaan anesthesia yang diberikan dengan cara tidak dihirup, manipulasi operasi, atau penggunaan vasopressor. Demikian juga dengan disfungsi renal pasca operasi mungkin merupakan akibat dari efek-efek hemodinamika penghirupan anesthesia atau aliran darah pada renal dan sekresi hormon antidiuretik. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar