Kamis, Juli 15

Ketegaran Cinta Bertakbir


Seorang sahabatku, Mimi namanya, kami bersahabat puluhan tahun sejak kami sama-sama duduk di sekolah dasar (SD). Mimi gadis sederhana, anak tunggal seorang juragan sapi perah di wilayah kami, memiliki mata sebening kaca, dan lesung pipit yang manis menawan siapa saja dan akan runtuh hatinya jika memandang senyumnya. Termasuk saya.

Dan nilai tambahnya adalah dia seorang yang sangat soleha, yang patuh pada kedua orang tuanya. Tetapi Ranu, ’’don juan’’ yang satu ini juga sangat menyukai Mimi. Track record-nya yang begitu glamor dan mentereng tidak meragukan untuk merebut hati Mimi.
Sedangkan saya, hanya bisa menatap cinta dari balik senyuman tipis ketegaran. Karena saya tidak mau persahabatan kami hancur.
Lambat laun, Mereka pun pacaran dari mulai kelas 1 SMP hingga menikah. Sebagai tetangga sekaligus sahabat yang baik, saya hanya bisa mendukung dan ikut bahagia dengan keadaan tersebut (walaupun hati ini sedikit teriris). Apalagi Mimi dan Ranu saling mendukung. Hingga tiba ketika selesai kuliah, mereka berdua ingin mewujudkan cita-cita bersama, membina keluarga, yang sakinah, mawaddah, dan warohmah.

Namun, namanya hidup pasti ada saja kendalanya, di balik kesejukan melihat hubungan mereka yang adem ayem, orang tua Ranu yang salah satu pejabat di daerah itu, menginginkan Ranu menikahi orang lain pilihan kedua orang tuanya. Namun Ranu rupanya cinta mati dengan Mimi, sehingga mereka memutuskan untuk menikah, sekalipun di luar persetujuan orang tua Ranu. Dan secara otomatis, Ranu diharuskan menyingkir dari percaturan hak waris kedua orang tuanya, disertai sumpah serapah dan segala macam cacian.
Ranu akhirnya melangkah bersama Mimi. Setelah menikah, mereka pergi menjauh keluar dari kota kami, Dumai, menuju Pekanbaru, dengan menjual seluruh harta peninggalan kedua orang tua Mimi yang sudah meninggal.
Masih tajam dalam ingatan, Mimi pergi bergandengan tangan dengan sang kekasih abadi pujaan hatinya Ranu, melenggang pelan bersama mobil yang membawa mereka menuju Kota Bertuah.

Selama setahun, kami masih rutin berkirim kabar. Hingga tahun kelima, di mana aku masih sendiri dan masih menetap tinggal di Dumai, sedang Mimi entah kemana, hilang tak ketahuan rimbanya, setelah surat terakhir mengabarkan bahwa dia melahirkan anak keduanya, kemudian setelah itu kami tidak mendengar kabarnya lagi.

Sampai di suatu siang yang terik, di hari Sabtu, kebetulan saya berada di rumah tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara ketukan pintu kamar. Temanku mengatakan ada tamu dari Pekanbaru. Siapa gerangan? Pikirku ketika itu.
Sejenak aku tertegun ketika melihat sosok perempuan di depan pintu, lupa-lupa ingat, hingga suara perempuan itu mengejutkanku,”Faris….Faris kan!” katanya.

Sejenak, dia ragu-ragu, hingga kemudian berlari merangkulaku, sambil terisak keras di bahuku. Saat itu aku hanya bisa diam tertegun dan tak tahu hendak melakukan apa, meskipun aku tahu dia bukan muhrimku.
Kemudian aku menjauhkannya dari bahuku sambil masih ragu, bergumam pelan, “Mimi…Mimikah?”
Masyaallah…Mimi terlihat lebih tua dari usianya, namun kecantikan alaminya masih terlihat jelas. Badannya kurus dengan jilbab lusuh yang berwarna buram, membawa tas koper berukuran besar yang sudah robek di beberapa bagian.
Semula Mimi terdiam seribu bahasa pada saat aku tanya keadaan Ranu, matanya berkaca-kaca, aku menghela nafas dalam, menunggu jawabannya.

“Mas Ranu, Ris….Mas Ranu sudah berpulang kepada-Nya lima bulan yang lalu.”
Kata-kata Mimi membuatku tercekat beberapa saat, namun sebelum aku sempat menimpali, bertubi-tubi Mimi menangis sambil bercerita, “Mas Ranu kena kanker paru-paru, karena kebiasaannya merokok tiga tahun yang lalu, semua sisa peninggalan orang tuaku sudah habis terjual ludes, untuk biaya berobat, sedang penyakitnya bertambah parah. Keluarga mas Ranu enggan membantu, kamu tahu sendiri kan, aku menantu yang tidak diinginkan, dan ketika Mas Ranu meninggal, orangtuanya masih saja membenciku, mereka sama sekali tidak mau membantu,” katanya.

Dia bercerita, dia bekerja serabutan di Pekanbaru, mulai jadi tukang cuci, pembantu rumah tangga, dan sebagainya, hingga suaminya meninggal. “Keluarganya, hanya memberiku uang sekadarnya untuk penguburan Mas Ranu, hingga aku terpaksa menjual rumah tempat tinggal kami satu-satunya, dan dari sana aku membayar semua tagihan rumah dan hutang-hutang pada tetangga, sisanya aku gunakan untuk berangkat ke Dumai, aku tidak sanggup mengadu nasib di sana Ris,” kata-kata Mimi berhenti di sini, disambut isak tangisnya. Sedang aku yang sedari tadi mendengarkan tak kuasa juga menahan haru yang sudah sedari tadi menyesak di dada.
Mimi tertegun… dia memandangku nanar. kemudian dia mengulurkan tangan, memberikan seuntai kalung emas besar, sisa hartanya.
“Ini untukmu Ris.., aku gadaikan padamu, pinjami aku uang untuk modal usaha, dan kontrak rumah kecil-kecilan, aku tidak mau merepotkanmu lebih dari ini Ris.”

Pelan-pelan aku meraih kalung itu dari meja, menimbang-nimbang, pikiranku melayang menuju sisa uang di amplop, dalam tas. Jumat kemarin aku baru mendapat gaji. Sebagai pegawai di suatu instansi, gajiku sangatlah kecil jika dibandingkan dengan pegawai yang lain tentunya, tapi itulah sisa uangku. Aku mengeluarkan amplop tersebut dari dalam tas, di kamar, semua kuinfaqkan untuk Mimi, semata mata karena ikhlas.

Mimi menatap amplop di tanganku, sejurus kemudian aku meletakkan amplop tersebut di atas meja sambil berkata, “Ini sisa uangku Mimi, kamu ambil, nanti sisanya biar aku pikirkan caranya, kamu butuh modal banyak untuk mulai usaha.”
Singkat cerita, Mimi bisa mulai usahanya dari modal itu, mengontrak rumah kecil di dekat rumah saya.

Alhamdulillah, sekarang di tahun kedua, usahanya sudah menampakkan hasil. Mimi sudah sedemikian mandiri, banyak yang bisa aku contoh dari pribadinya yang kuat yaitu Mimi adalah pejuang sejati, ulet, sabar, dan kreatif.
Mimi tetanggaku kini dan setiap pagi selalu menyapa riang aku, wajah cantiknya kembali bersinar.Dia juga tekun mendengar keluh kesahku pada setiap permasalahan yang aku hadapi setiap harinya, termasuk ketika aku mulai mengeluh tidak betah di kantor sebagai pegawai sekian tahun, atau ketika aku menghadapi badai kemelut usia yang sudah berkepala tiga belum juga menemukan jodoh.
“Faris, Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan seseorang atau Allah lebih tahu apa yang terbaik bagimu, sedangkan kamu tidak.”

Lalu Mimi mengajak aku melihat kepulasan tidur anak-anaknya di ruang tamu yang ia jadikan ruang tidur, sedangkan kamar tidur ia jadikan dapur untuk memasak (sungguh rumah yang mungil). Mereka berjejal pada tempat tidur susun yang reyot, kemudian katanya, “Lihatlah Ris, betapa berat menjalani hidup seorang diri, tanpa bantuan bahu yang lain, kalau tidak terpaksa karena nasib, enggan aku menjalaninya Ris. Sedang kamu, bersyukurlah kamu, masih memiliki masa depan yang panjang.“

Aku pun berhenti dari pekerjaan yang lama, sekarang aku bekerja lebih mapan dari yang dulu. Karena setiap pulang kerja aku melintas di depan rumah Mimi, dan terus memperhatikan ketegarannya, akhirnya Allah menumbuhkan kembali cinta di hatiku. Sampai suatu saat aku pun melamarnya agar hubungan kami dihalalkan oleh syari’at. Mimi hanya bisa menunduk malu dan tersenyum melihat anak-anaknya yang akan memiliki ayah yang baru. Allahu Akbar….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger