“Barangsiapa di antara kamu yang mampu memberikan manfaat kepada saudaranya, maka hendaklah ia bersegera memberikan manfaat kepadanya.” (Diriwayatkan Muslim dari Jabir ra.)
Pada dasarnya kita semua memiliki kemampuan memberi manfaat kepada orang lain. Akan tetapi, seringkali kita tidak memiliki kemauan untuk memberikannya karena sifat kikir dan egois yang ada pada diri kita. Sehingga dalam hadits ini, Nabi saw. menyerukan agar kita menjadi orang yang memiliki kemauan untuk memberikan kemanfaatan kepada orang lain dan bersegera memberikan sesuatu yang berarti bagi orang lain semaksimal kemampuan yang kita miliki.
Memberikan kemanfaatan adalah ibadah yang patut diprioritaskan seperti yang diterangkan dalam hadits :
”Seandainya aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi suatu kebutuhan, maka hal itu lebih aku cintai daripada i’tikaf sebulan di masjidku ini.” (Diriwayatkan Ath-Thabrani dari Ibnu Umar ra.)
Seringkali seseorang merasa enggan untuk memberikan bantuan sepele yang sedang dibutuhkan oleh seorang muslim. Ia menganggap hal itu adalah sesuatu yang tidak begitu penting, sehingga ia lebih memprioritaskan untuk melakukan ibadah tertentu seperti shalat sunnah, puasa sunnah dan i’tikaf di masjid tertentu. Karenanya, dalam hadits ini Rasulullah saw. menegaskan bahwa memberikan bantuan kepada seorang muslim untuk memenuhi hajatnya jauh lebih baik dan lebih besar pahalanya daripada i’tikaf di masjid Nabawi.
Apabila Nabi saw. telah memilih amalan ini, maka tidak patut bagi kita – sebagai umatnya – memilih dan memprioritaskan amal lain dan meninggalkan amal yang menjadi pilihan beliau. Rasulullah saw. bersabda,
”Orang yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain. Amal yang paling dicintai Allah ”Azza wa Jalla adalah memasukkan kegembiraan ke dalam hati seorang muslim, menghilangkan kesulitannya, melunasi hutangnya, atau mengusir rasa laparnya.” (HR. Thabrani)
Hadits di atas menjelaskan bentuk-bentuk kemanfaatan yang bisa diberikan seorang muslim kepada orang lain yaitu :
- Memberikan kegembiraan kepada orang yang kesusahan
Dengan senantiasa tersenyum dan bermanis muka di depannya, memberikan motivasi ketika sedang mengalami keputusasaan, berempati atas setiap suka dan duka yang dialaminya, dan mengajaknya bersyukur atas setiap nikmat yang diberikan kepadanya, dan bersabar atas setiap musibah yang menimpanya.
- Menghilangkan kesulitan yang sedang mendera hidupnya
Menghilangkan kesulitan yang sedang mendera hidupnya.
Dukungan secara moril hendaknya diiringi dengan bantuan materi untuk mengeluarkannya dari berbagai kesulitan yang menghimpitnya, baik bantuan yang berupa harta, tenaga, pikiran, maupun fasilitas tertentu yang dibutuhkannya.
- Melunasi hutang orang yang sedang dililit hutang
Melunasi hutang orang yang sedang dililit hutang. Kadang kita tidak hanya berhenti sebatas memberi bantuan materi untuk mengeluarkan seseorang dari kesulitan hidup, tetapi juga harus membebaskannya dari hutang-hutang yang membelitnya. Karena seringkali penyebab kesulitan hidup dan kegelisahan jiwa adalah berhutang. Rasulullah saw. bersabda, ”Janganlah kamu menakut-nakuti jiwa kamu setelah merasakan keamanan.” Para sahabat bertanya, ”Apakah itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, ”Berhutang.” (Matan Silsilah Ahadits Shahihah no. 1305)
- Memberi makan orang yang sedang kelaparan
Memberi makan orang yang sedang kelaparan. Mungkin ada yang bertanya, Mengapa Rasul saw. menempatkan mengusir rasa lapar pada urutan terakhir? Apakah hal ini menunjukkan bahwa tindakan memberi makanan adalah yang paling berat? Padahal kita tahu sekadar mengusir rasa lapar jauh lebih ringan daripada memberikan bantuan materi kepada orang yang kesulitan dan melunasi hutang-hutang orang yang dililit hutang.
Memang, memberi makanan kepada orang yang kelaparan di saat kita kenyang adalah sesuatu yang biasa dan tidak istimewa. Akan tetapi, berbagi makanan dengan orang lain di saat kita kelaparan atau memprioritaskan orang lain daripada diri sendiri yang sedang sangat membutuhkan makanan adalah sesuatu yang sangat berat. Lagipula tidak semua orang mampu melakukannya dengan mudah.
Karena memberikan makanan kepada orang lain pada waktu itu bisa menyebabkan kematian kita, atau menjerumuskan kita pada penderitaan panjang yang tidak berujung. Sehingga banyak orang merasa berat untuk berbagi makanan dengan orang lain. Yang terjadi adalah mereka lebih mementingkan dirinya dan tidak peduli dengan kesusahan orang lain.
Ketika kita bisa memberikan semua bentuk kemanfaatan di atas kepada orang lain, maka kita berarti menjadi seorang mukmin sejati. Rasulullah saw. mengumpamakannya dengan sebatang pohon kurma yang senantiasa memberikan manfaat kepada manusia dengan segala yang ia miliki seperti diterangkan dalam hadits :
”Perumpamaan seorang mukmin adalah seperti sebatang pohon kurma. Apa pun yang kamu ambil darinya akan memberikan manfaat kepadamu.” (Diriwayatkan Ath-Thabrani dari Ibnu Umar ra.)
Referensi :
1. Yusuf Qardawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian.
2. Fakhruddin Nursyam, Syarah Lengkap Arba’in Tarbawiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar