S. LEE
Hidupnya hebat. Hartanya melimpah ruah. Keluarganya harmonis. Perusahaannya maju pesat. Teman-temannya baik dan setia. Karyawannya orang-orang pilihan. Rumahnya nyaman tak terkira. Ibadahnya luar biasa. Amalnya di atas rata-rata. Popularitasnya melegenda.
“Lalu apa lagi yang ia hendak raih?” Ah, pertanyaan ini menjadi susah untuk dijawab. Ia benar-benar merasa seluruh aspek kehidupannya sudah berada di kualitas yang tertinggi. Pertambahan materi sudah tak berarti lagi untuknya. Toh, ia dan keluarganya sangat nyaman hidup dalam kesederhanaan. Hidupnya tak kekurangan sesuatu apapun.
Tapi, ternyata hidup tak ada kekurangan apapun justru menyiksanya luar biasa. Lebih menyiksa dari hidupnya waktu kecil yang justru penuh dengan kekurangan. Karena penuh dengan kekurangan itulah yang membuatnya ‘terbakar’. Darah mudanya bergolak. Otaknya berputar keras. Hatinya penuh dengan kekuatan. Maka ia pun belajar dan bekerja keras luar biasa. Siang dan malam tak ada bedanya. Tidur nya pun hanya sekerejapan mata. Itu pun tak membuat energinya habis. Sebaliknya, energi itu terus bangkit dan membola salju. Segala kekurangan yang ada pada diri dan keluarganya itu memicu dan memacunya.
Maka berbagai sukses dan prestasi pun diraihnya. Dari bidang akademik, bisnis, hobi, pertemanan, sampai bidang keluarga dan spiritual. Semua aspek dalam hidupnya tak tercela. Bukan hanya tak tercela, tapi gemilang. Kekurangan-kekurangan itu telah ia tutupi. Hinaan telah ia jungkir balik-kan menjadi pujian dan kekaguman.
Tapi sekarang, ia berdiri disana. Jiwanya tersiksa. Berbagai pertanyaan menyerbunya. Dan ada satu yang paling nyaring ia dengar : “Apa yang kurang pada diriku sampai merasa tersiksa seperti ini?”
Saudara, menurut anda apa yang terjadi pada sosok di atas tadi? Mengapa ia bisa mengalami hal seperti itu? Di tengah hidup yang luar biasa, ia justru merasa tersiksa. Bukankah hidupnya sudah seimbang? Ia tak hanya mengejar dunia, ia juga mengejar akhirat. Kerjanya sehebat ibadahnya. Ilmunya setinggi imannya. Apa yang terjadi?
Menurut saya, yang terjadi adalah terjadinya jarak antara dirinya dengan fithrahnya sebagai manusia. Fithrah yang mana? Fithrah bahwa manusia adalah mahluk yang selalu punya kekurangan. Perasaan bahwa ia sudah bisa menutupi semua kekurangan dirinya telah mengelabuinya.
Kenapa manusia punya fithrah seperti itu? Agar hidupnya bisa terus maju dan berkembang.
Jadi kekurangan adalah sebuah anugerah luar biasa. Ia adalah pemungkin perbaikan dan kemajuan. Maka miliki lah kekurangan. Lalu tutupi dengan sukses dan prestasi. Sampai kapan? Sampai anda tak bernafas lagi. Bila anda sudah tak bisa lagi menemukan kekurangan dalam diri anda, cari dan temukan kekurangan pada diri orang lain. Bantu mereka untuk menutupi kekurangan-kekurangan mereka itu. Toh, pada hakikatnya anda adalah mereka. Mereka adalah anda.
Maka di tengah berbagai kekurangan, anda justru akan menemukan kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar