Minggu, September 5

Nostalgia Ciumbuleuit

Nostalgia Ciumbuleuit




- Satu hari di kawasan Cisatu, Jalan Ciumbuleuit Bandung, 1970.Malam masih menyelimuti kawasan Cisatu. Perkampungan di belahan utara jalan Ciumbuleuit, hanya sekitar 1 km saja di selatan Punclut. Dalam lelap tidurnya, sekumpulan rumah-rumah bilik semi permanen dengan jarak tak begitu jauh kian bisu.

Rumpun bambu bergesek seakan menyahuti suara rimbun hutan di utara sana. Saking sepinya, gaung hewan hutan (burung, serangga turaes, monyet) di perbukitan utara dapat tertangkap. Unggas malam menunjukkan jati dirinya dengan lengkingan yang kerap mengiris kesunyian.

Kabut turun bergulung pada temperatur teramat dingin. Di bawah 18 derajat Celcius. Di sebelah timur perkampungan, jalan aspal tak jauh dari perkampungan seolah menutup diri dari tanda-tanda kehidupan begitu matahari membenamkan diri. Sebuah wisma yang dibangun tahun 1930 (Wisma Siliwangi) sepertinya ikut menggenapkan sepi.

Terhampar pekarangan rumput luas di belakang, kiri kanan dan di hadapannya. Wewangian daun cemara tercium tajam. Juga bunga kemboja merah dan aroma tanaman entah darimana berbaur dengan udara bersih. Sawah membentang luas berdampingan dengan Kampung Cisatu. Tepatnya di sebelah barat bahu jalan Ciumbuleit bagian utara. Membentuk cekungan lembah ke arah barat. Pada sisi sebelah barat tampak kerlipan lampu dari arah Panorama, sebuah kawasan di jalan Hegarmanah Timur.

Senandung katak sawah riuh rendah bergantian dengan nyanyi jangkrik dan desir angin. Semilir hembusannya, memainkan orkestra ilalang, rumpun bambu dan padi di sawah. Malam bergulir menyongsong subuh. Lamat suara adzan dari jarak yang amat jauh. Ayam jantan ramai bersahutan ketika sang candra mulai beranjak naik.

Penduduk Kampung Cisatu mulai sibuk dengan kehidupannya. Terdengar suara perempuan menimba sumur dengan ember katrol. Beberapa orang menumbuk padi , sementara yang lainnya menyapu halaman. Perempuan lainnya menyalakan kayu bakar menjerang air dan menanak nasi. Tercium bau asap kayu bakar dan nasi liwet. Bahkan harum terasi bakar dan ikan asin.

Ada yang menyeduh kopi panas bagi para suami yang akan berangkat ke sawah. Mungkin juga yang lain merebus ubi dan pisang nangka sebagai sarapan. Karena aromanya menyebar jauh. Sebagian lain menghampiri ternak ayamnya, membiarkan uangas tersebut berlarian bebas di pekarangan seraya menebarkan pakan ayam.

Suara merpati dan burung-burung lain beringsut ramai kala sinar pagi perlahan merayap. Beberapa langkah kaki telanjang bergegas ke sawah. Namun beberapa lagi mengenakan bakiak kayu, melangkah ke tengah area sawah sambil memikul bakul cucian dan perlatan mandi, menuju pancuran. Pancuran bambu di tengah sawah yang airnya selalu mengalir deras dan jernih. Bersih dan segar.

Sawah adalah nafas keseharian Ciumbuleuit khususnya, dan Bandung umumnya, sejak puluhan tahun. Di mana kerbau dan petani sibuk meluku lumpurnya untuk ditanduri benih padi. Tempat orang-orangan sawah dan ani-ani bertebaran mengusik kawanan pipit jika padi hijau sudah berubah matang menguning. Secara berkala meriah oleh keceriaan buruh tani memotong padi, merontokkan butirannya ke hamparan tikar lalu menjemurnya di terik sang surya.

Sementara gembala itik memboyong itiknya untuk menyantap sisa-sisa panen yang berserakan di lumpur sawah dan pematang. Tak lama kemudian terdengar para wanita menumbuk padi dengan alu pada lumpang kayu yang bentuknya memanjang. Suaranya membentuk irama beraturan. Sehingga menyerupai musik konservatif. Satu cara untuk menyulap suasana kerja menjadi tak membosankan.

Lantas, padi yang sudah terkelupas ditampik sehingga butiran berasnya bersih, tak lagi berkulit, siap dijual dan dimasak.Sebagian mengumpulkan kulit padi untuk digunakan peternak ayam. Beberapa lainnya memilah batang merang untuk dijual ke pasar sebagai sapu/kuas untuk mengapur rumah. Kala itu masih banyak rumah semi permanen berdinding bilik anyaman bambu. Cat yang digunakan untuk mempercantiknya, adalah campuran air dan kapur. Kuasnya adalah tangkai merang yang diikat menjadi satu.

Musim tanam dan panen datang silih berganti. Tak Cuma padi, namun ada juga yang menanam ubi, ketela, jagung, dan sayuran. Tanah yang subur, udara yang sejuk dan bersih, pupuk kandang yang berlimpah, membuat hasilnyapun menggiurkan. Namun bagaimanapun, 'permadani' sawahlah yang paling mendominasi lembah tersebut. Lermbah yang membujur luas dari utara ke selatan, diapit jalan Ciumbuleuit di timurnya dan Hegarmanah/Panorama di sebelah baratnya.

Kampung Cisatu, Ciumbuleuit utara adalah perkampungan yang dihuni oleh warga yang kebanyakan menjadi buruh tani, pekerja rumah tangga, buruh, pedagang kecil dan pegawai kecil. Kini sawah dan sebagian perkampungan sudah menjelma menjadi perumahan elite dengan nama jalan Cisatu... Babak indah masa silam kini tinggal kenangan. Sudah tenggelam di balik sejarah. Pada masa kecil penulis, dari balik jendela belakang rumah nenek, tampak kehidupan mengalir .Begitu damai dari hari ke hari. Penduduk kampung yang ramah saling menyapa.

Beberapa dari mereka menjadi pembantu di rumah nenek penulis. Di balik jendela ini ada tangga untuk turun ke kampung. Ada banyak deretan rumpun bambu rimbun, namun jika malam tampak menyeramkan. Nenek juga menggarap sebidang sawah dan kebun di tempat itu.

Sehingga penulis dapat menyaksikan burung kuntul sawah warna merah kerapkali mengincar ikan-ikan kecil sawah dan katak. Aku juga pernah bermain air di kali Cipaganti, sungai kecil di tengah lembah. Airnya bening mengalir. Sunyi langit Bandung, kerap dipecahkan kelompok burung yang terbang berbondong-bondong. Pada masa itu orang terbiasa menepukkan tangan hingga kawanan itu terpencar sejenak membentuk gerak gerik yang memikat.

Eksotisme Kawasan Ciumbuleuit 1968
Kini matahari semakin tinggi. Langit biru membentang, burung-burung leluasa mengepakkan sayapnya. Jalan Ciumbuleuit membujur dari utara (Bundaran, pertigaan jalan Kiputih-Ciumbuleuit, ke arah kiri kenuju Punclut ) sampai selatan (Gandog, pertigaan Ciumbuleuit -Siliwangi-Cihampelas).

Dari rumah nenek penulis, jalan aspal Ciumbuleuit hanya berjarak kira-kira 20 meter. Tepat di seberangnya terdapat jalan Gunung Karumbi. Pada tikungan tersebutlah berdiri bangunan bersejarah Art Deco tahun 1930-an, Wisma Siliwangi. Gedung dengan gaya lengkung unik. Bingkai jendela bundar, serambi memutar ala Belanda, batu alam, dan lantai bertegel ala tempo dulu.Taman indahnya di sini kerap digunakan untuk latar belakang berfoto.

Tamu-tamu dari luar kota juga sering numpang bergaya di hamparan rumputnya. Ada pohon cemara hias , flamboyan dan kamboja yang menjadi tonggak cantik di taman ini. Bunga-bunga Kana Alamanda kuning, Bougenville ungu dan merah, adalah tanaman hias khas tempo dulu mempercantik taman bangunan ini. Luas pekarangannya jauh lebih besar dari luas bangunan Wisma Siliwangi itu sendiri.

Para pejabat termasuk Bung Karno kala masih menjabat sebagai presiden RI pernah menginap di gedung tua ini. Seperti juga para pejabat tinggi negara dan TNI lainnya. Dengan rona putihnya gedung ini tampak perkasa. Ini adalah bangunan yang tergolong elite , megah dan mewah pada masanya.

Bangunan ini menghadap ke arah barat. Seolah mempersilahkan para tamunya untuk melepas pandang secara saksama, ke arah barat. Agar dapat menyaksikan merah lembayung senja. Sejauh mata memandang hanya sawah dan sawah, sehingga garis kaki langit dan matahari begitu tegas. Warna langit saat menjelang senja menjadi fantastis. Dan apabila gelap menyergap, tampak kerlipan lampu kawasan Panorama mempercantik suasana malam.

Sempat ada selentingan, Bung Karno pernah melarang tanah kosong di hadapan wisma itu didirikan bangunan. Kuatir merusak dan menghalangi pandangan eksotis ke arah lembah persawahan. Sampai seperempat akhir dasawarsa 1980an nyaris tak ada bangunan apapun di seberang wisma. (tahun 1990an tanah-tanah kosong mulai dipenuhi bangunan mewah permanen).

Di pekarangan gedung ini banyak kenangan tersimpan bagi warga sekitar kala itu. Semisal perlombaan Agustusan dan Shalat Id. Menyimak sejarah masa silam, Ir Haryoto Kunto (alm) menulisnya dalam berbagai buku terbitan PT Granesia Bandung. Salah satunya, tentang kawasan Ciumbuleuit yang setelah tahun 1920 mulai dibangun gugusan villa Bloemen-Daal. Menurut catatan data bangunan yang dilestarikan (web site Bandung Heritage.org, data 2001), Wisma Siliwangi dibangun tahun 1930.

Villa tersebut merupakan salah satu bagian gencarnya pembangunan sekitar tahun 1920an sampai dengan dasawarsa 1930-an. Semakin siang, suasana jalan Ciumbuleuit cenderung lengang. Suara gonggong anjing dari rumah-rumah besar warga negara asing dan warga kelas atas sesekali terdengar. Pekarangan rumah-rumah yang bergaya arsitektur Belanda selalu minimal 3 kali lipat lebih luas dari bangunannya.

Mungkin sisa tradisi zaman Belanda, peraturan membangun rumah yang luas halamannya ditentukan amat ketat. Tanaman dan perdu hias tampak rimbun menghias pagar. Yang menjadi tren kala itu kebanyakan Bougenville aneka warna, Alamanda kuning merekah dan bunga rambat Stepanot warna oranye dan merah muda. Pohon hias yang digandrungi adalah bunga kemboja. Putih dan merah jambu.

Kendaraan yang lalu lalang, meski rada langka, adalah oplet (jurusan Ciumbuleuit -Viaduct). Tampak juga kendaraan bermotor roda 4 tempo dulu seperti Impala, Mercedes tempo dulu, Fiat, dan VW kodok juga lewat sesekali. Karena di kawasan ini banyak kalangan elite dan ekspert WNA tinggal. Terdapat pula sekolah internasional.

Bunga mawar yang dipelihara di ketinggian Ciumbuleuit sangat fantastis. Ukurannya besar dan warnanya tajam cerah. Banyak pekarangan dipercantik kolam luas dengan bunga-bunga eceng gondok, teratai dan angsa putih. Kebun-kebun mawar dan bunga-bunga lainnya seperti aneka jenis bunga dari famili Hibiscus (Kembang Sepatu) membuat kawasan ini semakin menarik. Penulis pernah diajak oleh bibi (adik perempuan ibu satu-satunya) untuk mengunjungi Sus Dana, panggilan sahabat nenekku.

Wanita Belanda ini tak pernah menikah, memiliki rumah mirip villa di jalan Neglasari. Tak jauh dari rumahnya terdapat mata air dengan pancuran bambunya. Penulis dapat melihat ikan liar warna-warni yang cantik di dalamnya. Jika mengenang mata air di dekat rumah Sus Dana dan kamar mandi umum serta pancuran alam di lembah sawah dekat Cisatu, penulis jadi teringat pula tulisan seorang penulis Bandung. Tak jauh dari sana di Hegarmanah juga ada mata air.

Adapun mata air terbuka, pemenuh hajat kebutuhan air penduduk, yang tak pernah susut airnya sepanjang tahun, terdapat 3 tempat. Di Kampung Cikendi (Hegarmanah), orang mandi di "Pancuran Tujuh". Mata air yang ditampung ke dalam sebuah kolam, dengan tujuh pancuran bambu di tepinya. Menurut syahibul hikayat, bersumberkan cerita sesepuh Bandung Tempo Doeloe, bagi mereka yang dikabulkan (Sunda: kawenehan) mengintip ke alam gaib, mereka bisa melihat para bidadari mandi-mandi di Pancuran Tujuh itu. Namun kini, para bidadari tak pernah lagi mandi. Sebab air pancuran tujuh tak deras lagi, susut mata airnya, setelah lahan hijau di daerah Ciumbuleuit digusur jadi perumahan (dari buku" Semerbak Bunga di Bandung Raya, Haryoto Kunto, terbitan PT Granesia Bandung, 1986, hal 145).

Pernah pula penulis diajak bibi untuk mengunjungi Tante Tapeiheru, masih di jalan Neglasari, sebuah jalan tak jauh dari jalan Kolam (di belakang Wisma Sosial jalan Ciumbuleuit, sekarang sudah berubah menjadi Bala Pakuan dan Ciumbuleuit Regency). Kebun mawar, kebun arben dan kolam ikannya sangat mengesankan.

Angsa-angsa putih hilir mudik di tengahnya. Pemandangan seperti ini banyak sekali jika dari jalan Ciumbuleuit utara kita berbelok ke jalan Rancabentang, jalan Gunung Karumbi, Jalan Kiputih, Jalan Gunung Agung. Dan semua jalan yang merupakan bagian kawasan ini. Seolah kita dibawa ke negeri dongeng, istana villa yang senyap dari masa silam.

Masih terdapat pula bangunan dengan tembok kayu bercat hitam yang mewah ala Belanda. Gaya rumah bos perkebunan tempo dulu. Bangunan yang jarak satu sama lainnya tidak padat dan rapat, karena selalu diselingi oleh kebun sayur, kebun jagung, sawah, dan tanah-tanah kosong yang rimbun. Pemandangan eksotis begini membentang luas di tempat yang pada masa silam dijadikan kawasan villa oleh pemerintahan kolonial Belanda. Ada sebuah tempat yang disebut jalan Kolam. Di sini terdapat kolam yang besar, lengkap dengan tamannya yang asri, pohon-pohon tua dan perdu cantiknya. Kini sudah berubah menjadi opemukiman baru.

Di antara keindahan, terdapat pula kebun luas, tanah kosong yang memiliki beringin menyeramkan. Konon beringin itu tak boleh ditebang dan tak boleh sembarangan menebangnya. Tanah kosong tersebut memiliki barisan pohon kelapa dan seorang ibu memiliki jongko berjualan kelapa di sana. Kini tempat itu sudah menjadi sebuah kampus perguruan tinggi swasta terkenal di Bandung.

Komentar yang paling pas untuk Ciumbuleuit kala itu, adalah surga puluhan vila klasik yang kaya dengan barisan seni dan arsitektur bersejarah. Kaya dengan keseimbangan alam, taman dan keasrian. Menyerupai deretan kastil mini ala Eropa. Menurut Ir Haryoto Kunto (alm), dalam buku "Balai Agung di Kota Bandung" (terbitan PT Granesia Bandung, 1995, hal 37) arsitek rumah villa yang memiliki andil karya di Ciumbuleuit ada 2 orang. Mereka J Bennink , dan A.W. Gmelig Meyling. Sayangnya belakangan ini banyak karya rumah tinggal bersejarah yang sudah berganti wajah.


Jalan Ciumbuleuit Selatan, Gandog
Ibu penulis mengontrak sebuah rumah bilik di perkampungan Gandog. Tak jauh dari pasar Gandog yang berada di tikungan jalan Ciumbuleuit-Siliwangi. Rumah sederhana ini letaknya agak jauh dari jalan raya. Untuk mencapainya harus menuruni tangga dan umpakan rumah sederhana lainnya.

Namun yang penulis ingat, di belakangnya terbentang lembah, perkampungan yang tak terlalu padat, sawah dan kebun, dan ujung-ujungnya ada aliran Sungai Cikapundung yang mengalir deras. Sungai Cikapundung yang berada di sebelah utara jalan Siliwangi. Kini suasana pedesaan itu sudah berganti menjadi sebuah apartemen yang menjulang tinggi dan merambah sampai ke arah lembah sungai Cikapundung.

Banyak kenangan di perkampungan ini yang dapat penulis rekam. Pesta pengantin sunat tradisionil yang lamanya sampai satu minggu. Acara hiburan kuda lumping dan wayangnya. Serta musim panen yang ramai dengan suara alu dan lumpang yang riuh. Ketika Lebaran petasan terdengar terus menerus.

Jika di jalan raya terdengar sirine Tamu Agung, alias pejabat yang bakalan menginap di Wisma Siliwangi, warga berduyun-duyun ke jalan. Untuk menyaksikan iring-iringan mobil dan polisi yang mengawal dengan motornya.

Selain itu kerapkali terdengar suara promosi film yang akan diputar di bioskop. Promosi ini menggunakan pengeras suara dengan mengendarai bemo. Kendaraan bermotor roda tiga yang saat itu mulai disukai sebagai kendaraan umum selain oplet dan suburban.

Gandog, mengingatkan penulius pada lembah sungai Cikapundung yang mengalir di belakangnya, alias di sebelah timurnya. Sebuah apartemen kini tegak menjulang tak jauh dari lembah ini. Juga perkampungan yang agak kumuh tumbuh pesat. Dalam buku "Semerbak Bunga di Bandung Raya,"Haryoto Kunto sang Kuncen Bandung itu, menuliskan sejarah pelestarian lingkungan di Bandung ternyata sudah diantisipasi sejak lama.

Misalkan (lihat: halaman 146 dan seterusnya), saat instalasi pembangkit listrik didirikan tahun 1921 di hulu sungai Cikapundung, dekat air terjun Dago. Komite Pelestarian Alam Bandung di bawah pimpinan Dr Van Leeuwen, telah menyusun program konservasi DAS Cikapundung. Hal itu menjadi penting, mengingat air Cikapundung dimanfaatkan penduduk kota. Komite tersebut diteruskan oleh perkumpulan "Bandung Vooruit", sempat menghijaukan lahan tepian Cikapundung darimata airnya di Maribaya, sampai lembah jalan Tamansari yang ditanami pinus serta cemara gunung.

Namun sayang, cita-cita dan ide serta program pelestarian ini banyak yang belum terlaksana. Nah, salah satunya, adalah penghijauan lereng bukit di kawasan Ciumbuleuit juga belum sempat dirampungkan. Penghijauan ini merupakan upaya pelestarian air di Bandung Utara dan Bandung Timur. Masih dari catatan Haryoto Kunto, (lihat hal 788), Kampung Pundug curug Desa Ciumbuleuit tahun 1985an masih terdapat jajaran pohon-pohon penyangga erosi.

Beliau juga menuliskan, "Namun tidak diketahui, sampai kapan. Jika esok lusa , pohon-pohon itu dibabat habis (dan itu tak mustahil) , entah bagaimana keadaan Cikapundung di daerah curam dan berair itu?". Dijelaskan, bahwa pengrusakan lingkungan sungai Cikapundung di Ciumbuleuit sudah mulai terjadi tahun 1980-an itu. Daerah Rancabentang dan Bukit Jarian dirusak pemukiman penduduk berjejal, bertengger di tebing-tebing sungai, seolah-olah bersaing memperebutkan lahan kosong di bantaran DAS tersebut. Belum lagi tumbuhnya tempat MCK, timbunan sampah, penggalian pasir, membuat kawasan yang dulunya asri, damai, sejuk dan rimbun, indah dan romantis, kini memprihatinkan dan acak-acakan.


Jalan Ciumbuleuit Dasawarsa 1970-an
Denyut kehidupan terus berjalan. Tahun 1970-an Ciumbuleuit telah berkembang menjadi kawasan permukiman, yang notabene, masih langka fasilitas belanja. Untuk membeli kebutuhan sehari-hari, masak , banyak yang pembantunya setiap hari berbebelanja ke Pasar Baru. Jika kebutuhan masak tak terlalu lengkap, cukup belanja di Pasar Gandog.

Namun untuk fasilitas olahraga, di jalan Kiputih terdapat sebuah Balai Pertemuan peninggalan Concordia, kelompok elit pemerintah zaman Belanda. Bangunan tua bersejarah, dengan pekarangan amat luas. Memiliki lahan parkir maksi, taman yang amat luas, dengan kelengkapan kolam renang, lapangan tenis, lapangan golf mini, bioskop, restorasi/caftaria, guest house, ruang bilyard dan carambole. Pak Jaya, adalah mualaf berdarah asli Belanda yang menikahi wanita Indoesia.

Beliau saat itu menjalani roda pemeliharaan dan menejemen balai pertemuan yang anggotanya adalah kalangan intelektual dan papan atas kota Bandung. Juga banyak warga asing yang hampir setiap hari ada di sini. Maka tak ayal sentuhan disiplin , art, lansekap, dan kebersihan ala Belanda sangat kental di sini. Tamannya mengadopsi taman bunga Eropa yang mengedepankan warna-warni dari bunga Mawar, Geranium, Gerbera, Kana, Hibiscus dan banyak lagi.

Rumput yang rapi dipangkas terhampar luas menjadi pusat pandang yang sangat Belanda. Kursi tua dan bioskop ala layar tancap dengan meja saji saat menikmati film layar lebar. Sungguh merupakan bagian dari masa kecil yang terlupakan bagi penulis. Film anak-anak diputar setiap hari Minggu. Sementara Selasa dan Jumat ditujukan bagi usia 17 ke atas.

Pemutaran film dibagi dua sekuel lantaran alat putarnya masih konservatif. Setelah satu jam pertama lampu dinyalakan, musik mengumandang. Para pelayan restorasi lalu lalang untuk menyodorkan bon tagihan makanan yang tadi dipesan. Atau boleh juga pesan kamanan dan minuman baru. Menu favorit yang amat dikenal kala itu adalah kentang goreng dengan saos tomat, sambal botol dan mayones. Jus yang dijagokan adalah Pina Colada Juice. Tak lama kemudian lampu kembali padam dan pemutaran film sampai tuntas berlangsung.

Pada saat halal bihalal dan hari besar tertentu, selalu diadakan pertemuan dengan acara santap malam dan musik serta mengundang penyanyi terkenal. Saat itu MC yang kerap diundang sampai tahun 1980-an adalah Rudi Jamil. Pernah pula dalam rangka HUT Balai Pertemuan diadakan pagelaran operette Sangkuriang di pekarangan belakang yang luas.

Banyak selebritis dulunya adalah anggota balai pertemuan ini, sebut saja Purwacaraka, dan perancang busana Carmanita. Veronica, sahabat dari kakak penulis, salah satu dari 9 ibu yang baru-baru ini menaklukan puncak Himalaya, dan masa remajanya pernah menaklukkan Jayawijaya dan Himalaya juga, kerap meluangkan waktu di tempat ini. Untuk mengikat tali kekeluargaan, para ibu di kawasan Ciumbuleuit mengadakan perkumpulan yang dikenal dengan PIC (Persatuan Ibu-ibu Ciumbuleuit). Banyak kegiatan yang dilakukan, mulai dari arisan, bakti sosial sampai ke perayaan hari besar seperti Hari Kartini. Pernah diadakan fashion show ibu-ibu dengan aneka busana daerah.

Selain itu di ujung utara Ciumbuleuit ada Arjuna Plaza yang baru saja jadi di awal dasawarsa. Di sini ada kolam renang umum dan penginapan yang kala itu masih terbilang sepi-sepi saja. Para wisatawan kebanyakan menyerbu pusat kota dan hotel di tempat strategis.

Pada tahun 1970-an itu pula, terjadi kerumunan publik yang sangat menarik. Ternyata Wisma Siliwangi digunakan untuk syuting film Ateng The Goodfather. Teriakan gembira terdengar kala publik yang dari kajauan melambaikan tangan pada Ateng, Joni Gudel dan Vivi Sumanti. Bintang layar lebar yang tengah digandrungi kala itu. Jalan Ciumbuleuit masih tergolong sepi, terutama di waktu malam.

Hanya saja kehidupan mulai marak saat kampus perguruan tinggi swasta berdiri. Mulai muncul rumah-rumah kos dan keramaian menghangatkan suasana. Sedikit demi sedikit pelaku nisnis dan ekomonipun mulai tumbuh. Berbagai jasa dan tempat makan bermunculan dari arah selatan. Namun tahun 1970an belum begitu pesat. Tahun 1980 dan 1990-an.

Di sinilah titik belok Ciumbuleuit bergerak. Dari sekedar pemukiman biasa menjadi kawasan niaga yang berkembang cepat. Hotel dan penginapan serta restoran semakin mencuat jumlahnya. Berbagai jasa ditawarkan. Dengan munculnya berbagai penginapan dan hotel serta galeri, juga kafe dan suasana malam yang menjanjikan, Ciumbuleuit menjadi kawasan yang dituju para wisatawan lokal dan mancanegara.

Bahkan bagi anak muda yang sekedar mencari tempat santai yang menjanjikan. Punclut yang dulunya tempat alami yang biasa-biasa saja, semakin bergeser dan diserbu penjaja makanan dan jasa serta wisatawan. Kawasan Punclut telah memunculkan polemik sendiri lantaran pesatnya minat wisatawan mengunjunginya. Timbul hasrat untuk membangun jasa penginapan dan lain sebagainya yang sifatnya lebih permanen.

Jalan tembus ke arah Hegarmanah dan Panorama juga membuat segalanya lebih mudah. Rumah-rumah kos ala hotel yang baru bermunculan. Town House dan berbagai fasilitas untuk kebutuhan umum laku bagai kancang goreng. Sawah-sawah sudah punah. Tahun 2000, ketika millenia berganti. Ciumbuleuit telah memiliki wajah yang sangat berbeda dari masa silam. Perumahan dan keramaian yang kini menjemput, mulai memupus harmoni cantik dari masa silam, dan memudarkan eksotisnya sejarah kawasan ini. Sawah dan bukit hijau itu kini telah kandas, kesunyian dan unggas semakin sunyi nyanyiannya. (*)

1 komentar:

  1. Miris, saat ini Ciumbuleuit sudah sangat sesak, penuh dengan hutan beton. Sumber mata air kian hari kian berkurang.

    BalasHapus

Powered By Blogger