MK sedang uji UU Kesehatan. Foto: Sgp
Malang benar nasib Misran. Kepala Puskesmas Pembantu di Kuala Samoja, Kabupaten Kutai Kertanegara ini harus merasakan dindingnya penjara selama tiga bulan. Ironisnya, hukuman ini diperolehnya justru karena Misran melakukan tindakan medis untuk menolong nyawa pasien. Pria yang berprofesi sebagai perawat ini divonis bersalah karena melanggar UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Dalam UU itu, seorang perawat dibatasi tindakannya dalam mengobati pasien. Ketentuan ini yang diuji oleh Misran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia meminta MK membatalkan Pasal 108 Ayat (1) beserta penjelasannya dan Pasal 190 Ayat (1) UU Kesehatan. Sidang di MK pun sudah memasuki agenda pemeriksaan perbaikan permohonan.
Pasal 108 ayat (1) ‘Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’.
Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa tenaga kesehatan yang dimaksud adalah tenaga kefarmasian dengan keahlian dan kewenangannya. Dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan lain –dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat- bisa melakukan tindakan kefarmasian secara terbatas yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Misran mengatakan perawat tidak boleh memberikan obat daftar G (Gevaarlijk atau berbahaya) seperti antibiotik, analgetik dll. Padahal, kondisi di lapangan sangat tak memungkinkan di daerah-daerah yang tak ada tenaga kefarmasian. Bila obat daftar G tak segera diberikan, maka nyawa pasien akan terancam.
Hal ini yang dilakukan oleh Misran kepada pasiennya. Ia pun nekat memberikan obat daftar G ke pasien sehingga tindakan tersebut membuatnya dijebloskan ke penjara oleh polisi. Padahal, lanjutnya, banyak polisi yang berobat ke puskesmasnya. “Mungkinkah UU sekejam ini,” ujarnya di ruang sidang MK, Senin (5/4).
Dalam praktek, lanjut Misran, banyak perawat di daerahnya yang tak berani memberikan tindakan kefarmasian kepada pasiennya. “Bahkan ada pasien yang sampai meninggal dunia,” tuturnya. Tindakan pasien ini sebenarnya tidak dibenarkan berdasarkan Pasal 190 ayat (1) UU Kesehatan.
Misran menilai UU Kesehatan tak menjamin kepastian hukum sebagaimana dijamin oleh konstitusi kepada perawat. Ibarat buah simalakama, menolong pasien dengan memberi obat daftar G terancam dipidana, bila membiarkan pun juga terancam dipidana. Ancaman pidana dalam Pasal 190 ayat (1) maksimal dua tahun penjara.
Ketentuan itu berbunyi ‘Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)’.
Hakim Konstitusi Fadlil Sumadi meminta agar pemohon menyiapkan data-data atau bukti-bukti untuk memperkuat argumentasinya. “Silahkan hadirkan ahli yang mendukung argumen anda atau saksi-saksi yang melihat rekannya ditangkap karena pasal tersebut,” ujarnya.
Perawat Anestesi
Berdasarkan catatan hukumonline, kasus yang mirip pernah menimpa perawat anestesi (pembiusan). Kala itu, ada kekhawatiran bahwa tindakan perawat anestesi dalam melakukan pembiusan dapat dikriminalkan berdasarkan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Pasalnya, UU itu menyebutkan yang bisa melakukan tindakan anestesi adalah dokter anestesi.
Kondisi ini pun menjadi dilema karena jumlah dokter anestesi di Indonesia sangat sedikit. Apalagi, para dokter anestesi ini hanya tersebar di kota-kota besar. Sedangkan, di daerah-daerah terpencil, hanya ada perawat anestesi yang melakukan pembiusan ketika terjadi operasi bagi pasien.
Mukernas Ikatan Perawat Anestesi Indonesia (IPAI) Tahun 2007 pun meminta Menteri Kesehatan menerbitkan payung hukum kepada mereka yang melakukan tindakan medis anestesia (pembiusan). “Kala itu memang ada kekhawatiran dari para perawat anestesi,” ujar Sekretaris Umum IPAI Dorce Tandung melalui sambungan telepon, Senin (5/4).
Namun, lanjut Dorce, sekarang para perawat anestesi tak perlu khawatir lagi. Perdebatan apakah perawat anestesi bisa melakukan tindakan anestesi tanpa kehadiran dokter anestesi pun telah usai. Dua aturan yang dikeluarkan oleh Menkes pasca rekomendasi Mukernas IPAI itu dinilai sudah cukup sebagai payung hukum bagi perawat anestesi.
Dua aturan tersebut adalah Permenkes No. 512 Tahun 2007 yang mengatur pelimpahan wewenang dokter anestesi ke perawat anestesi dan Kepmenkes No. 779 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Anestesi dan Reanimasi di Rumah Sakit. “Sekarang sudah tidak ada masalah lagi,” pungkas Dorce.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar