Selasa, Mei 19

MANAJEMEN PERIOPRATIK HYPERTENSI


by; dr. Made Wiryana SpAn.KIC.

Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai. Diperkirakan satu dari empat populasi dewasa di Amerika, atau sekitar 60 juta individu, dan hampir 1 milyard penduduk dunia menderita hipertensi, dengan mayoritas dari populasi ini mempunyai resiko yang tinggi untuk mendapatkan komplikasi kardiovaskuler.1,2,3,4 Prevalensi hipertensi tergantung dari komposisi ras pada suatu populasi dan kriteria yang digunakan untuk menegakkan diagnosis hipertensi. Data yang diperoleh dari Framingham Heart Study menyatakan bahwa prevalensi hipertensi tetap akan meningkat meskipun sudah dilakukan deteksi dini dengan dilakukan pengukuran tekanan darah (TD) secara teratur. Individu-individu yang mempunyai TD yang normal hanya sampai dengan umur 55 tahun, mempunyai 90% kemungkinan berkembang menjadi hipertensi. Pada populasi berkulit putih ditemukan hampir 1/5 mempunyai tekanan darah sistolik (TDS) lebih besar dari 160/95 mmHg, dan hampir separuhnya mempunyai TDS lebih besar dari 140/90 mmHg. Prevalensi hipertensi tertinggi ditemukan pada populasi bukan kulit putih. 2,5
Hipertensi yang tidak terkontrol yang dibiarkan lama akan mempercepat terjadinya arterosklerosis dan hipertensi sendiri merupakan faktor resiko mayor terjadinya penyakit-penyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler.3 Pengendalian hipertensi yang agresif, akan menurunkan komplikasi terjadinya infark miokardium, gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusi perifer, dan diseksi aorta, sehingga morbiditas dapat dikurangi.3,6
Pengendalian hipertensi tidak terlepas dari penggunaan medikasi atau obat-obatan antihipertensi yang rutin. Konsekuensi dari penggunaan obat-obat antihipertensi yang rutin ini mempunyai potensi terjadinya interaksi dengan obat-obat yang digunakan selama pembedahan. Waktu paruh dan penyesuaian dosis obat-obatan tersebut selama periode perioperatif perlu menjadi pertimbangan. Banyak jenis obat-obatan yang harus tetap dilanjutkan selama periode perioperatif, dimana dosis terakhir diminum sampai dengan 2 jam (atau sesuai atauran pakai obat) sebelum prosedur pembedahan dengan sedikit air, dan dilanjutkan kembali pada saat pemulihan dari pengaruh anestesia.7
Tingginya angka penderita hipertensi dan bahayanya komplikasi yang bisa ditimbulkan akibat hipertensi ini menyebabkan pentingnya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif. Periode perioperatif dimulai dari hari dimana dilakukannya evaluasi prabedah, dilanjutkan periode selama pembedahan sampai pemulihan pasca bedah. Manajemen perioperatif yang baik bisa membantu meminimalkan terjadinya komplikasi, menurunkan nyeri pasca bedah, dan mempercepat pemulihan penderita.1,7

DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI HIPERTENSI
Diagnosa suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras. Batas atas tekanan darah normal yang diijinkan adalah sebagai berikut :
Dewasa 140/90 mmHg
Dewasa muda (remaja) 100/75 mmHg
Anak usia prasekolah 85/55 mmHg
Anak <>
PATOGENESIS TERJADINYA HIPERTENSI
Hanya berkisar 10-15% kasus hipertensi yang diketahui penyebabnya secara spesifik (hipertensi sekunder). Hal ini penting menjadi bahan pertimbangan karena beberapa dari kasus-kasus hipertensi tersebut bisa dikoreksi dengan terapi definitif pembedahan. Contoh-contoh kasus tersebut adalah penyempitan arteri renalis, coarctation dari aorta, pheochromocytoma, Cushing’s disease, akromegali, dan hipertensi dalam kehamilan. Penyebab yang lain adalah diantaranya penderita dengan terapi estrogen, hiperaldosteronisme primer, dan hiperparatiroidisme. Sedangkan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya sering disebut sebagai hipertensi esensial (idiopatik). Hipertensi esensial menduduki 80-95% dari kasus-kasus hipertensi. Dikatakan hipertensi esensial jika penyebab dari peningkatan TD ini tidak bisa diidentifikasi penyebabnya. Setelah penyebabnya diketahui, istilah berubah menjadi hipertensi sekunder 1,3,9,10

Secara umum hipertensi selalu dihubungkan dengan ketidaknormalan peningkatan aktivitas simpatis, yaitu terjadi peningkatan baseline dari curah jantung (CO), seperti pada keadaan febris, hipertiroidisme, atau terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah perifer (SVR) atau peningkatan kedua-duanya. Peningkatan SVR merupakan penyebab hipertensi pada mayoritas penderita hipertensi.1,3 Pola perkembangan terjadinya hipertensi, awalnya CO meningkat, tetapi SVR terlihat dalam batas-batas normal. Ketika hipertensi semakin progresif, CO kembali menjadi normal tetapi SVR meningkat menjadi tidak normal. Volume cairan ekstra seluler dan aktivitas renin plasma dapat menurun, normal atau meningkat. Afterload jantung yang meningkat secara kronis menghasilkan LVH (Left Ventricle Hypertrophy) konsentrik dan merubah fungsi diastolik. Hipertensi juga merubah autoregulasi serebral sehingga cerebral blood flow (CBF) normal untuk penderita hipertensi dipertahankan pada tekanan yang tinggi. Batas autoregulasi mungkin dalam batas interval MAP (Mean Arterial Pressure) 110-180 mmHg.3
Tekanan darah berbanding lurus dengan curah jantung dan SVR, dimana persamaan ini dapat dirumuskan dengan menggunakan hukum Law, yaitu1,9 :

BP = CO x SVR

Secara fisiologis, TD individu yang dalam keadaan normal ataupun hipertensi, dipertahankan dalam keadaan CO atau SVR tertentu. Secara anatomik ada 3 tempat dalam tubuh yang mempengaruhi TD ini, yaitu arterial, vena-vena post kapiler (venous capacitance) dan jantung. Sedangkan ginjal merupakan faktor keempat yang berkonstribusi mempertahankan TD lewat pengaturan volume cairan intravaskuler (lihat gambar 1). Hal lain yang ikut mempengaruhi TD adalah baroreseptor yang bertindak sebagai pengatur aktivitas saraf otonom, yang bersama-sama dengan mekanisme humoral, termasuk sistem rennin-angiotensin-aldosteron akan menyeimbangkan fungsi dari keempat tempat dalam tubuh tersebut sehingga TD dapat dipertahankan. Faktor terakhir, adalah pelepasan hormon-hormon lokal yang berasal dari endotel vaskuler dapat juga mempengaruhi pengaturan SVR. Sebagai contoh, Nitrogen Oksida (NO) berefek Vasodilatasi dan endotelin-1 berefek vasokonstriksi.9

FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBAT ANTI-HIPERTENSI
Semua obat antihipertensi bekerja pada reseptor-reseptor tertentu yang tersebar dalam tubuh seperti yang diperlihatkan pada gambar 2. Kategori obat antihipertensi dibahagi berdasarkan mekanisme atau prinsip kerjanya. Kategori tersebut adalah sebagai berikut :
1. Diuretika, menurunkan TD dengan cara mengurangi Natrium tubuh dan volume darah, sehingga CO berkurang dan mungkin dengan mekanisme yang lain. Contohnya : Golongan Thiazide, loop diuretics.
2. Golongan Simpatolitik / simpatoplegik, menurunkan TD dengan cara menumpulkan reflex arkus simpatis sehingga menurunkan resistensi pembuluh darah perifer, menghambat fungsi kardiak, meningkatkan pengisian vena (venous capacitance). Penghambatan fungsi kardiak dan meningkatkan pengisian vena ini akan menyebabkan penurunan CO. Contohnya : Beta dan Alpha blocker, Methyldopa dan Clonidine, ganglion blocker (memblok ganglion simpatis), dan post ganglionic symphatetic nerve terminal blocker (reserpine, guanethidine).
3. Vasodilator langsung, menurunkan TD dengan cara membuat relaksasi otot-otot polos vaskuler sehingga terjadi penurunan resistensi akibat dilatasi vaskuler. Contoh : Nitroprusside (vasodilatasi karena aktivitas NO), hydralazine, Calcium Channel blocker (nifedipine, diltiazem, amlodipine), Nitrat (vasodilatasi karena pelepasan NO; efek dilatasi vena > arteri > arteriole).
4. Golongan yang menghambat produksi atau aktivitas Angiotensin, penghambatan ini menyebabkan penurunan resistensi pembuluh darah perifer dan volume darah, dengan menghambat konversi Angiotensin I menjadi Angiotensin II dan menghambat metabolisme dari bradikinin (suatu vasodilator). Angiotensin adalah suatu vasokonstriktor yang menstimulasi pelepasan aldosteron (aldosteron bersifat menahan garam dan air di ginjal).
Golongan obat-obat di atas mempunyai mekanisme dan tempat kerja yang berbeda sehingga bisa dikombinasi penggunaannya untuk meningkatkan keefektifan obat dan pada beberapa kasus bisa menurunkan toksisitas dari obat-obat tersebut.8,9
Gambar 2. Tempat aksi kerja (reseptor) golongan obat-obat antihipertensi (dikutip dari Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology, 9thEdition, 2004).

MANAJEMEN PERIOPERATIF PENDERITA HIPERTENSI
Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Penderita Hipertensi
Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu sbb 11 :
· Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya, termasuk golongan obat yang sedang digunakan, dan yang terpenting adalah efek samping yang ditemukan akibat penggunaan obat antihipertensi tersebut (lihat table 2).
· Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi.
· Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.
· Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.
Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesa riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin, dan prosedur diagnostik lainnya.2,11
Deteksi adanya kerusakan organ target adalah penting untuk memperkirakan sejauh mana beratnya derajat hipertensi yang diderita dan menilai keefektifan terapi yang diberikan. Penilaian status volume cairan tubuh (status hidrasi) penderita adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya, ataukah suatu relatif hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia, yang mana bisa menyebabkan peningkatan resiko terjadinya aritmia, sehingga elektroklit seharusnya diperiksa. 5,11
Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya resiko iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan antara Suplai dan kebutuhan Oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin, dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat. 5
Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri, dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD secara farmakoligis akan menurunkan mortaliti akibat penyakit jantung sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan penyakit arteri koronaria sebesar 16%. 11
Walaupun sebenarnya, pasien yang sedang menggunakan antihipertensi harus tetap dilanjutkan sampai sesaat sebelum operasi, namun dalam prakteknya tidak selalu diterima atau dilaksanakan. Pemahaman sebelumnya, menganjurkan penghentian obat antihipertensi untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum operasi elektif, karena alasan ketidakstabilan hemodinamik yang berat yang bisa terjadi selama anestesia pada pasien yang melanjutkan antihipertensi sampai dengan sesaat prosedur pembedahan dimulai. Namun dengan ditemukannya obat-obat yang baru, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknik anestesia, bisa mengatasi semua permasalahan ini. Jadi saat ini sudah disepakati bahwa pasien seharusnya terus mempertahankan tekanan darahnya dengan tetap mengkonsumsi obat antihipertensi sampai saat dilakukannya tindakan operasi. Selama masih bisa masuk air lewat mulut, meskipun penderita dipuasakan, obat tetap diminum dengan sedikit air non partikel.14
Sebagai panduan dalam penatalaksanaan penderita hipertensi yang akan menjalani operasi, JNC 7 mengeluarkan suatu algoritma yang dapat dilihat pada gambar 3.

Tabel 2. Kelompok pasien dengan pilihan golongan antihipertensi, dan pilihan obat yang dihindari (dikutip dari Cole DJ, Schlunt M. Adult Perioperative Anestesia-The Requisites In Anesthesiology, 2004)
Keterangan : ACE (Angiotensin-Converting Enzyme), CHF (Congestive Heart Failure), CAD (Coronary Artery Disease), LVH (Left Ventricle Hypertrophy), COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease).
TDS (TD Sistolik), TDD (TD Diastolik). Singkatan nama obat : ACEI (Angiotensin Converting Enzime), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), BB (Beta Blocker), CCB (Calcium Channel Blocker)
Tabel 3. Clinical trial dan guideline dasar pemilihan golongan obat untuk indikasi yang kuat / mendesak (Compelling Indications) masing-masing Individu (dikutip dari The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure,2003).
(*) Indikasi yang kuat/ mendesak untuk dasar pemilihan antihipertensi berdasarkan keuntungan dari segi outcome studies atau existing clinical guidelines; Indikasi yang kuat ini ditangani secara parareldengan tekanan darah.
(**) Obat-obat yang direkomendasikan : ACEI (angiotensin Converting Enzime), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), Aldo Ant (Aldosteron Antagonist), BB (Beta-Blocker), CCB (Calsium Channel Blocker).
(***) Kondisi dimana secara clinical trial menunjukkan keuntungan dari golongan-golongan obat antihipertensi.

Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi
Hipertensi adalah salah satu keadaan medis yang paling sering menyebabkan terjadinya penundaan anestesia dan operasi. Sampai saat ini tidak ada protokol yang pernah dibuat untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa dtoleransi untuk dilakukannya penundaan tindakan anestesia dan operasi.12,13 Namun banyak literature yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah yang diambil sebagai cut-off point untuk keputusan dilakukannya penundaan tindakan anestesia atau operasi, kecuali operasi yang akan dilaksanakan sifatnya emergensi.11,12 Kenapa TD Diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD Sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun bagaimanapun, pada populasi umum, hipertensi sistolik dianggap lebih besar resikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi belakangan ini menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan resiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita-penderita dengan hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai dengan 35%-40% , infark miokardial sampai dengan 20-25%, dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. 2,12
Meskipun terapi atau optimalisasi penderita hipertensi memerlukan waktu beberapa hari sampai beberapa minggu, namun The American Heart Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan suatu acuan bahwa TDS ≥ 180 mmHg dan/atau TDD ≥ 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting, contohnya beta blocker.15
Perlu dipahami bahwa penderita dengan preoperatif hipertensi (diterapi atau tidak diterapi) cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan (sensitif) pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan periode postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat respons laringoskopi atau tindakan anestesia yang lain, dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik. Hal ini menjadi penting karena resiko morbiditas jantung selama perioperatif akan meningkat pada hemodinamik yang labil atau tidak stabil. 11,13,14
Perlengkapan Monitor
Semakin lengkap peralatan untuk melakukan monitoring terhadap pasien semakin bagus. Namun pada keterbatasan sarana tidak semua peralatan monitor yang bisa kita gunakan untuk memonitoring pasien-pasien hipertensi yang menjalani pembedahan. Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta maksud dan tujuan penggunaanya.5
· EKG : Minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST jika memungkinkan, adalah bersifat esensial, karena pasien hipertensi punya resiko tinggi untuk mengalami iskemia miokardial baik yang sudah ada atau belum ada kelainan koronaria sebelumnya.
· TD : Monitoring secara continuous TD adalah esensial karena labilitas TD dari penderita-penderita hipertensi ini. Pengukuran langsung TD intra arterial memungkinkan observasi denyut per denyut. Tapi NIBP automatik biasanya sudah cukup memadai.
· Kateter Swan-Ganz : Hanya digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCI berulang. Kateter ini mungkin sangat bisa membantu dalam manajemen pemberian cairan dan memantau fungsi ventrikel.
· Pulse Oxymeter : Ini seharusnya digunakan untuk menilai aliran darah perifer dan oksigenasi jaringan.
· Analizer End-Tidal CO2 : Monitor ini berguna untuk membantu kita mempertahankan kadar CO2.
· Suhu atau Temperatur
Premedikasi
Premedikasi menurunkan kecemasan preoperatif dan sangat cocok untuk penderita hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel. Namun beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi peningkatan kejadian hipotensi intraoperatif. Agonis Alfa2-adrenergik sentral dapat digunakan sebagai tambahan premedikasi sehingga menambah sedasi, menurunkan kebutuhan obat anestesi, menurunkan kejadian hipertensi perioperatif. Namun penggunaan pada preoperatif, obat ini dikaitkan dengan kejadian hipotensi dan bradikardia intraoperatif. 3
Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi, namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer, terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya auatu keadaan normovolemia sebelum dilakukan induksi. Disamping itu hipertensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita. Hipotensi selama induksi sering dikaitkan dengan penggunaan ACE inhibitor dan Angiotensin receptor Blocker sampai dengan saat mau dilakukan tindakan pembedahan. 3,8,10
Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakea, yang bisa menyebabkan takikardia, dan dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Ada hubungan antara lamanya durasi laringoskopi dengan derajat hipertensi yang bisa terjadi, sehingga diusahakan durasi laringoskopi sesingkat mungkin. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik. Metode yang lain adalah dengan menekan refleks trakea dan menumpulkan respon autonomik dari efek manipulasi trakea dengan mendalamkan anestesia (tapi hipotensi harus dihindari), atau diberikan opioid, lidokain, beta blocker, atau vasodilator. 3,10
Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi : 3
· Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10 menit.
· Berikan opioid (fentanil 2.5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb, sufentanil 0.25-0.5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0.5-1 mikrogram/kgbb).
· Berikan lidokain 1.5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.
· Menggunakan Beta-adrenergik Blockade dengan esmolol 0.3-1.5 mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
· Menggunakan anestesia topical pada airway.
Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine, dan etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada anestesia umum pada kebanyakan penderita hipertensi.3 Namun ada patokan yang bisa dijadikan acuan kita dalam pemilihan obat dalam rangka meminimalkan efek terjadinya guncangan hemodinamik, yaitu tiophental lebih baik dibandingkan propofol, fentanil lebih baik dari petidine dan petidine lebih baik dari morfin. Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi.8,10 Khusus ketamin penggunaannya dikontraindikasikan sebagai obat induksi tunggal pada operasi elektif karena efek stimulasi simpatis dari obat ini dapat sebagai pencetus terjadinya hipertensi. Namun stimulasi simpatisnya dapat ditekan atau dihilangkan dengan pemberian dosis kecil dari obat induksi yang lain seperti benzodiazepine atau propofol. 3

Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif. 10
Suatu hipertensi yang sudah lama perlangsungan penyakitnya (kronis) akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu sbb :
· Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang diijinkan untuk penderita hipertensi.
· Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi otak.
· Terapi terhadap hipertensi yang dialami penderita, secara signifikan akan menurunkan kejadian terjadinya stroke.
· Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan yang terjadi pada serebral. 8
Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik, tapi dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O) bisa digunakan sebagai pemeliharaan anestesia. Teknik keseimbangan (balance anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena juga bisa digunakan.3 Anestesia regional bisa dipergunakan sebagai teknik anestesia, baik yang digunakan sendiri maupun yang dikombinasi dengan anestesia umum. Namun perlu diingat bahwa anestesia regional (blok sub araknoid atau epidural) sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis, terutama pada level blok yang tinggi pencapaiannya dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia.10
Penderita hipertensi sangat sensitif dengan terlepasnya katekolamin endogen (mungkin akibat intubasi atau manipulasi bedah) maupun agonis simpatetik yang diberikan dari luar. sehingga pemberian vasopresor seperti fenilefrin atau efedrin untuk mengatasi hipotensi yang terjadi harus berhati-hati dan cara pemberiannya dengan dosis kecil 25-50 mikrogram fenilefrin atau 5-10 mg efedrin mungkin sudah sangat berespon. Pasien yang menggunakan simpatolitik preoperatifnya mungkin bisa menumpulkan respon terhadap pemberian vasopresor seperti efedrin. Untuk keadaan seperti ini, epinefrin dosis kecil, 2-5 mikrogram, dapat digunakan, namun harus berhati-hati, karena dosis agak berlebihan dari epinefrin pada penderita hipertensi ini akan menyebabkan morbiditas kardiovaskuler yang signifikan.3
Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi tidak memerlukan monitoring yang khusus. Monitoring intraarterial secara langsung diperlukan terutama untuk jenis operasi yang menyebabkan perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama diperlukan untuk penderita yang mengalami masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter Vena Sentral diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita yang mempunyai disfungsi ventrikel kiri, atau adanya kerusakan end organ yang lain.3,10
Hipertensi Intraoperatif
Ketika kita mendapatkan adanya hipertensi pada periode preoperatif, maka resiko terjadinya peningkatan TD dapat kita pertimbangkan akan terjadi pada dua fase atau periode yaitu saat anestesia maupun saat pasca bedah.13 Hipertensi yang terjadi intraoperatif, namun tidak berespon dengan didalamkannya anestesia (terutama dengan volatile), dapat diatasi dengan obat antihipertensi secara parenteral (lihat table 3). Namun sebelum diberikan, faktor-faktor penyebab hipertensi yang bersifat reversibel atau bisa diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia, atau hiperkapnea, harus disingkirkan terlebih dahulu. 3
Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, keakutannya, penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate, dan ada tidaknya penyakit bronkospastik pulmoner. Berikut ini ada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan. 3
· Beta-adrenergik blockade : digunakan tunggal atau sebagai tambahan pada pasien dengan fungsi ventrikuler yang masih bagus, dan dikontra indikasikan pada penyakit bronkospastik.
· Nicardipine : Digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.
· Nifedipine : Refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan dengan serangan iskemia miokard, dan antihipertensi yang mempunyai onset yang lambat.
· Nitroprusside : onset cepat dan efektif untuk intraoperatif terapi pada hipertensi sedang sampai berat.
· Nitrogliserin : mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi atau pencegahan iskemia miokard.
· Fenoldopam : dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi ginjal.
· Hydralazine : bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.
Krisis Hipertensi
Dikatakan krisis hipertensi jika TD lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan dapat dikategorikan dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkan ada atau tidaknya ancaman kerusakan target organ atau kerusakan target organ yang progresif. Pasien dengan hipertensi sistemik kronis dapat mentoleransi TDS yang lebih tinggi dibandingkan individu yang sebelumnya normotensif dan lebih mungkin mengalami hipertensi yang sifatnya urgensi diband2ingkan emergensi. 10
Hal-hal yang paling sering menimbulkan krisis hipertensi adalah antara lain karena penggunaan obat antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas autonom, obat-obat penyakit kolagen-vaskuler, glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia seperti pheokromasitoma, preeclampsia dan eklampsia dan hipertensi renovaskuler. Manifestasi klinis yang timbul adalah sesuai dengan target organ yang rusak akibat hipertensi ini.8
Krisis hipertensi terbagi atas hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi adalah pasien dengan bukti adanya kerusakan target organ yang sedang terjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan intra serebral, kegagalan ventrikel kiri akut dengan edema paru, unstable angina, diseksi aneurisme aorta, IMA, eclampsia, anemia hemolitik mikro angiopati atau insufisiensi renal) yang memerlukan intervensi farmakologi yang tepat untuk menurunkan TD sistemik. Ensefalopati jarang terjadi pada pasien dengan hipertensi kronis sampai TDD melebihi 150 mmHg, sedangkan pada wanita hamil yang mengalami hipertensi, dapat mengalami tanda-tanda ensefalopati pada TDD <> 109 mmHg dianggap sebagai hipertensi emergensi dan memerlukan terapi segera. Bila TD diturunkan secara cepat akan terjadi iskemia koroner akut, sehingga MAP diturunkan sekitar 20% dalam 1 jam pertama, selanjutnya pelan-pelan diturunkan. TD hanya dapat diturunkan menjadi 160/110 selama 2-6 jam. Tanda-tanda penurunan TD ditoleransi dengan baik adalah selama fase ini tidak ada tanda-tanda hipoperfusi target organ.8,10,16
Hipertensi urgensi adalah situasi dimana TD meningkat jadi tinggi secara akut, namun tidak ada bukti adanya kerusakan target organ. Gejala yang timbul dapat berupa sakit kepala, epitaksis, atau ansietas. Penurunan TD yang segera tidak merupakan indikasi dan pada banyak kasus dapat ditangani dengan kombinasi antihipertensi oral, untuk menurunkan TD bertahap dalam beberapa hari. 10,16
Manajemen Postoperasi
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi, selain menyebabkan peningkatan kebutuhan Oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung, dan CHF, disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler, dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi, sehingga menghambat penyembuhan luka operasi.3,10
Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, yaitu disamping secara primer memang karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab yang lain bisa karena faktor ketidaknormalan sistem respirasi, nyeri, overload cairan, atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu.3 Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang beresiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan, dan perlu diingat bahwa meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, namun pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, maka sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan. 14
Meskipun pasien dengan hipertensi sering terjadi iskemia pada periode intraoperatif, namun perlu dicatat bahwa dalam beberapa jam, sampai beberapa hari pertama postoperasi juga sering terjadi infark miokard. Beberapa faktor sangat berkonstribusi terjadinya infark miokard pada periode postoperasi ini, yaitu adanya masalah oksigenasi, takikardia, trombosis, dan yang dominan adalah karena terjadinya hipertensi. Sehingga monitor TD sebaiknya tetap berkelanjutan sampai diruangan pemulihan pasca anestesia bahkan sampai awal-awal perawatan dibangsal.3,14
Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral, misalnya dengan Beta-blocker yang terutama digunakan untuk mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid, dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung akan berkurang iskemianya bila diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena. Untuk hipertensi yang berat sebaiknya segera diberikan Sodium Nitroprusside.13 Apabila penderita sudah bisa makan dan minum secara oral, sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai.3,10,14

KESIMPULAN
Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai, dengan angka penderita yang cukup tinggi. Hipertensi sendiri merupakan faktor resiko mayor yang bisa menyebabkan terjadinya komplikasi seperti penyakit-penyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler. Mengingat tingginya angka penderita dan komplikasi yang bisa ditimbulkan oleh penyakit hipertensi ini, maka perlu adanya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif. Manajemen perioperatif dimulai sejak evaluasi prabedah, selama operasi dan dilanjutkan sampai periode pasca bedah. Evaluasi prabedah sekaligus optimalisasi keadaan penderita sangat penting dilakukan untuk meminimalkan terjadinya komplikasi, baik yang terjadi selama intraoperatif maupun yang terjadi pada pasca pembedahan.
Penderita hipertensi sangat sensitif dengan perlakuan anestesia maupun pembedahan. Goncangan hemodinamik mudah terjadi, baik berupa hipertensi maupun berupa hipotensi, yang bisa menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi. Hal ini harus diantisipasi dengan perlunya pemahaman tentang teknik anestesia yang benar, manajemen cairan perioperatif, pengetahuan farmakologi obat-obat yang digunakan, baik obat-obatan antihipertensi maupun obat-obatan anestesia serta penanganan nyeri akut (Acute Pain Service) yang adekuat.
Dengan manajemen perioperatif yang benar terhadap penderita-penderita hipertensi yang akan menjalani pembedahan, diharapkan bisa menurunkan atau meminimalkan angka morbiditas maupun mortalitas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Murray MJ. Perioperative Hypertension: Evaluation and Management.
2. The Seventh Report of Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, NIH Publication No.03-5233, December 2003.
3. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for Patients with Cardiovaskular Disease, in Clinical Anesthesiology, 4th edition, Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2006: 444-52.
4. Perez-Stable EJ. Management of Mild Hypertension - Selecting an Antihypertensive Regimen, West J Med 1991 Jan; 154: 78-87.
5. Yao FSF, Ho CYA. Hypertension, in Anesthesiology – Problem Oriented Patient Manajement, 5th edition, Philadelphia-2003: 337-57.
6. Anderson FL, Salgado LL, Hantler CB. Perioperative Hypertension (HTN), in Decision Making in Anesthesiology - An Algorithmic Approach, 4th edition, Philadhelpia, 2007 : 124-6.
7. Kuwajerwala NK. Perioperative Medication Management-Article last updated Aug 16, 2007
8. Neligan P. Hypertension and Anesthesia, June 1998. Tutorial 4um.com.
9. Benowitz NL. Antihypertensive Agent-Cardiovaskular-Renal Drugs, in Basic and Clinical Pharmacology, Editor: Katzung BG, 9th edition, The McGraw-Hill, 2004 : 160-83.
10. Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and Pulmonary Arterial Hypertension, in Stoelting’s Anesthesia and Co-Existing Disease, Editor : Hines RL, Marschall KE, 5th edition, Philadelphia: 2008 : 87-102.
11. Cole DJ, Schlunt M. Preoperative Evaluation and Testing in Adult Perioperative Anesthesia-The Requisites in Anesthesiology, Philadelphia, 2004.
12. Dix P, Howell S. Survey of Cancellation Rate of Hypertensive Patient Undergoing Anesthesia and Elective Surgery. British Journal of Anesthesia 86 (6): 789-93 (2001).
13. Kaplan NM. Perioperative Management of Hypertension, Editor: Aronson MD, Bakris GL. Official reprint from UpToDate.
14. Laslett L. Hypertension-Preoperative Assesment and Perioperative Management. West J Med 1995; 162: 215-9.
15. Howell SJ, Foex P. Hypertension, Hypertensive Heart Disease and Perioperative Cardiac Risk, British Journal of Anesthesia 92 (4): 570-83 (2004).
16. Hypertensive Emergencies. Access Aug 13th 2008 from www.ehs.egypt.net/pdf/11-guideline.pdf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger