Selasa, Januari 19

Kekalahan juga Indah

Entah sejak kapan mulainya, sudah lama manusia hidup hanya dengan sebuah tema: memburu kemenangan, mencampakkan kekalahan. Di Jepang dan berbagai belahan dunia lainnya, tidak sedikit manusia yang mengakhiri hidupnya semata-mata karena kalah. Karena semua hal yang melekat pada kekalahan serba negatif: jelek, hina.

Sekolah sebagai tempat di mana masa depan disiapkan rupanya ikut-ikutan. Melalui program serba juara, sekolah ikut memperkuat keyakinan bahwa ‘kalah itu musibah’. Tempat kerja juga serupa. Tidak ada tempat kerja yang absen dari kegiatan sikut-sikutan. Semuanya mau pangkatnya naik. Tidak ada yang mau turun. Lebih-lebih dunia politik, kekalahan hanyalah kesialan. Dan bila boleh jujur, aroma seperti inilah yang mewarnai Indonesia di awal April 2009 menjelang pemilu sekaligus pilpres.

Kalah juga indah

Tidak ada yang melarang manusia mengejar kemenangan. Kemenangan ibarat padi bagi petani, seperti ikan buat nelayan. Ia pembangkit energi yang membuat kehidupan berputar. Ia pemberi semangat agar manusia tidak kelelahan. Namun seberapa besar pun energi maupun semangat manusia, bila putaran waktunya kalah, tidak ada yang bisa menolaknya.

Oleh karena itulah, orang bijaksana belajar melatih diri untuk tersenyum baik di depan kemenangan maupun kekalahan. Berjuang, berusaha, bekerja, berdoa tetap dilakukan. Namun bila hadiahnya kekalahan, hanya senyuman yang memulyakan perjalanan.

Membawa tropi sebagai simbol kemenangan itu indah. Dihormati karena menang juga indah. Tapi tersenyum di depan kekalahan, hanya orang yang pandangannya mendalam yang bisa melakukannya. Ibarat gunung, pemenang-pemenang itu serupa dengan batu-batu di puncak gunung. Mereka tidak bisa duduk di puncak gunung bila tidak ada batu-batu di dasar dan lereng gunung (baca: pihak yang kalah).

Sebagian orang bijaksana malah bergumam, kekalahan lebih memulyakan perjalanan dibandingkan kemenangan. Terutama karena di depan kekalahan manusia sedang dilatih, dicoba, dihaluskan. Kekalahan di jalan ini berfungsi seperti amplas yang menghaluskan kayu yang mau jadi patung berharga mahal. Serupa pisau tajam yang sedang melukai bambu yang akan jadi seruling yang mewakili keindahan.

Kesabaran, kerendahatian, ketulusan, keikhlasan, itulah kualitas-kualitas yang sedang dibuka oleh kekalahan. Serangkaian hadiah yang tidak mungkin diberikan oleh kemenangan. Ia yang sudah membuka pintu ini, akan berbisik: kalah juga indah!. Itu sebabnya seorang guru pernah berpesan: “0ld friends pass away, new friends appear. The most important thing is to make it meaningful“. Semua datang dan pergi (kemenangan, kekalahan, keberuntungan, kesialan), yang paling penting adalah bagaimana mengukir makna dari sana.

Jarang terjadi ada manusia yang mengukir makna mendalam ditengah gelimang kemenangan. Terutama karena kemenangan mudah sekali membuat manusia tergelincir ke dalam kemabukan dan lupa diri. Pengukir-pengukir makna yang mengagumkan seperti Kahlil Gibran, Jalalludin Rumi, Rabindranath Tagore, Thich Nhat Hanh semuanya melakukannya di tengah-tengah kesedihan. HH Dalai Lama bahkan menerima hadiah nobel perdamaian sekaligus penghargaan sebagai warga negara kelas satu oleh senat AS, setelah melewati kesedihan dan kekalahan selama puluhan tahun di pengasingan.

Memaknai kekalahan

Mengukir makna memang berbeda dengan mengukir kayu. Dalam setiap konstruksi makna terjadi interaksi dinamis antara realita sebagaimana apa adanya dengan kebiasaan seseorang mengerti (habit of undestanding). Ia yang biasa mengerti dalam perspektif tidak puas, serba kurang, menuntut selalu lebih, akan melihat kehidupan yang tidak menyenangkan di mana-mana. Sebaliknya, ia yang berhasil melatih diri untuk selalu bersyukur, ikhlas, tulus lebih banyak melihat wajah indah kehidupan.

Belajar dari sini, titik berangkat dalam memaknai kekalahan adalah melihat kebiasaan kita dalam mengerti. Dalam bahasa seorang kawan: the blueprint is found within our mind. Membiarkan kemarahan dan ketidakpuasan mendikte pengertian, hanya akan memperpanjang daftar panjang penderitaan yang sudah panjang.

Seorang guru mangambil sebuah gelas yang berisi air, kemudian meminta muridnya memasukkan sesendok garam ke dalamnya dan diaduk. Setelah dicicipi ternyata asin rasanya. Setelah itu, guru ini membawa murid yang sama ke kolam luas lagi-lagi dengan sesendok garam yang dicampurkan ke air di kolam. Kali ini rasa air tidak lagi asin.

Inilah yang terjadi dengan batin manusia. Bila batinnya sempit dan rumit (fanatik, picik, mudah menghakimi) maka kehidupan menjadi mudah asin rasanya (marah, tersinggung, sakit hati). Tatkala batinnya luas tidak terbatas, tidak ada satu pun hal yang bisa membuat kehidupan jadi mudah asin rasanya.

Dengan modal seperti ini, lebih mudah memaknai kekalahan bila manusia sudah berhasil mendidik diri berpandangan luas sekaligus bebas. Berusaha, bekerja, belajar, berdoa itu adalah tugas-tugas kehidupan. Namun seberapa pun kehidupan menghadiahkan hasil dari sini, peluklah hasilnya seperti kolam luas memeluk sesendok garam (baca: tanpa rasa asin).

Apa yang kerap disebut menang-kalah, sukses-gagal dan bahkan hidup-mati, hanyalah wajah-wajah putaran waktu. Persis ketika jam menunjukkan sekitar jam enam pagi, waktunya matahari terbit. Bila jam enam sore putaran waktu matahari tenggelam. Memaksa agar jam enam pagi matahari tenggelam, tidak saja akan menjadi korban canda tetapi juga korban karena kecewa.

Maafkanlah bila terdengar aneh. Pejalan kaki ke dalam diri yang sudah teramat jauh bila ditanya mau kaya atau miskin, ia akan memilih miskin. Bila diminta memilih antara menang dan kalah, ia akan memilih kalah. Kaya tentu saja berkah, namun sedikit ruang-ruang latihan di sana. Miskin memang ditakuti banyak orang, namun kemiskinan menghadirkan daya paksa yang tinggi untuk senantiasa rendah hati. Menang memang membanggakan, namun godaan ego dan kecongkakannya besar sekali. Kalah memang tidak diinginkan nyaris semua orang, tetapi kekalahan adalah ibunya kesabaran.

Seorang guru meditasi yang sudah sampai di sini pernah berbisik, finally l realize there is no difference between mind and sky. Inilah buah meditasi. Batin menjadi seluas langit. Tidak ada satu pun awan (awan hitam kesedihan, awan putih kebahagiaan) yang bisa merubah langit. Dan ini lebih mungkin terjadi dalam manusia yang sudah berhasil memaknai kekalahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger