Selasa, Januari 19

Pegawai Negri Banyak Korupsi

SEANDAINYA tiap tahun pemerintah daerah merekrut calon pengusaha sebanyak calon pegawai negeri sipil. Seandainya ada sejumlah anggaran yang sama di APBD untuk gaji setahun, pelatihan, seragam pegawai, itu dipakai untuk melatih calon pengusaha itu, dan sebagian untuk modal awal mereka. Seandainya separo saja dari calon pengusaha itu yang kelak benar-benar jadi pengusaha, maka pemerintah daerah sudah menghasilkan calon pembayar pajak dan penyumpang pendapatan daerah dan bukan mengumpulkan pegawai negeri saja yang hanya akan jadi beban APBD selama-lamanya, bahkan setelah pensiun kelak.


Saya pernah berada beberapa hari di Singapura, negeri jiran terdekat kita. Dalam kunjungan Perguruan Silat atas undangan sebuah departemen di sana setiap hari saya dan kawan-kawan dari Indonesia diurus oleh orang-orang muda. Mereka pegawai negeri. Statusnya semacam magang. Kenapa muda-muda? Rupanya, nanti satu-dua tahun kemudian mereka sudah berhenti dan bekerja di perusahaan swasta atau menjadi pengusaha. Dan departemen tersebut harus merekrut lagi para lulusan baru.


Di Singapura, saya simpulkan, rupanya pegawai negeri bukanlah pekerjaan impian dan jauh dari bergengsi. Ini berbeda dengan Indonesia. Bagi sebagian besar penduduk di negeri ini, menjadi Pegawai negeri adalah pekerjaan idaman. Tiap tahun, lowongan pegawai negeri diburu. Gengsinya tinggi.


Saya tidak anti-pegawai negeri. Bagaimanapun fungsi pelayanan di pemerintahan kita harus dijalankan oleh mereka. Tapi, lihatlah kondisinya saat ini. Kinerja pegawai negeri (profesi idaman itu) identik dengan birokrasi yang lamban dan bertele-tele, jauh dari semangat melayani rakyat dengan memuaskan. Coba perhatikan seorang pegawai yg sebelumnya disaat masih tenaga kontrak dia bekrja dgn rajin dan disiplin tetapi setelah diangkat menjadi PNS bukan tambah rajin dan bertanggung jawab tetapi malah malas malasan karena merasa bahwa PNS tdk akan dikeluarkan atau susah diberi sangsi. Dan pegawai negeri kita juga identik dengan gaji rendah, dan itu jadi alasan pembenar untuk korupsi. Maka kita dengar, tak kurang dari seorang Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua dalam acara penyuluhan bertema “Usaha Memajukan Bangsa dan Negara Dimulai dari Keluarga Yang Beriman” di Departemen Keuangan, tepatnya di Kantor Menko Perekonomian, di Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, tahun lalu menyatakan bahwa sebanyak 95 persen dari total Pegawai Negeri Sipil alias PNS korupsi.


Anda tahu jumlah pegawai negeri di Indonesia berapa? 3,7 juta! "Kelakuan buruk ini dipicu oleh gaji kelewat rendah yang diterima PNS," kata Abdullah Hehamahua.


Pegawai negeri banyak, birokrasi lamban, pengusaha sedikit, inilah yang membuat negeri ini lambat maju. Sejumlah penelitian menyimpulkan satu kesimpulan yang sama: Pegawai Negeri kita dan ongkos birokrasi kita sudah jadi beban berat negeri ini.


Coba simak angka ini: Pos belanja pegawai pemerintah pusat menurut APBN-P 2007 mencapai Rp98 triliun dan naik menjadi Rp128 triliun pada APBN 2008. Nah, Anda tahu? Jumlah belanja pegawai tersebut setara dengan penerimaan sumberdaya alam yang besarnya Rp126 triliun? Artinya, hasil isi perut bumi negeri ini masih belum cukup untuk mengongkosi gaji PNS.
Tahun ini, pemerintah sudah bertekad bahwa penghasilan utama negera kita terutama dari sektor: Pajak! Itu sebabnya di awal tulisan ini saya beradai-andai. Seandainya pemerintah menciptakan kebijakan pendidikan, iklim usaha, yang membuat orang berlomba-lomba jadi pengusaha, artinya pemerintah sebenarnya menciptakan para pembayar pajak potensial!


Ciputra - pengusaha besar yang paling getol mengkampanyekan kewirausahaan di Indonesia itu - pernah mengatakan bahwa akar penyebab kemiskinan di negeri kita ini bukan semata akibat akses pendidikan. "Itu hanya sebagian. Penyebab utamanya adalah karena negara tidak menumbuhkembangkan entrepreneurship dan jiwa entrepreneur dengan baik pada masyarakatnya," kata Ciputra.


“Kita banyak menciptakan sarjana pencari kerja, bukan pencipta lapangan kerja, itu membuat masyarakat kita terbiasa makan gaji sehingga tidak mandiri dan kreatif,” ujar Ciputra. Nah, bagi seorang Ciputra bukan hanya menjadi pegawai negeri yang harus dikurangi tapi semua profesi yang masih berstatus pegawai, yang makan gajilah pokoknya.


Saya membaca buku Ciputra "Quantum Leap, Entrepreneurship". Ini buku amat bagus isi dan semangatnya, tapi ditulis dengan kurang maksimal. Kebesaran Ciputra seharusnya ditulis dengan sebuah buku yang jauh lebih tebal, lebih menggugah dan lebih menggelorakan semangat berwirausaha. Saya kira harus lebih banyak orang yang membaca buku itu. Ini rujukan yang kerap dipakai Ciputra. Ia mengutip ilmuwan dari Amerika Serikat (AS) David McClelland yang menjelaskan bahwa suatu negara disebut makmur jika minimal mempunyai jumlah wirausahawan minimal dua persen dari jumlah penduduk di negara tersebut.


Contohnya adalah Amerika. Pada 2007 lalu negara itu memiliki 11,5 persen wirausahawan di negaranya. Di Singapura ada 4,24 juta wirausahawan pada 2001 atau sekitar 2,1 persen dari penduduk. Empat tahun kemudian jumlah tersebut meningkat menjadi 7,2 persen. Sementara Indonesia hanya memiliki wirausahawan 0,18 persen dar jumlah penduduk! Sangat sedikit.


Apa yang salah? “Negara kita terlalu banyak memiliki perguruan tinggi dan terlalu banyak menghasilkan sarjana, tetapi sayangnya tidak diimbangi dengan banyaknya lapangan kerja. Generasi muda kita tidak memiliki kecakapan menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri karena mereka terbiasa berpikir untuk mencari kerja” kata Ciputra. Sudahlah, jangan lagi menambah pengangguran bergelar. Tahun 2008, di Indonesia punya 1,1 juta penganggur lulusan perguruan tinggi


Ayolah, para pengelola perguruan tinggi, ubah kebijakan Anda. Jangan bangga kalau alumni Anda menjadi kepala dinas ini dan itu. Tapi, banggalah kalau kelak Anda bisa menghasilkan pengusaha tangguh.
Paling tidak itu bisa dimulai di fakultas ekonomi. Tirulah Israel. Tak bisa kita membantah bahwa pengusaha dan perusahaan Yahudi mengusai perekonomia dunia. Apa yang membuat mereka sekuat itu? Salah satunya pendidikan.


Tak perlu malu meniru. Di Israel, mahasiswa di fakultas ekonomi belajar dengan agresif dan serius. Di sana, jurusan ini tidak dibuka dengan sembarangan karena mudah penyelenggaraannya. Dan yang paling menarik, adalah di akhir tahun di universitas, mahasiswa harus menggarap sebuah proyek bisnis berkelompok. Satu kelompok sekitar sepuluh orang. Dan mereka baru akan lulus jika proyek itu dapat keuntungan satu juta dolar AS! Atau Rp9 miliar dengan kurs Rp9.000 per dolar. Dengan pengalaman menghasilkan uang sebesar itu, apakah mereka masih sangat ingin berebut jadi pegawai negeri?
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger