Selasa, Januari 19

Kesedihan, Kebahagiaan, Keheningan

Ada seorang Ibu yang memiliki sepasang putera-puteri kemudian mengisi hidupnya hanya dengan kesedihan. Putera tertua kebetulan penjual es krim keliling. Sedangkan puteri kedua adalah seorang penjual payung. Ketika hari panas, Ibu ini menangis untuk puterinya, karena teramat sedikit yang beli payung. Tatkala hari hujan, Ibu ini menangis untuk puteranya, karena jarang sekali orang membeli es krim.

Cerita ini memang hanya pengandaian, tentang teramat banyaknya hidup kekinian yang diwarnai oleh kesedihan. Ada saja alasan yang membuat kehidupan tergelincir ke dalam kesedihan. Dari bencana, penyakit, umur tua, kematian. Sehingga jadilah kesedihan semacam hulu dari sungai kehidupan yang penuh dengan stres, keluhan, penyakit dan konflik. Seorang sahabat psikiater pernah bercerita, tidak sedikit rumah sakit jiwa yang mulai kekurangan tempat. Sejumlah rumah sakit jiwa bahkan memulangkan pasien yang belum sepenuhnya sembuh. Semata-mata karena ada pasien parah yang lebih membutuhkan.

Kebanyakan orang membenci kesedihan. Mungkin karena berbicara ke dunia publik, kemudian Dalai Lama kerap mengatakan: ‘ada yang sama di antara kita, tidak mau penderitaan, mau kebahagiaan’. Dan ini tentu saja teramat manusiawi. Sedikit manusia yang berani mengatakan, kalau mau menangis janganlah menangis di depan kematian. Menangislah di depan kelahiran. Sebab semua kelahiran membawa serta penyakit, umur tua, dan akhirnya kematian. Dengan kata lain, kelahiran sekaligus kehidupan tidak bisa menghindar dari kesedihan. Kesedihan selalu ikut serta mengikuti langkah kelahiran. Seberapa kuat pun manusia berusaha, seberapa perkasa pun manusia membentengi diri, tetap kesedihan datang dan datang lagi.

Seperti ayunan bandul, semakin keras serta semakin bernafsu seseorang dengan kebahagiaan, semakin keras juga kesedihan menggoda. Ini yang bisa menjelaskan, kenapa sejumlah penikmat kebahagiaan secara berlebihan, kemudian digoda kesedihan juga berlebihan. Ini juga yang ada di balik data WHO kalau Amerika Serikat (sebagai salah satu tempat terbesar di mana kebahagiaan demikian dikejar dan dicari), menjadi konsumen pil tidur per kapita tertinggi di dunia. Ada peneliti yang membandingkan dua negara yang sama-sama mayoritas beragama Buddha (biar layak dibandingkan), yakni Jepang dan Burma. Berbicara pencapaian materi, Jepang tentu saja sebuah keajaiban dan keunikan. Dan Burma jauh dari layak untuk dibandingkan dengan Jepang secara materi. Namun begitu berbicara fenomena sosial seperti bunuh diri, perceraian, depresi, Jepang juga jauh lebih tinggi dari Burma. Seperti berbisik meyakinkan, di mana kebahagiaan materi berlimpah, di sana kesedihan juga berlimpah.

Seperti sadar sedalam-dalamnya realita pendulum seperti inilah, kemudian banyak pertapa, penekun meditasi, yogi, sahabat sufi atau pejalan kaki ke dalam lainnya, mengizinkan pendulum emosi hanya bergerak dalam ruang yang terbatas. Tatkala kebahagiaan datang, disadari betul kalau kebahagiaan akan diganti oleh kesedihan. Sehingga nafsu perayaan berlebihan agak direm. Konsekwensinya, ketika kesedihan betul-betul berkunjung, ia tidak seberapa menggoda.

Dalam bahasa indah Kahlil Gibran (The Prophet), tatkala kita bercengkrama dengan kebahagiaan di ruang tamu, kesedihan sedang menunggu di tempat tidur. Dalam pengertian yang lebih sederhana, manusia serumah dengan kebahagiaan serta kesedihan. Bagaimana bisa lari jauh-jauh atau lama-lama dari kesedihan yang nota bene serumah dengan kita?

Karena hal inilah, kemudian sejumlah guru mengajarkan untuk melampaui kebahagiaan-kesedihan. Dalam bahasa guru jenis ini, kebahagiaan dan kesedihan hanyalah permainan bagi jiwa-jiwa yang sedang bertumbuh menjadi dewasa. Pertumbuhan itulah yang memerlukan gerakan kebahagiaan, kesedihan, kebahagiaan, kesedihan, dst.

Namun bagi setiap jiwa yang sudah mulai dewasa, ia akan sadar sesadar-sadarnya, kalau baik kebahagiaan maupun kesedihan memiliki sifat yang sama: tidak pasti serta silih berganti. Bergantung pada sesuatu yang tidak pasti, bukankah akan membuat hidup juga tidak pasti? Lebih dari itu, baik kebahagiaan maupun kesedihan berakar pada satu hal yang sama: keinginan. Bila keinginan terpenuhi, kebahagiaan menjadi tamu yang berkunjung. Tatkala keinginan tidak terpenuhi, maka kesedihan tamunya.

Dan setiap pejalan kaki ke dalam diri yang cukup jauh tahu, keinginan (lebih-lebih disertai kemelekatan) adalah ibunya penderitaan. Kesadaran seperti inilah, kemudian yang membimbing sejumlah orang untuk memasuki wilayah-wilayah keheningan.

Berbeda dengan kebahagiaan yang lapar akan ini lapar akan itu. Membandingkan dengan ini membandingkan dengan itu. Ingin lebih dari ini lebih dari itu. Keheningan sudah berkecukupan apa adanya. Seperti burung terbang di udara, ikan berenang di air, serigala berlari di hutan, matahari bersinar di siang hari, bintang bercahaya di malam hari. Semuanya sudah sempurna apa adanya. Tidak ada hal yang layak ditambahkan atau dikurangkan. Penambahan atau pengurangan mungkin bisa membahagiakan. Namun dalam kebahagiaan, batin tidak sepenuhnya tenang-seimbang. Selalu ada ketakutan digantikan kesedihan.

Dalam kamus orang-orang yang sudah memasuki keheningan, sekaya apa pun Anda akan tetap miskin tanpa rasa berkecukupan. Semiskin apa pun Anda, akan tetap kaya kalau hidup berkecukupan. Makanya seorang guru yang telah tercerahkan pernah berucap: ‘Enlightenment is like the reflection of the moon in the water. The moon doesn’t get wet, the water is not separated’. Pencerahan seperti bayangan bulan di air. Bulannya tidak basah karena air. Airnya tidak terpecah karena bulan. Dengan kata lain, inti pencerahan adalah tidak tersentuh. Tidak marah ketika dimaki, tidak sombong tatkala dipuji. Tidak melekat pada kebahagiaan, tidak menolak kesedihan. Persis seperti bunga padma, di air tidak basah, di lumpur tidak kotor.

Dan salah satu akar menentukan dari ketidaktersentuhan ini adalah keberhasilan mendidik diri untuk merasa berkecukupan. Yang tersisa setelah ini hanya 4 M: mengalir, mengalir, mengalir dan mengalir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger