Selasa, Januari 19

Mempercantik Jiwa

Menyusul derasnya jumlah bencana yang menghadang di depan mata, dari tsunami, gunung meletus, bom teroris, lumpur panas, banjir, tanah longsor lengkap dengan jumlah korbannya yang tidak terhitung, tidak sedikit manusia yang bertanya: apakah Tuhan sedang marah? Sebuah pertanyaan sederhana, sekaligus menjadi warna dominan banyak wacana. Dan sebagaimana biasa, jawaban pun terbelah dua: ada yang menjawab positif, ada yang menjawab negatif.

Di Timur telah lama terdengar pendapat, kalau Tuhan penari maka alam adalah tarianNya. Bila demikian, adakah alam yang murka di mata pikiran manusia mencerminkan kemarahan Tuhan?. Entahlah, yang jelas pertanyaan terakhir mengingatkan pada cerita seorang sahabat tentang seorang Ibu yang permennya dicuri puteranya asep. Melihat puteranya mencuri, Ibu ini bertanya: ‘asep, tidakkah kamu melihat Tuhan ketika mencuri permen mama?’. Dengan polos asep menjawab: ‘lihat ma!’. Mendengar jawaban seperti ini, mamanya tambah marah, dan diikuti pertanyaan yang lebih emosi: ‘Tuhan bilang apa sama kamu asep?’. Dasar seorang anak polos, asep menjawab jujur: ‘boleh ambil dua!’.

Tentu saja ini cerita yang terbuka dari penafsiran. Dari salah satu sudut pandang terlihat, wajah Tuhan di kepala kita teramat tergantung pada kebersihan batin kita masing-masing. Dalam batin bersih seorang anak polos dan jujur seperti asep, Tuhan berwajah pemaaf dan pemurah. Dalam batin yang mudah emosi dan curiga seperti mama asep, wajah Tuhan menjadi pemarah dan penghukum. Hal serupa juga terjadi dalam cara Indonesia memandang bencana.

Tanpa menggunakan kerangka baik-buruk, benar-salah, suci-kotor, tinggi-rendah, banyak guru mengajarkan kalau manusia berada pada tingkat pertumbuhan masing-masing. Dimanapun tingkatannya, semua punya tugas yang sama: bertumbuh!. Tidak disarankan yang sudah sampai tingkatan SMU misalnya kemudian menghina yang baru sampai SD. Tidak juga disarankan kalau yang baru sampai SMP kemudian minder berlebihan pada mereka yang sudah sampai perguruan tinggi. Semuanya bertumbuh. Tidak ada jaminan yang sekarang SMA pasti lebih cepat sampai dibandingkan dengan yang sekarang baru SD misalnya.

Dengan spirit seperti ini, izinkanlah tulisan ini membagi pertumbuhan ke dalam empat pertumbuhan jiwa. Pertama mereka yang menjadi pedagang kehidupan dan pedagang doa. Jangankan dengan Tuhan, dengan siapa saja ia berdagang. Kalau permohonan tercapai maka Tuhan berwajah baik, kalau tidak dipenuhi apa lagi dihadang bencana maka Tuhan disebut marah. Dan dalam pandangan kelompok ini, bencana tidak lain hanyalah Tuhan yang murka pada ulah manusia. Tidak salah tentunya, karena ini bagian dari proses pertumbuhan.

Kelompok kedua adalah pencinta tingkat remaja. Ciri kelompok ini adalah rasa memiliki yang tinggi. Tidak boleh ada orang lain, hanya dia yang boleh dekat dan dicintai Tuhan. Cinta bagi kelompok ini, tidak ada pilihan lain kecuali menyayangi, memaafkan, membebaskan. Tidak dibolehkan. ada ekspresi dari cinta Tuhan selain menyayangi, memaafkan dan membebaskan. Begitu ada wajah cinta yang lain (lebih-lebih berwajah bencana), maka mudah ditebak kemana kehidupan bergerak: benci tapi rindu!. Ini asal muasal pertanyaan sejumlah sahabat yang luka ketika bencana, kemudian bertanya: Tuhan, masihkah Engkau menyayangiku?

Kelompok ketiga adalah pencinta tingkat dewasa. Cinta tidak lagi diikuti kebencian. Cinta adalah cinta. Ia tidak berlawankan kebencian. Lebih dari itu, berbeda dengan kelompok kedua yang menempatkan dicintai lebih indah dibandingkan dengan mencintai, pada tingkat ini terbalik: mencintai lebih indah dibandingkan dicintai. Sehingga bencana, bagi jiwa yang sudah sampai di sini, tidak ditempatkan sebagai hukuman, melainkan masukan tentang segi-segi di dalam diri yang perlu diperbaiki. Dengan kata lain, bencana adalah vitamin bagi bertumbuhnhya jiwa.

Kelompok keempat adalah jiwa yang tidak lagi mencari apa-apa. Bukan karena marah apalagi frustrasi. Sekali lagi bukan. Namun karena melalui rasa berkecukupan, ikhlas dan syukur yang mendalam kemudian dibimbing, kalau semuanya sudah sempurna. Sehat sempurna, sakit juga sempurna. Bukankah sakit yang mengajari menghargai kesehatan secara baik? Sukses sempurna, gagal juga sempurna. Bukankah kegagalan membimbing kita pada puncak kehidupan yang bernama tahu diri? Kehidupan sempurna, kematian juga sempurna. Bukankah kematian adalah mitra makna kehidupan yang membukakan pengertian kehidupan yang jauh lebih dalam? Kaya sempurna, miskin juga sempurna. Bukankah kemiskinan adalah pendidikan untuk tidak sombong dan senantiasa rendah hati? Sehingga dalam jiwa-jiwa yang sudah sampai di sini, tidak ada kamus bencana. Apapun yang terjadi diberi judul sama: sempurna!. 0rang Buddha menyebut ini Nirvana. Sebagian sahabat Islam dan Nasrani menyebutnya surga sebelum kematian. Sebagian orang Hindu menyebutnya maha samadhi. Dalam bahasa Confucius: ‘Bila bertemu orang baik tauladanilah. Jika bertemu orang jahat periksalah pikiran Anda sendiri’.

Kembali ke cerita awal tentang bencana dan Tuhan yang sedang marah, pilihan sikap yang diambil memang cermin pertumbuhan jiwa masing-masing. Seperti disebut sebelumnya, semuanya sedang bertumbuh. Penghakiman terhadap orang lain hanya menghambat pertumbuhan kita sendiri. Menyebut diri lebih baik, menempatkan orang kurang baik, hanya kesibukan ego yang meracuni pertumbuhan jiwa kemudian.

Dan bagi siapa saja yang sudah tumbuh menjadi pencinta tingkat dewasa, lebih-lebih sudah menjadi jiwa yang tidak lagi mencari, Indonesia tidak lagi berwajah negara bencana. Indonesia adalah salon yang mempercantik jiwa. Tanpa cobaan, bukankah kehidupan hanya berputar-putar di luar dan mudah terasa hambar? Bukankah dalam cobaan, dalam godaan, dalam guncangan, semua jiwa sedang digerakkan masuk ke dalam? Bukankah hanya di dalam sini jiwa bisa dibuat indah dan cantik? Seperti seorang wanita yang segar bugar keluar dari ruang olah raga, bukankah kesediaan untuk lelah sebentar yang membuatnya jadi bugar? Maafkanlah tulisan ini ditutup dengan pertanyaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger